Mohon tunggu...
Timotius Apriyanto
Timotius Apriyanto Mohon Tunggu... Konsultan - OPINI | ANALISA | Kebijakan Publik | Energi | Ekonomi | Politik | Filsafat | Climate Justice and DRR

Penulis adalah praktisi Pengurangan Risiko Bencana dan Pengamat Sosial

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Perang Rusia dan Ancaman Krisis BBM di Indonesia

5 April 2022   22:47 Diperbarui: 7 April 2022   20:06 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : SPBU PERTAMINA (sumber : kompas.com)

Pertanyaan untuk diri saya sendiri adalah, "mungkinkah harga pertalite naik sampai batas angka psikologis konsumen masyarakat kelas menengah ke bawah?" 

Lalu, berapakah batas angka Psikologis masyarakat untuk harga pertalite?

Pertanyaan itu adalah pertanyaan untuk diri saya sendiri, dan sah saja jika saya jawab sendiri. Batas angka harga psikologis pertalite menurut jawab saya sendiri adalah di harga Rp 9.000 / liter. 

Harga itu adalah harga Pertamax dulu sebelum kenaikan harga yang hanya sebagian kecil konsumen mampu menjangkau untuk kebutuhan transportasi harian mereka. 

Jika harga Pertalite sudah menyentuh Rp 9.000 / liter, maka sangat dikawatirkan akan mudah sekali memancing situasi chaos. 

Gejolak masyarakat akan terjadi sebagai reaksi tekanan ekonomi akibat inflasi yang tinggi.

Badan Pusat Staistik (BPS) mencatat inflasi sebesar 0,66% mtm atau 2,64% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada bulan Maret 2022.

Gejolak harga menjadi komponen penyumbang inflasi tertinggi yang mencapai 1,99% dan berkontribusi terhadap inflasi sebesar 0,33%.

Komoditas penyumbang inflasi tertinggi pada komponen harga bergejolak tersebut yaitu, cabai merah, minyak goreng, dan telur ayam ras.

Pertanyaan "mungkinkah harga pertalite menembus ambang batas psikologis konsumen masyarakat menengah ke bawah?", saya uraikan dalam uraian tulisan opini ini. 

Lonjakan harga minyak mentah dunia yang diikuti lonjakan harga komoditas, jika berkelanjutan dan tanpa "terobosan kebijakan penyelamatan", maka akan sangat mungkin berdampak nyata pada inflasi, serta ancaman resesi ekonomi global yang jauh lebih buruk dari resesi ekonomi sebagai dampak pandemi covid-19.

Beberapa waktu lalu di akhir bulan Maret 2022, saya melakukan perjalanan darat dari Yogyakarta ke Lampung. Situasi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di sepanjang tol trans Jawa masih normal kala itu.

Saat kami berada di Lampung, situasi pasokan BBM jenis Solar, Dexlite, dan Pertamina Dex mulai berbeda dibandingkan di Jawa. Saya bahkan menyaksikan banyak pengecer BBM menjual solar, sementara antrian panjang pengguna kendaraan di Lampung nampak mengular di SPBU. 

Fenomena antrian BBM di SPBU luar Jawa itu rupanya terjadi bukan hanya di Provinsi Lampung saja, melainkan juga di banyak daerah lain seperti di Aceh, Palembang, Kalimantan Selatan, bahkan ironisnya sebelum pengumuman resmi kenaikan harga di awal April 2022. 

Akhirnya, PT Pertamina (Persero) secara resmi telah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 92, Pertamax, mulai 1 April 2022.

Kenaikan harga BBM ini merupakan kenaikan kedua yaitu tepatnya sejak kenaikan resmi berlaku per 12 Februari 2022, dan kenaikan BBM jenis tertentu yaitu Pertamax sekitar Rp3.500-Rp4.000 per liter mulai berlaku 1 April 2022 menjadi Rp12.500-Rp13.000 per liter.

Kenaikan harga BBM jenis tertentu ini merupakan kenaikan pertama sejak operasi militer Rusia ke Ukraina akhir Februari 2022, yang membawa dampak lonjakan harga minyak mentah dunia.

Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) menargetkan penambahan program kerja seiring tren peningkatan harga minyak dunia.

Program kerja tersebut antara lain pemboran (drilling) maupun workover dan well service yang memerlukan tambahan "drilling rig" dan services lainnya.

Produksi hulu migas masih belum mencapai target. Salah satu faktor penyebabnya yakni adanya unplanned shutdown di ExxonMobil Cepu Ltd dan Pertamina Hulu Rokan (PHR).

Selain itu, pada saat bersamaan terjadi planned shutdown di LNG Tangguh Train-2 selama sebulan untuk perawatan atau maintenance.

Serangan Rusia di Ukraina sejak 24 Februari 2022 telah memicu terjadinya ancaman krisis pasokan minyak dan gas terbesar dalam sejarah dunia. Ancaman ketidakpastian, dan kerentanan yang sering kita kenal dengan VUCA (Vulnerability, Uncertainty, Complexity, & Ambiguity) ini tentunya sebagai keberlanjutan krisis pasca pandemi covid-19. 

Saya tergelitik untuk secara khusus mencermati dokumen laporan International Energy Agency (IEA) tentang situasi Pasar Minyak yang diterbitkan bulan Maret 2022.

Laporan Pasar Minyak IEA (Oil Market Report) adalah salah satu sumber data, prakiraan, dan analisis paling otoritatif dan tepat di dunia tentang pasar minyak global--termasuk data statistik terperinci dan komentar tentang pasokan, permintaan, cadangan minyak, harga, dan aktivitas penyulingan minyak, serta berbagai kegiatan perdagangan minyak untuk negara IEA dan negara-negara non-IEA terpilih.

Dalam laporan tersebut, International Energy Agency (IEA) menyebut pasar energi global berada di persimpangan jalan pasca serangan Rusia ke Ukraina.

Insiden ini telah membawa keamanan energi kembali ke titik terendah sekaligus berada di garis depan agenda diplomasi politik energi akibat melonjaknya harga minyak dan gas ke ketinggian baru yang tidak wajar. Krisis harga minyak dan gas dunia ini akan dapat mengakibatkan perubahan jangka panjang pada pasar energi.

Implikasi dari potensi hilangnya ekspor minyak Rusia ke pasar global tidak dapat diremehkan. Rusia adalah pengekspor minyak terbesar di dunia, dan mengirimkan 8 mb/d produk minyak mentah dan olahan penyulingannya ke pelanggan di seluruh dunia.

Sanksi Amerika beserta sekutu NATO maupun sekutu G7 yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dikenakan pada Rusia hingga saat ini telah diterapkan dengan suatu pengecualian khusus dalam hal perdagangan energi.

Namun ironisnya, banyak perusahaan minyak besar, perusahaan perdagangan dunia, perusahaan pelayaran dan bank telah mundur dari berbagai bisnis dengan negara Rusia.

Saat ini, terdapat potensi penghentian pasokan minyak Rusia sebesar 3 mb/hari mulai April, tetapi kerugian dapat meningkat jika pembatasan, sanksi Internasional dan atau kecaman publik meningkat.

Minyak Rusia terus mengalir untuk sementara waktu karena kesepakatan jangka panjang dan perdagangan yang dibuat sebelum Moskow mengirim pasukannya ke Ukraina.

Beberapa importir minyak Asia telah menunjukkan minat pada harga minyak per barel yang jauh lebih murah, tetapi sebagian besar tetap berpegang pada negara pemasok minyak tradisional di Timur Tengah, Amerika Latin dan Afrika untuk sebagian besar pembelian mereka.

Ada sedikit tanda-tanda peningkatan pasokan yang datang dari negara Timur Tengah, akibat realokasi arus perdagangan yang signifikan.

Sementara itu, penyulingan minyak, khususnya di Eropa, berebut untuk mendapatkan pasokan alternatif dan risiko dari hal ini harus mengurangi aktivitas seperti pasar produk minyak yang akan sangat ketat memukul konsumen.

Aliansi OPEC+ sepakat pada tanggal 2 Maret untuk tetap dengan kenaikan produksi yang dijadwalkan sebesar 400 kb/d pada bulan April 2022, dan mereka bersikeras menyatakan tidak ada kekurangan pasokan. Arab Saudi dan UEA--satu-satunya produsen dengan kapasitas cadangan yang besar--sejauh ini tidak menunjukkan keinginan untuk memanfaatkan cadangan mereka.

Prospek pasokan tambahan dari Iran bisa berbulan-bulan. Pembicaraan tentang kesepakatan nuklir yang membuka jalan bagi keringanan sanksi tampaknya terhenti tepat sebelum garis finis. Jika kesepakatan tercapai, ekspor dapat meningkat sekitar 1 mb/hari selama periode enam bulan.

Di luar aliansi OPEC+, pertumbuhan akan datang dari AS, Kanada, Brasil, dan Guyana, tetapi potensi kenaikan jangka pendek sangat terbatas.

Situasi tidak adanya peningkatan produksi yang lebih cepat, menyebabkan stok minyak harus menyeimbangkan pasar dalam beberapa bulan mendatang. 

Tetapi bahkan sebelum serangan Rusia ke Ukraina, persediaan minyak industri menipis dengan cepat. Pada akhir Januari, persediaan OECD berada 335 mb di bawah rata-rata lima tahun mereka dan pada posisi terendah dalam delapan tahun terakhir.

Stok darurat IEA akan memberikan penyangga (buffer stock), dan negara-negara anggota siap untuk melepaskan lebih banyak minyak dari cadangan strategis mereka jika dibutuhkan, selain 62,7 mb minyak mentah dan produk yang sudah dijanjikan.

Prakiraan suplai minyak dari kilang minyak global untuk tahun 2022 telah direvisi turun sebesar 860 kb/d sejak laporan bulan Februari 2022 karena adanya pengurangan 1,1 mb/d dalam operasional kilang minyak Rusia dan diperkirakan tidak akan sepenuhnya diimbangi oleh peningkatan suplai di tempat lain. 

Pada tahun 2022, penyerapan kebutuhan minyak dari kilang minyak secara global diproyeksikan meningkat sebesar 2,9 mb/d year-on-year menjadi 80,8 mb/d.

Meskipun terjadi penurunan permintaan, namun pasar minyak dunia tetap ketat dengan penarikan stok lebih lanjut yang diperkirakan terjadi sepanjang tahun.

Total suplai industri OECD turun sebesar 22,1 mb di bulan Januari pada 2.621 mb, total persediaan minyak sebesar 335.6 mb di bawah rata-rata 2017-2021 dan pada level terendah sejak April 2014.

Stok industri mencakup 57,2 hari untuk permintaan ke depan, turun 13,6 hari dari tahun sebelumnya. Data awal untuk AS, Eropa dan Jepang menunjukkan bahwa saham industri turun 29,8 mb lebih lanjut di bulan Februari 2022 lalu.

Fluktuasi harga minyak sangat dinamis, dari sekitar $90/bbl di awal Februari setelah invasi ke Ukraina dan karena kekhawatiran pasokan minyak, sampai sempat menyentuh harga tertinggi hampir $140/bbl pada 8 Maret 2022.

Uraian analisa teknis dalam laporan Pasar Minyak menunjukkan potensi kenaikan harga minyak mentah yang sangat signifikan. Hal ini tentunya akan membuka risiko kenaikan harga pertalite sebagai produk BBM Pertamina yang dikonsumsi masyarakat sampai ambang batas psikologis konsumen di Indonesia, jika tidak ada kebijakan untuk mensubsidinya. 

Faktor politis di luar analisa pasar minyak adalah terkait dengan tindakan dari para aktor-aktor antagonis yang ikut bermain dalam krisis energi ini. 

Sebut saja, "Greenpeace" yang dalam aksinya telah menghadang dua Kapal Tanker Pertamina Prime yang tengah membawa minyak dari Rusia di perairan Denmark tanggal 31 Maret 2022 menuju Indonesia untuk memenuhi kebutuhan impor kita.

Sebut saja juga para aktor yang selalu mencari momentum untuk berjuang sebagai pihak oposisi pemerintah. Dalam situasi seperti ini, saatnya para pejabat pemerintah untuk mempertebal "sense of crisis"-nya dan dengan cekatan segera melakukan tindakan penyelamatan situasi darurat energi.

Harga yang dibayar akibat sebuah kelalaian kolektif akan sangat tinggi dibandingkan dengan harga sebuah prestige politik jika beberapa program strategis Nasional terpaksa dibatalkan atau ditunda demi untuk menyelamatkan Bangsa Indonesia dari ancaman resesi ekonomi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun