Menanggapi disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja di sore hari, seorang ayah praktisi sumber daya manusia berdebat sengit dengan kedua putri dewasanya, yang kebetulan keduanya mahasiswa ilmu hukum.Â
Sang ayah, seperti halnya manusia lanjut usia, yang takut dengan perubahan mengamini keputusan penguasa mengesahkan Undang-Undang yang penuh kontroversi tersebut dengan alasan demi menarik investor. Namun sang anak sebagai generasi penerus, menentang keras, khas pemberontakan generasi muda.
Mengutip dan mengiyakan pendapat pemerintah, dengan diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja, yang beberapa klausul di antaranya akan memarjinalkan kaum buruh.
Sebagai contoh, misalnya: penetapan upah yang tidak lagi mengacu kepada upah sektoral, berpotensi mengurangi pendapatan buruh setiap bulan, pelonggaran sistem kerja kontrak dan alih daya.
Kemudian, berpotensi membuat pekerja menjadi karyawan kontrak seumur hidupnya, serta pengurangan pesangon untuk masa kerja maksimal, dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan upah, berakibat kepada berkurangnya tabungan buruh untuk menjalani masa pensiun.
Sang ayah berkata, "Dengan diterbitkannya Undang-Undang Cipta Kerja, mau tidak mau memaksa para pekerja untuk menjadi wirausaha, karena jika tetap nekat untuk jadi pekerja, risikonya tidak akan pernah hidup sejahtera."
Sambil dalam hati terasa ngilu membayangkan masa depan anak negeri yang kebanyakan tak memiliki jiwa wirausaha, alias lebih senang jadi pekerja dari pada merintis hidup jadi pengusaha.
"Jangan lihat bentuk jenis usahanya, melainkan lihatlah kemungkinan usaha yang kita tekuni untuk menjadi besar adalah suatu keniscayaan, mengingat jumlah penduduk di negeri ini sangat potensial untuk menjadi pangsa pasar."
Serta merta para anak berkata, "Jangan begitu logika berpikirnya Yah, ada berapa banyak orang di negeri ini yang tidak memiliki kemampuan untuk bersaing, dan hanya mengandalkan hidup untuk jadi pekerja selama hayat dikandung badan." Sang ayah terdiam.Â
Sang anak melanjutkan, "Hukum itu, sejatinya dibuat untuk melindungi rakyat yang lebih lemah, bukan rakyat yang lebih kuat. Jika Undang-Undang Cipta Kerja dibuat demi menarik investor, apakah bisa nanti investor menghidupi rakyat sesuai dengan kebutuhan rakyat?"
"Yah, memang demikanlah hukum alam nak, di negara-negara yang berpaham komunisme terjadi penghisapan manusia oleh manusia, di negara-negara kapitalisme, sebaliknya." Sang ayah mencoba mencairkan suasana dengan permainan kata yang maknanya serupa bahwa komunisme dan kapitalisme sama saja.
"Beda Ayah?!" sergah si bungsu. "Jika di negara komunis, atau negara totaliter yang menghisap rakyatnya adalah otoritas atau penguasa, di mana rakyatnya memang bersedia untuk diatur oleh otoritas atau penguasanya. Namun di negara kapitalis, mana ada rakyat yang bersedia dihisap dan diatur oleh pengusaha.Â