Mohon tunggu...
Tito Tri  Kadafi
Tito Tri Kadafi Mohon Tunggu... Guru - Pendiri Bastra ID (@bastra.id)

Bukan anak gembala, tetapi selalu riang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Filter Bubble: Penjara Zona Nyaman yang Menyerang Mahasiswa Kekinian

4 November 2020   15:06 Diperbarui: 5 November 2020   02:31 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gelembung | Foto oleh Markus Spiske dari Pexels

"Kebohongan yang sering dan berulang-ulang disampaikan akan menjadi sebuah kebenaran" - (Joseph Goebbels)

Lini masa Instagram saya berubah penuh, berisi tutorial pembuatan makanan. Kondisi yang mengharuskan saya untuk tetap di rumah, menyisakan banyak waktu yang kemudian digunakan untuk berselancar di media sosial. Entah cerah atau hujan, lini masa saya tetap sama keesokannya. 

Seolah menjadi yang paling tahu tentang resep, saya selalu membagikannya kepada orang lain, meski saya sendiri tak hobi masak. Lambat laun tersadarlah bahwa selama pandemi, saya tak tahu informasi apa-apa selain resep-resep ini. Belum lama saya tahu bahwa filter bubble lah yang telah membelenggu saya.

Filter bubble merupakan gelembung virtual penyaring informasi yang didapatkan seseorang dalam bermedia sosial. Aktivis internet, Eli Pariser mengemukakan istilah ini 9 tahun silam. Baginya, algoritma media sosial seperti ini akan membuat seseorang terisolasi secara intelektual. Tidak terlepas bagi para mahasiswa di Indonesia.

Pandemi koronavirus bukan saja mengharuskan setiap orang untuk menjaga jarak ataupun tetap di rumah, namun turut mengubah tatanan cara belajar, yang semula bertatap muka, beralih ke penggunaan model pendidikan jarak jauh. Cara ini paling tidak meminta setiap pembelajar mengaktifkan gawai untuk mendapatkan akses belajar.


Pengaruh perubahan ini bukan saja berdampak pada segi ekonomi -- harus menyediakan kuota internet lebih, namun berkorelasi juga pada perubahan perilaku para mahasiswa.

Melansir dari data olahan Asosiasi Pengguna Jasa dan Internet Indonesia (APJII), pada tahun 2018, kalangan milenial usia 20-35 tahun -- rata-rata usia mahasiswa, 94,4 persen di antaranya telah terkoneksi internet, dan 98,2 persennya memiliki rata-rata penggunaan ponsel pintar selama 7 jam dalam sehari. 

Riset ini dilakukan jauh sebelum pandemi terjadi, sehingga akan timbul kemungkinan besar peningkatan penggunaan ponsel pintar dalam sehari. Belum lagi dengan jadwal kuliah yang tentatif, memungkinkan tiap mahasiswa harus siap sedia dengan ponsel dari pagi ke petang, pun petang ke pagi. Hal yang sama berimplikasi pada intensitas penggunaan media sosial, sebagai sarana mencari informasi atau sekadar menghibur diri di tengah pandemi.

Media sosial adalah rumah dengan banyak pintu. Setiap orang punya preferensi untuk menentukan hendak ke mana ia menuju. Algoritma media membaca sesuatu yang diminati seseorang, sehinggga siapapun bisa dimanjakan oleh keadaan.

Filter bubble bukan saja menjadi penyaring, dengan harapan seseorang bisa fokus pada minatnya. Bak penjara semu, mahasiswa sang pengguna media sosial telah terjebak di dalamnya. Namun, siapa yang sadar?

Beranggapan jadi Mayoritas
Gelembung penyaring ini akan menyajikan informasi yang sesuai dengan minat si pengguna media sosial. Secara umum orang akan merasa berada pada zona nyaman ketika mendapatkan sesuatu yang diinginkan, tanpa mempertimbangkan kualitas informasinya. Misal saja, para pecinta konten junk food. 

Linimasa orang ini tentu akan dipenuhi oleh konten tersebut, sehingga ia akan melihat bahwa seisi media sosial berpihak padanya -- sama-sama menyukai junk food. Keadaan ini membuat seseorang beranggapan bahwa ia adalah mayoritas, yang memiliki banyak dukungan di media sosial, dan mendefinisikan dunia dari satu sudut pandang saja.

