Kebetulan di kamar memang ada kopi instan dan air panas.
Aku mengangguk. "Boleh banget."
Kami menghabiskan sore dengan cangkir-cangkir kopi dan cerita-cerita kecil yang makin lama makin dalam.
Entah kenapa, suasana antara kami terasa ringan, bahkan sedikit berbahaya --- dua orang asing yang terlalu cepat merasa nyaman.
Pagi Sabtu, setelah mandi dan bersih-bersih, kami duduk lagi di teras.
Yani sudah menyiapkan kopi, wangi seduhan barunya menguar di udara pagi.
"Mas," katanya sambil menyeruput kopinya, "apa acara kita hari ini?"
Aku berpikir sebentar, lalu berkata, "Jalan-jalan ke kota, yuk?"
Tak kusangka, Yani langsung mengangguk. "Boleh juga."
Begitulah, hari itu kami habiskan keliling Semarang.
Naik turun angkot, berganti ke bis kota.
Mampir ke mal, ke toko-toko kecil, ke jalanan sempit yang penuh suara dan bau khas kota tua.
Obrolan kami tak pernah berhenti --- tentang apa saja, tentang siapa saja.
Tawa kadang meledak, kadang hanya senyum malu-malu.
Menjelang sore, kami kelelahan.
Setelah makan siang di mal, kami kembali ke mes untuk tidur siang.
Malamnya, masih setengah mengantuk, kami keluar sebentar hanya untuk membeli sate.
Tak banyak bicara malam itu --- mungkin karena terlalu lelah, mungkin karena sudah terlalu banyak kata sepanjang hari.
Akhirnya kami saling pamit di koridor.
Tanpa basa-basi, tanpa formalitas.
Seperti teman lama yang tahu, esok hari akan membawa cerita baru.
Minggu pagi.
Matahari baru naik, menghangatkan tanah yang masih basah embun.
Angin kecil lewat, membawa aroma rumput dan tanah basah.
Dari kejauhan, suara burung terdengar seperti percakapan pelan yang tak pernah usai.