Mohon tunggu...
Titi Sumarni
Titi Sumarni Mohon Tunggu... -

Content Writer, sosial media

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dinda

15 Februari 2025   17:45 Diperbarui: 15 Februari 2025   17:22 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mimpi di Bawah Langit Eropa

Dinda adalah seorang wanita muda yang sederhana dan pekerja keras. Ia tumbuh di sebuah desa kecil di kaki Gunung Slamet, di mana mimpi besar sering kali terkalahkan oleh kenyataan hidup. Namun, tidak bagi Dinda. Sejak kecil, ia bercita-cita untuk melanjutkan studi ke luar negeri, terutama ke Eropa, tempat ia membayangkan gedung-gedung tua bersejarah, perpustakaan megah, dan suasana akademik yang memacu pikirannya.

Dinda lulus dari universitas negeri di Yogyakarta dengan gelar di bidang teknik lingkungan. Selepas kuliah, ia langsung bekerja di sebuah perusahaan konsultan lingkungan di kota besar. Gajinya memang tidak seberapa, tetapi Dinda selalu menyisihkan 30% dari penghasilannya untuk tabungan. Setiap bulan, ia mencatat pengeluaran dengan teliti dan memangkas hal-hal yang dirasa tidak penting.

"Kenapa sih, Din, kamu hidup susah begini? Sesekali kan nggak apa-apa buat jajan atau beli baju baru," komentar Rini, teman sekantornya, suatu hari.

Dinda hanya tersenyum. "Aku punya tujuan, Rin. Aku ingin melanjutkan studi ke Eropa. Kalau bisa dengan beasiswa, tapi aku juga ingin punya tabungan sendiri sebagai cadangan."

Rini menggelengkan kepala. Baginya, mimpi Dinda terdengar terlalu besar, bahkan nyaris mustahil.

Setiap malam, setelah menyelesaikan pekerjaan kantor, Dinda meluangkan waktu untuk belajar. Ia mempersiapkan diri untuk tes IELTS, menulis esai untuk aplikasi beasiswa, dan mencari universitas yang sesuai dengan bidangnya. Bahkan di akhir pekan, ia mengambil pekerjaan sampingan sebagai tutor bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah, menambah pundi-pundi tabungannya sedikit demi sedikit.

"Kamu nggak capek, Din?" tanya ibunya suatu malam saat mereka berbicara melalui telepon.

"Capek, Bu. Tapi aku yakin, semua ini akan terbayar," jawab Dinda sambil tersenyum, meski ibunya tidak bisa melihatnya.

Hari-hari berlalu, dan akhirnya, setelah dua tahun penuh perjuangan, Dinda mengirimkan aplikasi beasiswanya ke sebuah universitas ternama di Belanda. Ia juga menyiapkan tabungannya sebagai antisipasi jika beasiswanya tidak mencakup semua kebutuhan.

Beberapa bulan kemudian, email itu tiba. Dengan tangan gemetar, Dinda membuka pesan tersebut. Kata-kata dalam bahasa Inggris itu terasa seperti musik di telinganya: "Congratulations! You have been awarded the scholarship..."

Dinda hampir tidak percaya. Air matanya mengalir deras, mencampur aduk perasaan lega, bahagia, dan bangga. Ia segera menelepon ibunya untuk menyampaikan kabar baik itu.

"Bu, aku diterima! Aku dapat beasiswa ke Belanda!" serunya dengan suara serak.

"Alhamdulillah, Din," jawab ibunya dengan suara bergetar. "Ibu bangga sama kamu."

Dinda memulai perjalanan barunya ke negeri kincir angin dengan membawa satu koper kecil dan mimpi besar. Setiap langkahnya di kampus baru itu adalah bukti bahwa mimpi tidak pernah terlalu tinggi bagi mereka yang mau berjuang. Dinda tidak hanya belajar di sana, tetapi juga berbagi cerita tentang perjuangannya, menginspirasi banyak orang di sekitarnya.

Di bawah langit Eropa, Dinda menyadari bahwa mimpi besarnya dulu yang dianggap mustahil kini menjadi kenyataan. Dan semua itu karena ketekunan, doa, dan keyakinan bahwa ia bisa mengubah nasibnya sendiri.

Langkah Baru, Tantangan Baru

Di Belanda, kehidupan Dinda tidak langsung berjalan mulus. Meski diterima dengan hangat di kampus, ia harus berjuang keras untuk beradaptasi dengan lingkungan baru. Bahasa Inggris, yang dulu hanya ia gunakan dalam tes atau menonton film, kini menjadi kebutuhan sehari-hari. Selama hampir satu tahun, Dinda berusaha keras meningkatkan kemampuannya, hingga akhirnya ia fasih berbicara dan menulis dalam bahasa tersebut.

Suatu hari, di perpustakaan kampus, Dinda bertemu dengan Putri, seorang mahasiswi asal Indonesia yang juga sedang melanjutkan studi di sana. Mereka langsung akrab dan sering berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing.

"Aku salut sama kamu, Din. Perjuanganmu untuk sampai sini luar biasa," kata Putri suatu hari.

"Aku juga kagum sama kamu, Put. Kita sama-sama punya mimpi besar, dan sekarang kita ada di sini," balas Dinda sambil tersenyum.

Kedekatan mereka membawa Dinda pada pengalaman baru. Putri memperkenalkan Dinda pada sebuah organisasi sosial di Belanda yang fokus membantu anak-anak kurang mampu. Dinda merasa terpanggil untuk bergabung. Bersama anggota organisasi, ia dan Putri aktif mengajar anak-anak, mengadakan penggalangan dana, dan memberikan bantuan kebutuhan dasar.

"Rasanya bahagia sekali bisa membantu mereka," kata Dinda pada suatu malam setelah selesai mengajar di pusat kegiatan sosial.

"Iya, Din. Ini bukan cuma tentang kita lagi, tapi bagaimana kita bisa memberi dampak positif untuk orang lain," sahut Putri.

Selain aktif di organisasi sosial, Dinda tidak melupakan tujuan akademiknya. Ia tetap fokus mengejar kompetensinya agar dapat lulus tepat waktu. Setiap tugas dan proyek ia kerjakan dengan sungguh-sungguh, sering kali menghabiskan malam di depan laptop di kamar kecilnya.

Perjuangan Dinda tidak sia-sia. Ia mulai mendapatkan pengakuan dari dosen dan teman-teman kampus atas ide-idenya yang inovatif dalam bidang teknik lingkungan. Pengalaman di organisasi sosial pun memberinya wawasan baru yang ia aplikasikan dalam proyek-proyek akademiknya.

Hari kelulusan akhirnya tiba. Dengan toga biru tua dan senyum lebar, Dinda melangkah ke podium untuk menerima ijazahnya. Ia berhasil lulus tepat waktu dengan nilai memuaskan. Di hadapan para dosen, teman-teman, dan keluarga yang menyaksikan dari layar daring, Dinda membuktikan bahwa mimpi besar bisa diraih dengan kerja keras dan hati yang tulus.

Langit Eropa yang dulu hanya ada dalam angannya kini menjadi saksi perjalanan hidup Dinda. Ia tidak hanya membawa pulang ilmu, tetapi juga pengalaman berharga dan semangat untuk terus menginspirasi orang lain.

Pulang ke Tanah Air

Setelah lulus, Dinda menghadapi dilema besar. Ia mendapat tawaran pekerjaan di Belanda dengan gaji besar dan fasilitas yang menggiurkan. Namun, di sisi lain, ia merindukan kedua orang tuanya yang kini tinggal berdua di rumah kecil mereka di Indonesia.

"Aku ingin membalas semua jerih payah mereka, tapi aku juga ingin dekat dengan mereka," kata Dinda pada Putri saat mereka berbincang di sebuah kafe.

Setelah merenung cukup lama, Dinda memutuskan untuk menerima pekerjaan kontrak selama dua tahun di Belanda. Ia bertekad untuk memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin untuk menabung lebih banyak dan menambah pengalaman kerja internasional.

Dua tahun berlalu dengan cepat. Selama waktu itu, Dinda tidak hanya bekerja keras tetapi juga tetap menjaga komunikasi rutin dengan keluarganya di Indonesia. Setiap kali ia menelepon ibunya, ia berjanji bahwa suatu hari ia akan pulang.

Saat kontraknya berakhir, Dinda menepati janjinya. Ia kembali ke Indonesia dan memulai babak baru dalam hidupnya. Berkat pengalaman dan kompetensinya, Dinda diterima bekerja di sebuah BUMN sebagai manajer di salah satu kantor pusat di Jakarta. Meski kini tinggal di kota besar, Dinda rutin pulang ke desa untuk menjenguk orang tuanya.

"Akhirnya, Din. Kamu kembali," kata ibunya dengan mata berkaca-kaca saat melihat Dinda melangkah masuk ke rumah mereka.

"Iya, Bu. Aku pulang," jawab Dinda sambil memeluk ibunya erat.

Dinda kini menjalani hidup yang ia impikan. Ia tidak hanya berhasil meraih karier cemerlang tetapi juga tetap menjaga hubungan dekat dengan keluarganya. Baginya, kesuksesan sejati adalah ketika ia bisa membahagiakan orang-orang yang ia cintai.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun