Ahmad Sahroni, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. Ucapannya tentang "orang tolol sedunia" yang dikaitkan dengan seruan pembubaran DPR, sontak menuai kritik tajam. Namun, Sahroni tak tinggal diam. Ia buru-buru klarifikasi, menegaskan bahwa ada miskomunikasi dan "penggorengan" berita. Lantas, apa sih sebenarnya maksud di balik pernyataan kontroversial itu? Mari kita bedah bareng!
Ahmad Sahroni klarifikasi "orang tolol sedunia" bukan untuk rakyat, tapi logika bubarkan DPR karena tunjangan. Tegaskan DPR penting sebagai pengawas pemerintahan. - Tiyarman Gulo
Awal Mula Gaduh "Orang Tolol Sedunia"
Beberapa waktu lalu, pernyataan Ahmad Sahroni menjadi viral dan memicu gelombang protes. Bagaimana tidak, frasa "orang tolol sedunia" yang terlontar dari mulut seorang pejabat publik, seolah-olah ditujukan kepada masyarakat yang menyuarakan tuntutan pembubaran DPR. Tentu saja ini langsung membuat telinga panas dan hati dongkol. Bukankah menyuarakan pendapat adalah hak rakyat? Apakah kini rakyat yang kritis dicap "tolol"?
Suasana pun memanas. Di media sosial, perdebatan sengit tak terhindarkan. Banyak yang merasa tersinggung dan menuntut penjelasan. Nah, di sinilah Sahroni merasa perlu untuk meluruskan duduk perkaranya.
"Bukan Rakyatnya, Tapi Logikanya!"
"Kan gue enggak pernah bilang masyarakat yang teriak bubarkan DPR itu tolol. Enggak ada bahasa gue begitu," tegas Sahroni, saat dihubungi pada Selasa (26/8/2025).Â
Jelas sudah, menurut Sahroni, ada kesalahpahaman besar dalam penangkapan maksud ucapannya. Ia merasa statement-nya "digoreng" sedemikian rupa sehingga seolah-olah diarahkan langsung kepada publik.
Lalu, jika bukan masyarakatnya, siapa dong yang ia maksud? Sahroni menjelaskan bahwa ia menyoroti cara berpikir atau logika pihak-pihak yang menilai bahwa DPR bisa begitu saja dibubarkan, hanya karena persoalan sepele seperti gaji atau tunjangan anggota.
"Kalau hanya gara-gara tunjangan tidak dipahami detail, lalu DPR harus dibubarkan, ya itu enggak make sense," lanjut politisi Partai Nasdem ini.Â
Menurutnya, pemikiran bahwa DPR bisa dibubarkan hanya berdasarkan hal-hal dangkal seperti tunjangan, adalah sebuah pandangan yang tidak masuk akal. Nah, frasa "orang tolol sedunia" itu, ia klaim, ditujukan pada logika berpikir yang enggak nyambung seperti itu, bukan kepada orang-orang yang menyampaikan kritik.
Mari Belajar dari Sejarah
Pernyataan Sahroni ini juga membawa kita untuk sedikit menengok ke belakang, ke sejarah politik bangsa ini. DPR, sebagai lembaga legislatif, punya peran krusial dalam sistem demokrasi. Ia bukan sekadar "kantor" para pejabat yang digaji tinggi, tapi sebuah pilar penting negara.
Sahroni sendiri memberi contoh kasus pembubaran DPR di masa lalu. Ia menyebut Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pernah berniat membubarkan DPR tapi gagal. Sementara itu, Presiden Soekarno pernah berhasil melakukannya lewat dekrit, tapi itu terjadi karena ada konflik tajam yang fundamental antara eksekutif dan legislatif pada masanya. Ini menunjukkan bahwa pembubaran DPR itu bukan perkara mudah atau bisa dilakukan hanya karena isu tunjangan. Ada sejarah panjang dan konstitusi yang melindunginya.
"Kalau DPR dibubarkan, siapa yang mengawasi jalannya pemerintahan? Tanpa kontrol, kekuasaan presiden malah bisa tidak terkendali dan berbahaya. DPR itu hadir sebagai balancing agar republik tetap tertata," kata Sahroni.
Nah, ini poin pentingnya! Dalam sistem demokrasi, adanya DPR adalah untuk memastikan check and balance. Ibarat sebuah mobil, pemerintah itu gasnya, DPR itu remnya, dan sesekali setirnya. Tanpa rem, mobil bisa melaju tak terkendali dan membahayakan semua penumpangnya (rakyat). DPR inilah yang bertugas mengawasi, membuat undang-undang, dan menyuarakan aspirasi rakyat agar kekuasaan pemerintah tidak otoriter.
Kritik Boleh, Tapi Pahami Peran
Sahroni meyakini bahwa seruan untuk membubarkan DPR itu lebih banyak muncul dari pihak yang belum memahami secara detail bagaimana kerja lembaga perwakilan rakyat. Wajar saja jika ada kekecewaan, tapi menurutnya, kritik harus tetap disampaikan secara proporsional dan tidak mengabaikan peran vital DPR dalam menjaga sistem demokrasi.
Bayangkan jika DPR dibubarkan. Siapa yang akan menggodok undang-undang yang mengatur hidup kita? Siapa yang akan menanyakan kinerja menteri-menteri? Siapa yang akan menjadi corong rakyat untuk menyampaikan keluhan dan harapan? Kekosongan peran ini bisa sangat berbahaya bagi stabilitas negara.
Jadi, kisah "orang tolol sedunia" ala Ahmad Sahroni ini sebenarnya mengajarkan kita beberapa hal. Pertama, betapa cepatnya sebuah pernyataan bisa disalahpahami dan digoreng di era media sosial. Kedua, pentingnya bagi pejabat untuk memilih diksi yang tepat agar tidak menimbulkan kegaduhan. Dan yang tak kalah penting, ini adalah pengingat bagi kita semua sebagai warga negara: kritisi boleh, tapi jangan sampai kita buta terhadap fungsi dan peran lembaga negara itu sendiri.
Mungkin, alih-alih menyerukan pembubaran, akan lebih efektif jika energi kita diarahkan untuk mengkritik secara konstruktif, menuntut kinerja yang lebih baik, dan memastikan anggota DPR benar-benar mewakili suara rakyat. Karena bagaimanapun juga, DPR adalah cerminan dari demokrasi kita. Tugas kita bersama untuk membuatnya bekerja lebih baik, bukan membubarkannya begitu saja.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI