Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Filter Bubble: Penjara Zona Nyaman yang Menyerang Mahasiswa Kekinian

4 November 2020   15:06 Diperbarui: 5 November 2020   02:31 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beranggapan jadi Mayoritas
Gelembung penyaring ini akan menyajikan informasi yang sesuai dengan minat si pengguna media sosial. Secara umum orang akan merasa berada pada zona nyaman ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, tanpa mempertimbangkan kualitas informasinya. Misal saja, para pecinta konten junk food. 

Linimasa orang ini tentu akan dipenuhi oleh konten tersebut, sehingga ia akan melihat bahwa seisi media sosial berpihak padanya -- sama-sama menyukai junk food. Keadaan ini membuat seseorang beranggapan bahwa ia adalah mayoritas, yang memiliki banyak dukungan di media sosial, dan mendefinisikan dunia dari satu sudut pandang saja.

Sarang Hoaks
Filter bubble memberikan celah bagi siapapun untuk terperangkap pada hoaks. Nyatanya, algoritma media sosial didasari oleh jumlah suka, komentar, klik, unggah ulang, ataupun konten yang disimpan seseorang pada suatu topik. Sebagai pasar bisnis yang terbuka, hoaks bisa muncul di mana saja, bahkan pada unggahan yang memiliki banyak respons. 

Tak jauh dari ungkapan Joseph Goebbels di awal, hoaks hadir dengan sampul bak berita valid. Artinya, gelembung penyaring tidaklah benar-benar menyaring berita yang berkualitas dan valid. Setiap orang, termasuk mahasiswa berkemungkinan untuk memiliki lingkungan media sosial yang penuh hoaks. Sebagai kelompok intelektual, keadaan ini merupakan tantangan yang perlu dikendalikan oleh keinginan. 

Polarisasi Warganet
"Sebuah dunia yang disusun dari kesamaan (familier), adalah tempat kita tak bisa belajar apapun" tutur Eli Pariser dilansir dari The Economist. Karena dibangun atas kesamaan, gelembung ini mendorong seseorang untuk berkumpul dengan warganet dalam satu lingkup, dengan minat yang sama. 

Kuatnya persamaan pandangan terhadap suatu topik membuat seseorang terpolarisasi dengan kelompok di sisi lawan. Ketika bertemu dengan orang lain yang tidak segelembung dengannya, ia akan menganggap bahwa mereka adalah minoritas, yang kemudian berdampak pada munculnya perilaku intoleran, perpecahan, sentimen, serta menolak adanya perbedaan.  

Bukan mahasiswa jika hanya berpangku tangan di tengah tantangan. Dampak gelembung virtual di atas berpeluang menghampiri siapa saja, terlebih mahasiswa yang mayoritas merupakan pengguna media sosial. 

Intensitas penggunaan media sosial yang meningkat selama pandemi, memperlebar peluang filter bubble setiap orang. Era new normal yang belum lama digaungkan pemerintah pun jadi harapan, untuk menciptakan lingkungan media sosial yang terbebas hoaks dan polarisasi, terlebih dengan ramainya simpang siur informasi. Apa antisipasinya?

Pertama, sengaja mencari informasi yang berlainan dengan minat, adalah langkah awal menghilangkan filter bubble.

Cara ini memungkinkan seseorang kembali mendapatkan informasi yang lebih banyak dan variatif, sehingga berdampak pada perubahan perilaku untuk melihat sesuatu tidak dari satu sudut pandang saja.

Kedua, menerapkan perilaku berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk memecahkan gelembung ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun