Situasi ini membuat para investor besar di dunia menjadi "penakut". Mereka lebih memilih menyimpan uangnya di tempat aman daripada menanamkannya di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Sri Mulyani menyimpulkannya dengan gamblang, "Ini situasi global yang tidak makin membaik."
Kedua, tekanan dari dalam negeri. Di saat yang sama, pemerintah Indonesia punya target pertumbuhan ekonomi yang sangat ambisius, antara 5,3 hingga 5,8 persen pada 2026. Bahkan ada aspirasi untuk mencapai 8 persen. Ini menciptakan sebuah dilema, bagaimana kita bisa berlari sekencang itu jika pasokan "bensin" investasi dari luar sedang seret?
Kartu Joker Itu Bernama Danantara
Di tengah situasi sulit inilah, pemerintah mengeluarkan sebuah "kartu joker", BPI Danantara (Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara).
Apa itu Danantara? Sederhananya, ini adalah Sovereign Wealth Fund (SWF) atau "dana abadi" milik Indonesia. Pemerintah membuat satu perusahaan investasi super raksasa. Tugasnya menjadi "magnet" untuk merayu investor swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, agar mau ikut menanamkan modalnya di Indonesia.
Misalnya, ada proyek pembangunan pelabuhan besar. Danantara mungkin akan menaruh modal awal 30 persen. Sisa 70 persennya? Mereka akan berkeliling dunia, meyakinkan dana pensiun raksasa dari Kanada atau perusahaan investasi dari Timur Tengah untuk ikut bergabung. Dengan adanya "stempel" dari pemerintah melalui Danantara, para investor ini diharapkan menjadi lebih percaya diri.
Ancaman Mengerikan Bernama 'Crowding Out'
Terdengar seperti solusi sempurna, bukan? Sayangnya, kartu joker ini adalah pedang bermata dua. Ada sebuah risiko besar yang bahkan membuat Sri Mulyani sendiri merasa perlu untuk terus mengingatkan. Risiko itu bernama 'crowding out'.
Mari kita pakai analogi sederhana. Di sebuah kawasan kuliner, ada banyak warung tenda kecil milik warga (ini adalah investor swasta). Mereka bersaing sehat, berinovasi dengan menu baru, dan menghidupi ekonomi lokal.
Tiba-tiba, pemerintah datang dan membangun sebuah food court raksasa (inilah Danantara) di tengah-tengah mereka. Food court ini super modern, harganya disubsidi, promosinya gencar, dan fasilitasnya lengkap. Apa yang akan terjadi pada warung-warung tenda kecil itu? Kemungkinan besar, mereka akan sepi pembeli dan akhirnya gulung tikar.
Itulah crowding out, sebuah kondisi di mana dominasi pemain besar (dalam hal ini pemerintah/Danantara) justru "menyingkirkan" atau membuat para pemain swasta yang lebih kecil menjadi takut untuk berinvestasi.
Sri Mulyani tidak ingin ini terjadi. Ia ingin Danantara menjadi "katalis", seperti bumbu penyedap yang membuat masakan semua warung menjadi lebih enak, bukan menjadi food court dominan yang mematikan warung lain. Ini adalah sebuah keseimbangan yang sangat sulit untuk dijaga.
Sebuah Pertaruhan untuk Masa Depan
Lampu kuning di dasbor ekonomi kita sudah menyala. Pertumbuhan investasi yang seret adalah masalah nyata yang dampaknya bisa kita rasakan bersama. Pemerintah kini menaruh harapan besar pada Danantara untuk membalikkan keadaan.