beberapa saat sebelum mengawali tulisan, aku sempat ingin menulis judul, "pengalaman menginjakan kaki di daerah pasundan" akan tetapi langsung kuhapus kalimat pasundan diganti dengan jawa barat, saya berasumsi tidak semua daerah di wilayah administratif jawa barat itu bisa di katakan pasundan, sebut saja daerah seperti cirebon dan indramayu yang mayoritas suku jawa, atau depok dan kota bekasi yang diisi oleh orang betawi dan perantau berbagai daerah, lalu bahasa yang digunakan di daerah tersebutpun bukan bahasa sunda, melainkan bahasa indonesia logat betawi, oke kembali ke konteks, Â hari demi hari, waktu demi detik terlewati, banyak sekali yang rasanya ingin diungkapkan ke dalam tulisan ini, oke cekidot, langsung mulai saja.
tanggal 23 agustus 2015 untuk pertama kalinya merantau, tujuan kali ini bukan jakarta seperti yang awal awal masuk sma terbayang, namun kota bandung, kuingat sekali waktu pertama berangkat, banjar - ciamis - tasik - garut dilewati, pemandangan dengan landskap yang indah, naik turun bukit, perjalanan 4 jam terhenti di jembatan lingkar nagreg, bagi perantau yang mudik lewat jalur selatan, jembatan ini tidak asing lagi, jembatan dengan kaki kaki beton di kanan kiri, di sisi luar terpampang tulisan djarum super, lalu selang 20 menit aku melanjutkan perjalanan, dari lingkar nagreg ketujuanku di daerah dago.
sesampainya disana baru terasa, jiwaku yang jawa tulen ini harus bisa beradaptasi dengan keadaan, semenjak tinggal disana kurang lebih setahun setengah setiap bangun tidur terdengar orang bicara sunda, mau makan dengar bicara sunda, akan dan saat kerja pun demikian, lama lama mulai belajar dan belajar, menyenangkan memang, saat libur sesekali makan nasi liwet di punclut, nyari angin di puncak bintang, malam tongkrong di gasibu, dengan teman teman yang lain. tetapi tiada kukira, kemesraan itu cepat berlalu,.
bulan september 2016 terpaksa aku angkat kaki dari kota kembang, bukan karena tak sayang, namun pekerjaan yang tidak bisa diharapkan lagi, ya taulah kalau menghadapi bos galak, ibarat batu di kali, kena matahari kena air hujan terkikis dan hancur juga. beranjak aku pergi meninggalkan kota ini, tujuan utama adalah jakarta, kata pepatah rejeki gak akan ketuker ternyata berlaku buatku, mengawali awal dengan pahit sebagai tukang sapu di pinggir tol kebon jeruk.Â
lalu rejeki itu datang, ditawari saudara kerja di daerah cilandak aku pun langsung mengiyakan tawaran itu, awalnya aku meremehkan pekerjaanku, dekil, kotor, angkat angkat barang berat, tak kusangka merubah hidupku secara signifikan, badan mulai berisi karena faktor bahagia mungkin, punya kamera dslr, motor, bisa kuliah bagiku anugerah yang luar biasa, di dalam perjalanan 2016-2020 di jakarta, banyak sekali berkunjung ke daerah di jawa barat, bogor dengan gunung gede pangrangonya.
suatu hari ku kira perkebunan sawit hanya ada di sumatera atau kalimantan, ternyata di derah cikidang ada, waduk jatigede di sumedang, mudik 2018 via pantura jawa barat, banyak sekali yang tak bisa di ceritakan satu persatu, hampir semua daerah di jawa barat pernah ku injak tanahya kecuali daerah kuningan.
sampai suatu hari... mendaftar kuliah di salah satu universitas di jakarta barat, tak sengaja bertemu dengan mojang priangan, tak lama berkenalan dan cocok, ternyata dia orang kuningan, istimewa memang, dari bukan siapa siapa lama lama jadi permata hati, aku jatuh hati, pada lebaran 2020 kuinjakaan kakiku di rumahnya, ya.. di kuningan, rasanya lengkap sudah perjalanan menyusuri daerah daerah di jawa barat, bagiku bumi jawa barat sarat makna, aku dapatkan cinta dari sini, keindahan alam dari sini, rindu juga pun, dari sini.