Mohon tunggu...
Tirta Adithiya nugraha
Tirta Adithiya nugraha Mohon Tunggu... Lainnya - sedikitpi mahanganggur

bercita - cita menjadi elit global dan penerbang roket

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Pria yang Kunyanyikan Cinta

16 Oktober 2020   00:06 Diperbarui: 16 Oktober 2020   00:27 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mencintai seorang pria, bolehkah
Aku melakukannya? Dia pria matang
Dengan sajak terindah. Dan aku
Rela menjadi wanita dihadapannya
Kala ia membacakan salah satu sajak
Cinta miliknya.

Badai berlalu dalam semalam namun
Cinta, walau kau cabut akarnya cinta
Akan tetap tumbuh menjulang. Layaknya
Air yang menguar dan menjadi titik-
Titik beku di langit, menggumpal apabila tak kau utarakan. Dan memunculkan badai,
Lalu petir yang maha dahsyat. Seperti badai,
Yang redah dalam semalam, cinta
Tumbuh tanpa batas

Pria ini memiliki jakung, agak lusuh tapi
Soal sajak, aku mengaku. Gairahku
Hilang menatap mata tampannya, yang seolah
Hadiah dari malaikat yang jeli dan peka
Untaian katanya bertasbih dan terngiang
Dalam hati yang tersentuhnya, meraih
Imajinasi dalam metafora. Keuletannya
Dapat kau rasakan melalui rima tertibnya

Tembakau tenggelam dan menjadi abu
Musnah, menyatu dengan semesta. Cinta
Tidak mengenal itu, cinta adalah bangkai yang
Mengalir dalam fungi, membuah lalu tumbuh
Menjadi Kerlip bintang di langit. Kau
tahu sentimentilnya, diantara bulan dan
Matahari. Namun cahayanya tak dapat kau abaikan begitu saja. Kau
Terpanah olehnya, lalu bulan kemudian sang Surya.

Priaku yang manis yang kuberi nama bulan, lalu sunyi.
Akankah kita bertemu, meski kau adalah abadi?
Dan penantianku itu kutancapkan melalui sajak rindu
Tentang dirimu dalam benakku yang tumbuh bersama kelabu
Juga benalu. Runyam, kepul - mengepul asap sejenak eksis
Lalu mati dalam ruang luput
Kau telah menjadi candu. Untuk kisahku kepadamu. Berganti waktu dan penantian terus diadu oleh benak yang malu - malu
Melampaui simbol kisut nun Mega
Di pertapaan sepi tempat kita bertemu pertama

Cinta adalah Venus yang kau saksikan pada
Fajar yang memerah mendalam
Berkabut dan berwarna kelabu, diantara
Mentari dan bulan yang tertidur, melalui
Pertemanan gema bintang dan terbit awan
Kau melihatnya, kau lupa dia apa? Kau
Membuang namanya, dan dia tak mampu dibedakan
Dan dalih nikmat yang terasa, cinta
Berkali - kali berubah nama, berubah tempat
Dan hakikat. Berdarah - darah dalam perjuangan ayah, berpeluk sayang kepada ibu yang gamang
Akan anak yang rentan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun