Payung Hitam.
Pagi itu aku hanya ingin meluruskan tubuh yang pegal. Jalan kaki ke taman dekat rumah, rutinitas kecil untuk mengusir sisa alkohol semalam. Tidak ada yang spesial. Sampai aku melihatnya.
Seorang perempuan berdiri membelakangi matahari, payung hitam meneduhkan sebagian tubuhnya. Jas hitam putih yang ia kenakan tampak kontras dengan kulit pucatnya. Tapi bukan itu yang membuatku terpaku.
Ia tak memiliki wajah.
Tidak ada mata, hidung, atau bibir. Hanya ruang kosong. Namun, entah bagaimana aku tahu—ia sedang merasa hampa.
Aku diam, tak berani mendekat. Seolah ada dinding tak kasat mata yang menahan langkahku. Intuisiku berkata: dia tidak ingin ditanya, tidak ingin diganggu. Tapi aku tetap tak bisa berpaling.
Semalam aku mabuk karena ajakan rekan kerja yang tak bisa kutolak. Gengsi, segan, dan segala hal yang memaksaku patuh. Hidupku seperti rutinitas yang dijejali kewajiban. Gaji yang tak seberapa hanya cukup untuk rumah sakit. Ibu sedang berjuang melawan kanker. Aku sedang berjuang melawan diriku sendiri.
Mungkin itu sebabnya aku bisa merasakannya. Ia, perempuan itu—yang berdiri diam tanpa wajah—mencerminkan apa yang selama ini kupendam.
Aku duduk di bangku taman, mengamatinya. Tak ada yang lewat. Tak ada suara selain desau angin dan detak jam di dada. Perempuan itu masih berdiri di hadapan pohon tua yang seakan ikut menua bersama waktu.
“Hai,” kataku akhirnya.
Ia tak menoleh.