Mohon tunggu...
Tiyarman Gulo
Tiyarman Gulo Mohon Tunggu... Penulis

Menulis adalah jalan cuanku!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Kenapa Punya Terlalu Banyak Pilihan Justru Bikin Sengsara?

28 Juni 2025   15:00 Diperbarui: 27 Juni 2025   16:44 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bingung membuat keputusan ketika dihadapkan oleh banyak pilihan. ( freepik.com) 

Pernah nggak sih, kamu buka aplikasi streaming film, niatnya mau nonton santai setelah seharian kerja, tapi malah habis 30 menit cuma buat scrolling tanpa henti? Layar menampilkan ratusan judul film dan serial keren, tapi otakmu rasanya malah macet. Akhirnya, karena lelah memilih, kamu malah nonton ulang film yang itu-itu lagi atau, parahnya, nggak jadi nonton sama sekali dan malah buka TikTok.

Atau skenario lain, Kamu lagi lapar berat, masuk ke restoran yang menunya setebal kamus. Ada 15 jenis nasi goreng, 20 varian mi, belum lagi aneka steak, sup, dan minuman. Alih-alih merasa senang, kamu malah pusing tujuh keliling. "Kalau aku pesan nasi goreng seafood, jangan-jangan sate ayamnya lebih enak? Tapi kalau pesan sate, nanti nyesel nggak coba steak-nya."

Selamat, kamu baru saja merasakan langsung sebuah fenomena psikologis modern yang aneh tapi nyata: The Paradox of Choice atau Paradoks Pilihan. Sebuah ironi di mana semakin banyak pilihan yang kita miliki, kita justru semakin cemas, tidak puas, dan bahkan lumpuh untuk mengambil keputusan.

Loh, kok bisa? Bukankah kebebasan memilih adalah puncak kebahagiaan? Bukankah kita selalu diajarkan bahwa "lebih banyak lebih baik"? Mari kita bedah bersama mengapa otak kita seringkali "korslet" saat disuguhi terlalu banyak opsi.

Terlalu banyak pilihan justru membuat cemas dan tidak puas. Inilah "Paradoks Pilihan". Solusinya: batasi opsi dan terima konsep "cukup baik". - Tiyarman Gulo

Dunia yang Menawarkan Segalanya, Tapi Memberi Beban Tak Terhingga

Dulu, hidup mungkin lebih simpel. Kakek-nenek kita mungkin hanya punya dua atau tiga pilihan merek sabun di warung. Mau beli celana? Modelnya ya cuma itu-itu saja. Mau cari kerja? Profesinya terbatas. Sekarang? Kita hidup di era kelimpahan. Satu klik di marketplace, muncul ribuan model sepatu. Buka LinkedIn, ada ratusan jalur karier yang tampak menggiurkan.

Psikolog Barry Schwartz, dalam bukunya yang terkenal "The Paradox of Choice," menjelaskan bahwa ledakan pilihan ini, alih-alih membebaskan kita, justru memenjarakan kita dalam siklus kecemasan dan ketidakpuasan. Ini bukan salahmu kalau kamu sering merasa overwhelmed. Ini adalah cara kerja otak kita yang sedang berjuang di dunia yang serba ada.

Jadi, apa saja biang kerok di balik paradoks ini?

1. Kelumpuhan Analisis (Analysis Paralysis)

Ini adalah kondisi saat otakmu "nge-freeze" karena terlalu banyak data untuk diproses. Bayangkan kamu harus membandingkan 50 smartphone yang berbeda. Kamu harus cek spesifikasi kamera, baterai, RAM, ulasan pengguna, harga, dan promo yang berlaku. Setiap pilihan punya kelebihan dan kekurangannya sendiri. Semakin banyak yang kamu bandingkan, semakin rumit perhitungannya, hingga akhirnya kamu merasa begitu lelah dan memutuskan, "Udahlah, nanti aja belinya." Keputusan pun tertunda, atau bahkan tidak pernah dibuat sama sekali. Inilah yang terjadi saat kamu 30 menit scrolling Netflix. Otakmu lumpuh.

2. Biaya Peluang (Opportunity Cost) yang Semakin Menghantui

Setiap kali kamu memilih satu hal, kamu secara otomatis menolak hal-hal lainnya. Saat pilihanmu cuma ada dua, misalnya antara es teh manis dan jus jeruk, biaya peluangnya kecil. Kamu hanya "kehilangan" jus jeruk.

Tapi, saat pilihanmu ada 30 jenis minuman kekinian, dan kamu memilih Brown Sugar Boba, kamu secara sadar atau tidak sadar sedang menolak 29 pilihan lainnya: matcha latte, cheese tea, taro milk, mango smoothie, dan seterusnya. Bayangan tentang "kenikmatan" dari 29 minuman lain yang tidak kamu pilih itu menjadi beban mental. Otakmu mulai berbisik, "Yakin pilihanmu yang terbaik? Mungkin yang lain rasanya lebih surgawi." Akibatnya, kenikmatan dari Brown Sugar Boba yang sedang kamu minum jadi berkurang drastis karena hantu pilihan lain.

3. Ekspektasi yang Meroket ke Langit Ketujuh

Ketika hanya ada sedikit pilihan, ekspektasi kita cenderung realistis. Kalau di warung hanya ada Indomie goreng dan rebus, kamu akan cukup senang dengan pilihan mana pun.

Tapi, ketika sebuah kafe menawarkan "50 racikan kopi terbaik dari seluruh dunia," ekspektasimu otomatis melonjak. Dengan begitu banyak pilihan, kamu berharap kopi yang kamu pilih haruslah kopi yang paling sempurna, yang bisa mengubah hidupmu. Ketika ternyata rasanya "cuma enak" dan tidak spektakuler, kamu akan merasa sangat kecewa. Pilihan yang banyak membuat standar "sempurna" kita menjadi tidak masuk akal, sehingga pintu menuju kekecewaan terbuka lebar.

4. Penyesalan dan Menyalahkan Diri Sendiri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun