Mohon tunggu...
Titik Kartitiani
Titik Kartitiani Mohon Tunggu... -

Writing is sharing, www.kartitiani.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kopi Tubruk Digemari Manusia Hingga Makhluk Tak Kasat Mata

16 Maret 2014   07:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:53 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_315811" align="aligncenter" width="448" caption="Cupping Kopi Tubruk/Foto:Titik K"][/caption]

Dari desa hingga kota, dari ningrat hingga rakyat jelata, bahkan dari manusia hingga leluhur yang tak kasat mata, itulah penikmat kopi tubruk.

Bukan maksud berbicara soal klenik atau makhluk halus, tapi mari kita berbicara soal teknik meracik kopi yang paling populer di Indonesia: kopi tubruk. Saya pernah mengobrol dengan Mbak Keke (Clarissa Halim dari JJ Royal Coffee). Menurut data yang mereka himpun, dari dulu hingga sekarang 80% konsumen kopi di Indonesia mengonsumsi kopi tubruk. Yang saya ingat juga, jauh sebelum saya mengenal kafe sebagai tempat ngopi, kopi yang saya tau ya kopi tubruk karena kopi itu paling mudah dihidangkan dan tanpa alat yang mahal. Tak heran jika kopi tubruk banyak digunakan dalam upacara tradisional.

Apa itu kopi tubruk?

[caption id="attachment_315813" align="alignleft" width="327" caption="Kopi Tubruk di Sungai Randia, Kab. Agam, Sumbar/Foto: Titik K"]

13949052632110537201
13949052632110537201
[/caption]

Kopi tubruk berasal dari Bahasa Jawa, tubruk, yang artinya menabrak. Bubuk kopi dihasilkan dengan menabrakkan (menumbuk) alu (penumbuk dari kayu atau batu) ke kopi yang sudah disangrai dan hasilnya adalah bubuk kopi yang tidak halus masih ada butiran kasar. Lalu dijerang dengan air panas dan siap diminum. Begitu sederhana dan unik. Butiran kopi yang kasar yang dapat dikunyah itu mempunyai rasa gurih dan memberi tekstur pada kopi yang diminum.

Lama kelamaan cara membuat kopi bubuk ini pun berkembang. Penumbuknya tidak lagi memakai alu dan lesung, tetapi menggunakan alat penggiling kopi, baik yang bertenaga listrik maupun yang diputar dengan tangan dan hasil gilingannya pun bisa lebih halus. Istilahnya adalah fine hingga super fine (sangat halus). Walaupun bubuknya halus, kenikmatan kopi tubruk masih dapat dirasakan karena ampas yang member tekstur pada kopi tetap diikutsertakan saat dihidangkan. “Paling enak itu justru pada saat kopi sudah mau habis dan ampasnya sedikit terminum”, jelas Mbak Keke.

Kenikmatan itulah yang dihasilkan oleh JJ Royal Kopi Tubruk Specialty Grade 1 yang diluncurkan tahun lalu. Kopi tubruk ini dikemas dalam sachet kecil (5,5 gram) untuk memudahkan penggemar kopi tubruk dalam menakar jumlah kopinya. Cara menyiapkannya cukup diseduh dengan air panas dengan suhu 80o Celcius (air panas yang dibiarkan sesaat setelah mendidih). Lalu tutup dan diamkan sejenak. Kopi tubruk akan lezat tanpa gula, tetapi bagi yang suka dapat juga ditambahkan gula, kemudian aduk rata sebelum diminum.

Kopi tubruk, kopi paling populer

Seperti dijelaskan sebelumnya, kopi tubruk ini juga “disukai” oleh makhluk tak kasad mata seperti yang dilakukan pada saat upacara persembahan tradisional. Gabriella Teggia dan Mark Hanuz menggambarkan dalam A Cup of Java (2003:91) bahwa dari zaman dahulu hingga sekarang kopi tubruk dikonsumsi oleh berbagai kalangan dari golongan keraton hingga rakyat jelata, dari kota hingga pelosok desa

Di Bukit Menoreh, Kedu, Jawa Tengah, ada kuburan para prajurit yang dianggap keramat. Menurut legenda, sebelum berperang mereka mengadakan upacara dan berdoa agar saat berperang dilindungi oleh Yang Maha Kuasa. Pada saat upacara itu, kopi tubruk dihidangkan bukan hanya untuk para prajurit saja, melainkan juga untuk pada dewa. (Tenggia & Hanuz, 2003:121)

Cerita lain lagi di Jawa Tengah, bila ada sesajian di upacara tradisional mulai dari upacara kelahiran, pernikahan, hingga kematian selalu dihidangkan segelas kopi tubruk di dalam sesaji yang berisi makanan tradisional di samping sebatang rokok dan bunga, bahkan uang. Konon, para leluhur akan “meminumnya”. Setelah berhari-hari tentu saja kopi itu tetap utuh, tetapi katanya sudah tidak ada rasanya (mungkin perlu dicoba untuk membuktikannya). Sesaji yang dilakukan masyarakat ini bersumber dari ritual keraton. Bahkan ada yang lebih kompleks lagi. Misalnya, upacara setiap hari Selasa dan Kamis untuk Kyai Petruk, roh penjaga Gunung Merapi yang menjaga Sasana Andrawina yang juga menggunakan kopi tubruk sebagai salah satu persembahannya. (Tenggia & Hanuz, 2003:93,101)

[caption id="attachment_315814" align="alignleft" width="333" caption="Kopi untuk Kyai Slamet, Kraton Solo/Foto:Titik K (repro A Cup of Java)"]

1394905416571338765
1394905416571338765
[/caption]

Ada lagi yang unik, ternyata penikmat kopi di keraton bukan hanya manusia dan roh leluhur saja, melainkan juga kerbau. Tentu saja bukan kerbau sembarangan, tetapi kerbau suci bernama Kyai Slamet dan keturunannya. Kerbau bule ini akan mengiringi kirab pusaka setiap tanggal 1 Muharam. Masyarakat yang percaya akan berebut untuk mendapatkan air mandi Kyai Slamet, bahkan kotorannya, untuk disimpan sebagai jimat. Nah, sebelum melalukan kirap, kerbau ini disuguhi buah nanas dan kopi untuk diminum. (Tenggia & Hanuz, 2003:96)

Selain itu, di luar tembok keraton kopi selalu hadir di setiap acara yang melibatkan banyak orang, seperti menjadi hidangan pembuka bagi masyarakat desa, arisan, hajatan, dan ronda, kopi tubruk selalu menjadi minuman andalan untuk pencegah ngantuk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun