Hukum - "Satu ijazah, ribuan spekulasi. Saat kebenaran tak cukup kuat melawan viralnya kebohongan."
Kalau biasanya orang ribut karena janji kampanye atau proyek mangkrak, maka Presiden Joko Widodo punya cerita lain, ijazahnya jadi bahan perdebatan nasional. Lucu, ya? Di negeri yang katanya demokratis, justru ijazah seorang presiden bisa dipertanyakan, seolah-olah seluruh perjalanan hidupnya cuma akting.
Tapi beginilah zaman medsos, hal kecil bisa jadi besar, dan yang palsu bisa terdengar lebih meyakinkan daripada fakta.
Pertanyaannya, kenapa isu ini tak kunjung reda? Padahal UGM sudah mengakui, pemerintah sudah menjawab, pengadilan sudah bicara. Tetap saja, "ijazah Jokowi palsu" terus diulang di ruang-ruang maya.
Mari kita bedah polemik ini pelan-pelan. Kita coba jadi waras di tengah keruwetan wacana yang kadang bikin kepala nyut-nyutan.
Isu keaslian ijazah Presiden Jokowi terbantahkan dengan bukti sah dari UGM, namun hoaks dan ketidakpercayaan publik masih terus menyebar di media sosial. - Tiyarman Gulo
Siapa Bilang Ijazahnya Tidak Asli?
Awal mula kegaduhan soal ijazah Presiden Jokowi sebenarnya bukan baru-baru ini. Tapi semakin memanas setelah seorang penulis buku kontroversial, Bambang Tri, menggugat ke pengadilan karena menganggap bahwa Jokowi tak pernah kuliah di UGM.
Klaimnya terdengar gila, tapi karena disampaikan dengan narasi yang "meyakinkan", masyarakat pun terbagi. Beberapa menuntut klarifikasi. Beberapa langsung menuding Jokowi berbohong. Beberapa lagi cuma nonton sambil makan gorengan.
Namun faktanya, Universitas Gadjah Mada (UGM), kampus ternama di Yogyakarta tempat Jokowi kuliah di Fakultas Kehutanan tahun 1980, sudah berkali-kali menegaskan: ijazah itu asli.
Rektor UGM: "Kami Punya Arsip Asli, Lengkap, dan Valid."
Rektor UGM, Prof. Ova Emilia, akhirnya angkat bicara. Dalam konferensi pers resmi, ia menyatakan bahwa Jokowi benar-benar pernah kuliah di UGM dan lulus pada tahun 1985. Arsip kelulusannya, nilai-nilainya, hingga skripsinya tersimpan rapi di database universitas. Bahkan, kampus memiliki dokumentasi cetak dan tulis tangan yang sesuai dengan zaman tersebut.
Kenapa tulis tangan? Karena, pada tahun 1985, ijazah masih ditulis manual. Belum ada komputer, printer laser, atau format baku yang seragam seperti sekarang. Jadi wajar kalau ada perbedaan bentuk, jenis huruf, dan cap pada masing-masing ijazah alumni.
"Ini bukan soal Jokowi, tapi tentang memahami konteks zaman," begitu kata pihak kampus. Tapi sayangnya, logika semacam ini sering kalah dari narasi bombastis ala media sosial.