Sarang Hoaks
Filter bubble memberikan celah bagi siapapun untuk terperangkap pada hoaks. Nyatanya, algoritma media sosial didasari oleh jumlah suka, komentar, klik, unggah ulang, ataupun konten yang disimpan seseorang pada suatu topik. Sebagai pasar bisnis yang terbuka, hoaks bisa muncul di mana saja, bahkan pada unggahan yang memiliki banyak respons. 

Tak jauh dari ungkapan Joseph Goebbels di awal, hoaks hadir dengan sampul bak berita valid. Artinya, gelembung penyaring tidaklah benar-benar menyaring berita yang berkualitas dan valid. Setiap orang, termasuk mahasiswa berkemungkinan untuk memiliki lingkungan media sosial yang penuh hoaks. Sebagai kelompok intelektual, keadaan ini merupakan tantangan yang perlu dikendalikan oleh keinginan. 

Polarisasi Warganet
"Sebuah dunia yang disusun dari kesamaan (familier), adalah tempat kita tak bisa belajar apapun" tutur Eli Pariser dilansir dari The Economist. Karena dibangun atas kesamaan, gelembung ini mendorong seseorang untuk berkumpul dengan warganet dalam satu lingkup, dengan minat yang sama. 

Kuatnya persamaan pandangan terhadap suatu topik membuat seseorang terpolarisasi dengan kelompok di sisi lawan. Ketika bertemu dengan orang lain yang tidak segelembung dengannya, ia akan menganggap bahwa mereka adalah minoritas, yang kemudian berdampak pada munculnya perilaku intoleran, perpecahan, sentimen, serta menolak adanya perbedaan.  

Bukan mahasiswa jika hanya berpangku tangan di tengah tantangan. Dampak gelembung virtual di atas berpeluang menghampiri siapa saja, terlebih mahasiswa yang mayoritas merupakan pengguna media sosial. 

Intensitas penggunaan media sosial yang meningkat selama pandemi, memperlebar peluang filter bubble setiap orang. Era new normal yang belum lama digaungkan pemerintah pun jadi harapan, untuk menciptakan lingkungan media sosial yang terbebas hoaks dan polarisasi, terlebih dengan ramainya simpang siur informasi. Apa antisipasinya?

Pertama, sengaja mencari informasi yang berlainan dengan minat, adalah langkah awal menghilangkan filter bubble.

Cara ini memungkinkan seseorang kembali mendapatkan informasi yang lebih banyak dan variatif, sehingga berdampak pada perubahan perilaku untuk melihat sesuatu tidak dari satu sudut pandang saja.

Kedua, menerapkan perilaku berpikir kritis sangat dibutuhkan untuk memecahkan gelembung ini.

Perilaku ini membawa seseorang untuk mengakar dari pertanyaan dan sikap skeptis, untuk menguji valid atau tidaknya suatu informasi. "Berpikir kritis dan empati memungkinkan kita untuk melihat dunia bukan dengan kacamata ketakutan, tapi dengan kacamata keingintahuan." Tutur Emilia Tiurma, Senior Officer Indika Foundation saat menjadi narasumber kelas berpikir kritis.      

Kemampuan berpikir kritis mendorong pengguna media sosial untuk memilih dan memilah informasi. Jika sudah tahu informasi tersebut hoaks, pilihannya hanya dua, mengabaikannya, atau dengan mengajukan laporan ketidaktertarikan pada konten tersebut. 

Pada Instagram misalnya, ketika berselancar di linimasa, pengguna hanya perlu memilih postingan yang hendak disingkirkan filter bubble-nya, setelah itu pilih "titik tiga" di ujung kanan unggahan, kemudian pilih "tidak tertarik". Pengguna perlu melakukan hal ini pada beberapa konten serupa agar pemecahan gelembungnya lebih efisien.

Setelah gelembung disingkirkan perlahan, cara selanjutnya adalah tetap teguh bersikap toleran.

Ayu Kartika Dewi, salah satu co-founder SabangMerauke percaya bahwa toleransi di bagi ke dalam 4 jenis. Toleransi pasif (selama seseorang tidak ganggu, tidak masalah), toleransi yang senang dengan perbedaan, toleransi yang senang merayakan perbedaan, dan toleransi yang melindungi perbedaan. 

"kita tuh jangan hanya bertoleransi pasif, namun juga harus naik tingkat ke toleransi yang melindungi perbedaan." Ungkap Ayu yang juga merupakan Staf Khusus Presiden. Dengan sikap ini, setiap orang akan dengan lapang menerima perbedaan, tanpa menyudutkan satu sama lain, yang kemudian menjadi upaya penciptaan lingkungan media sosial yang lebih harmonis, empati, dan kritis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun