Mohon tunggu...
Tio P Abdullah
Tio P Abdullah Mohon Tunggu... Jurnalis - Belajar menulis

Selamanya warta, sedalamnya kebenaran

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

"Ngamar" Malam Lebaran

17 Juni 2019   02:45 Diperbarui: 17 Juni 2019   03:07 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dari mana mas?" begitu Sarmina menyapaku yang sedang minum kopi hitam di bawah jalan penyeberangan orang (JPO) pasar Tanah Abang.

Waku itu, sore memperlihatkan senjanya. Toko-toko mulai tutup. Besoknya umat muslim akan merayakan lebaran. Hanya toko di pinggir jalan yang masih buka, namun beberapa mulai berkemas memasukkan barang dagangannya ke dalam karung. Dan, hari itu, pemerintah sudah mengumumkan bahwa esok hari Rabu 5 Juni 2019 diputuskan hari raya Idul Fitri 1 Syawal 1440 Hijriyah.

Hari terakhir Ramadhan, aku tidak puasa. Tujuanku ke pasar Tanah Abang membeli pakaian, baik baju, celana, kolor dan sandal.

Karena nasibku cukup baik, beberapa toko dipinggir - pinggir jalan masih buka. Penjual membanting harga dengan diskon sampai 50 persen.

"Beli-beli. 4 potong Rp100.000," seru penjual kepada para pembeli yang lalu lalang.

Melihat itu aku berhenti.

"5 potong Rp 100.000 bisa enggak?"

"Wah, ini udah murah bang."

"Enggak bisa ya."

"Ya udah bang. Ambil dah, 5 potong 100."

Akhirnya tawar menawar ku berjalan lancar. Semua tujuan ku untuk membeli pakaian sudah dapat semua. Sudah menjadi kebiasaan, kalau ke pasar, akan ada tawar menawar. Sangat berbeda kalau ke mall. Harga sudah ditetapkan.

Sehabis berkeliling, dan semua yang aku belikan sudah ditangan. Ku masukkan semuanya ke dalam tas sandangku yang cukup besar. Berlahan-lahan aku berjalan meninggalkan para penjual, beralih ke tempat lain.

Kerongkongan mulai terasa kering karena lalu lalang, sekitar pukul 16:30 WIB itu aku duduk di dekat penjual kaki lima. Ku pesan kopi hitam sambil pegang handphone androitku.

"Mbok e, kopi hitam," pinta ku kepada Mbok pedagang kaki lima yang mengaku berjualan di Pasar Tanah Abang sudah puluhan tahun.

"Ngeh mas."

 Kopi dalam cangkir plastik itu dihidangkannya di sampingku. Ku hirup perlahan-lahan. Diseberang mataku ada seorang perempuan bertubuh gepal dengan lipstik menor, rambut tergurai panjang, celana jeans dan baju kaus, melirik ku.

"Wah ngapain Mbak-mbak tu nengok-nengok aku dari tadi," gumam ku merasa dilirik.

Tak ayal, Mbak itu mendekat. Dia memesan Mie rebus.

"Mas nggak mudik," tegur Mbak-mbak itu, sembari langsung memperkenalkan diri.

"Saya Sarmina."

Wah nekat ini orang. Belum apa-apa sudah berani mengulurkan tangan. Karena kebiasaan budaya timur, aku pun menyambut uluran tangannya.

"Liu," kataku memperkenalkan diri.

Obralan berlanjut, sambil dia menunggu mie instan dan aku menyedu kopi, menghidupkan rokok kretek yang dari tadi aku main-mainkan di jariku, namun belum ku nyalakan.

"Ngak mudik Mbak," tanya ku membuka pembicaraan.

"Ngak. Tiket mahal mas."

"Asalnya dari mana Mbak."

"Dari Purbalingga."

"Deket tuh. Nggak naik kereta?"

"Ngak, malllles," jawabnya dengan nada manja. "Pengennya naik pesawat."

Tak beberapa selang, mie instan yang disediakan Mbok pun dihidangkan. Sarmina langsung menyantap.

Melihat dia fokus makan, aku main-main handphone. Dilalah, sambil makan, matanya mengedip ke arahku.

"Waduh," gumamku sambil tak kuhiraukan.

Sehabis mie rebus raib di perutnya, ia memesaan rokok satu batang. Sambil menggeserkan tempat duduknya ke arah ku.

"Kamar mas."

"Kamar apa."

"Hotel itu," Sarmina menunjuk tempat hotel pas di seberang kami duduk dengan memonyong-monyongkan mulutnya. Nama hotelnya, hotel melati. Aku langsung berfikir, ini perempuan malam sepertinya.

"Wah nggak," aku menolak.

"Aku nampol loh," Sarmina sambil menggerak-gerakkan lidahnya menyundul pipi dalamnya. "Mas maue gaya apa saja aku bisa."

Pikiranku langsung melayang-layang. Ada yang tidak beres. Aku berusaha mengalihkan topik pembicaraan.

Dan, niatku untuk mengalihkan pembicaraan itu terbantu oleh satu Insiden disamping tempat kami duduk. Seorang perempuan memarahi sopir oplet.

"Eh, lu bayar nggak. Dasar anjing, mau enaknya doang," maki perempuan itu kepada sang sopir.

"Bayar apaan?"

"Eh, lu pura-pura lupa. Tadi malam lu makek gua. Enak aja lu mau gratisan. Awas lu kalo lu ngak mau bayar" ancam sang perempuan sambil menunjuk-nunjuk sang sopir.

"Eh, lu ngak punya otak? Ngomongin kek gitu jangan disini. Lihat nih orang rame, ngeliatin kita."

"Biarin aja, biar mereka tahu kalo lu makek gua gak mau bayar."

Akhirnya mereka dilerai oleh sopir lainnya. "Udah-udah. Ngapain bertengkar di pasar. Ngomongin kek gitu lagi. Bubar semua," bentaknya.

Melihat kejadian itu, aku langsung menggeleng-geleng kepala. Ternyata, tidak ada lagi yang namanya aib. Semua bisa diobral ke publik. Semua sah. Padahal, bila dikampung, ada sedikit pamali melontarkan sesuatu yang dianggap aib kita.

"Sopir itu memang mau enak nya doang, main nggak mau bayar. Gua juga pernah digituin sama dia. Gua tagih terus sampai dia bayar,"  celetuk Sarmina.

"Lebaran di Jakarta berarti besok Mbak," aku mengalihkan pembicaraannya.

"Ya"

"Sama anak dan suami?" tanya ku lagi.

Ia mulai terdiam dan menundukkan kepala. Aku mulai diam juga. Karena kopi yang kuhirup mulai habis. Dan suasana pasar, perasaan ku menjadi hening, malam mulai menunjukkan mukanya, aku pun permisi untuk pulang. Sambil aku membayar kopi.

"Berapa Mbok?"

"Tiga ribu." Ku bayarkan kopi itu.

"Permisi Mbak. Saya pulang dulu. Udah mau mangrib. Orang-orang udah mau takbir nih."

"Ngamar aja yuk. Gua service keliling. Enak lu main dulu sebelum besok sembahyang lebaran. Murah ayo. Aman kok sama aku."

"Gila nih orang. Mau lebaran malah ngajak orang ngamar" gumam hatiku. 

Aku tidak menghiraukan ucapan dia. Ku sangkul tas, aku jalan saja menuju parkiran dan pulang ke kos. Sambil menuju parkiran motor, hatiku bergumam. Masih ada saja di tengah orang mau lebaran, penjajak diri makin beraksi. Demi mendapatkan rejeki. Tentu aku tak ingin menyalahkannya atas apa yang dikerjakannya. Mungkin, ia ingin melakukan pekerjaan halal, namun nasib tak berpihak kepadanya. Sudah kecebur, mungkin basah sekalian.

4 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun