Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Klarifikasi Adik Prabowo Subianto, Konflik Kepentingan, dan Oligarki di Balik Ekspor Benih Lobster

22 Juli 2020   11:37 Diperbarui: 22 Juli 2020   11:36 1174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Edhy Prabowo membuka keran ekspor benih lobster mengundang kecaman luas masyarakat. Tidak saja karena kebijakan itu pembocoran kekayaan negara dan memperkuat Vietnam sebagai kompetitor pasar lobster internasional, tetapi juga karena 5 dari 30 perusahaan -- hampir 20% -- yang mendapat izin ekspor dimiliki dan atau dipimpin elit Partai Gerindra.

[Lebih lengkap tentang hal ini baca ""Elit Gerindra di Balik Kisruh Ekspor Benih Lobster, Apa Kata Prabowo?"]

Rupanya kritik keras masyarakat mengganggu gendang telinga Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Prabowo Subianto. Pendiri Partai Gerindra ini tidak terima keterlibatan perusahaannya, PT Bima Sakti Mutiara, sebagai salah satu eksportir dadakan benih lobster dituding berkonflik kepentingan, korupsi, kolusi, dan nepotisme. Hashim menggelar jumpa pers untuk membantah tudingan itu.

"Wakil Ketua DPP Partai Gerindra, Hashim Djojohadikusumo menegaskan tidak ada konflik kepentingan terkait PT Bima Sakti Mutiara sebagai perusahaan yang mendapat jatah ekspor benih lobster dari Kementerian Kelautan dan Perikanan."[1] Demikian bunyi paragraf pertama artikel Kompas.tv (17/7/2020) memberitakan jumpa pers Hashim Djojohadikusumo.

Klarifikasi Hashim unik sebab sesungguhnya ia tidak mengklarifikasi dugaan konflik kepentingan dan KKN. Ia malah mengakui PT Bima Sakti Mutiara yang dipimpin anaknya, Rahayu Saraswati, salah satu yang mendapat izin ekspor benih lobster dari KKP yang dipimpin elit Gerindra, Edhy Prabowo.

Rahayu Saraswati, ponakan kandung Menhan Prabowo Subianto merupakah elit Partai Gerindra yang kini sudah dua periode menjadi anggota DPR RI. Baru-baru Prabowo Subianto menandatangani dan menyerahkan SK pencalonan Saraswati dalam Pilkada Tangerang Selatan. Sebelumnya PDIP sudah merekomendasikan Saraswati untuk bertarung sebagai calon wakil wali kota mendampingi Muhammad.[2]

Pilkada Tengsel akan jadi kontes dinasti politik. Selain Saraswati, penerus dinasti politik yang ikut bertarung adalah Pilar Saga Ichsan, anak anak Bupati Serang Ratu Tatu Chasanah, dan Siti Nur Azizah, putri Wapres Ma'ruf Amin.

Menurut Hashim Djojohadikusumo, ia, keluarganya, dan perusahaannya tidak mungkin KKN dalam bisnis ekspor benih lobster. Alasan Hashim, kalau ia mau korupsi, ia akan lakukan dalam proyek-proyek pengadaan senjata di lingkungan Kementerian Pertahanan.

Merenungkan pembenaran diri Hashim Djojohadikusumo, tampaklah bahwa bos besar Gerindra ini tidak paham apa itu coflict of interest. Maka baiklah kita sedikit mengupas hakikat konflik kepentingan.

Konflik Kepentingan, bukan KKN tetapi berpotensi melahirkan KKN

Kita periksa dulu pengertian konflik kepentingan menurut sejumlah kamus.

Dalam Cambridge Dictionary, conflict of interest didefinisikan sebagai "situasi seseorang tidak dapat memutuskan secara adil karena dampak keputusan itu akan turut memengaruhi dirinya."

Kamus Oxford mengartikan conflict of interest sebagai "situasi yang menempatkan seseorang memperoleh manfaat pribadi dari tindakan atau keputusan yang dibuatnya sebagai pejabat atau dalam kapasitas resminya."

Dalam kamus Merriam Webster, konflik kepentingan dijelaskan sebagai "konflik antara kepentingan pribadi dengan tanggungjawab jabatan."

Sementara menurut Komisi Pemberantasan Korupsi, konflik kepentingan adalah "situasi di mana seorang penyelenggara negara yang mendapatkan kekuasaan dan kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan memiliki atau diduga memiliki kepentingan pribadi atas setiap penggunaan wewenang yang dimilikinya sehingga dapat memengaruhi kualitas dan kinerja yang seharusnya."[3]

Nah, dari beragam upaya mendefinisikan konflik kepentingan, tampak bahwa konflik kepentingan bukan korupsi, kolusi, dan nepotisme itu sendiri melainkan kondisi yang potensial menyebabkan terjadinya KKN.

Ketika Ruang Guru turut menjadi mitra penyedia kursus digital Program Kartu Prakerja, masyarakat protes bukan karena pemimpin Ruang Guru Adamas Belva Devara terbukti melakukan korupsi, melainkan karena jabatan Belva sebagai staf khusus milenial Presiden Joko Widodo berpotensi memengaruhi keputusan pelibatan perusahaannya.

Oleh jabatan Delva, tim assessor mitra Kartu Prakerja sangat mungkin tidak objektif dalam menilai kelayakan Ruang Guru sebagai mitra. Artinya, keterlibatan perusahaan milik staf khusus milenial menyebabkan konflik kepentingan pada tim assessor mitra program Kartu Prakerja, bukan pada Belva.

Contoh paling sederhana kasus konflik kepentingan bisa kita temukan dalam pelaksanaan undian atau perlombaan. Biasanya terdapat klausul dalam pengumuman lomba bahwa karyawan -- atau keluarga karyawan -- tidak diperolehkan jadi peserta.

Andai misalnya Kompasiana mengadakan lomba menulis artikel dan salah seorang admin Kompasiana menjadi peserta, admin yang berkedudukan sebagai juri mengalami konflik kepentingan. Dalam diri juri bertabrakan kepentingan yang melekat pada tugasnya, yaitu memilih karya terbaik, dengan kepentingannya sebagai pribadi yang berhubungan perkawanan dengan admin yang jadi peserta.

Contoh lain, jika Anda mengajukan penawaran dalam pelelangan pekerjaan di lembaga non-pemerintahan -- misalnya jasa konsultan -- biasanya ada pertanyaan apakah Anda memiliki hubungan keluarga atau relasi personal lain dengan pemimpin atau staf lembaga pemilik pekerjaan. Dengan informasi tersebut, keputusan yang memenangkan Anda akan diperiksa lebih detil, apakah layak atau bias konflik kepentingan.

Dalam kasus izin ekspor benih lobster, bukan Hashim Djojokusumo atau elit Partai Gerindra pemilik empat perusahaan lain yang mengalami konflik kepentingan melainkan  Menteri KKP Edhy Prabowo.

Di satu sisi, sebagai Menteri KKP, Edhy Prabowo berkepentingan memastikan perusahaan-perusahaan yang mendapat izin ekspor benih lobster sungguh memenuhi syarat dan praktik bisnis ekspor benih lobster berjalan sesuai ketentuan. Tetapi sebagai elit Gerindra, Edhy berkepentingan agar teman-teman separpolnya, dan Hashim Djojohadikusumo sebagai bos-nya di Parpol digolkan, mendapat quota lebih besar, dan dimudahkan dalam menjalankan bisnis ekspor benih lobster.

Demikian juga tim di KKP yang bertugas memverifikasi perusahaan-perusahaan yang melamar. Meksi bukan orang Gerindra, memiliki menteri elit Gerindra menempatkan mereka dalam konflik kepentingan ketika sejumlah perusahaan yang dimiliki bos-bos Gerindra mengajukan izin ekspor benih lobster. Tim di KKP terperangkap situasi antara bertindak profesional sesuai tanggungjawabanya dengan keinginan menyenangkan atasan -- mungkin kata menjilat terlalu kasar -- demi kelangggengan jabatan mereka.

Jadi klarifikasi Hashim menjadi janggal sebab selain isi penjelasannya tidak berhubungan dengan persoalan, ia juga bukan pihak yang seharusnya mengklarifikasi. Hashim sudah bertindak seolah-olah ia juru bicara anak buahnya di Gerindra, Edhy Prabowo. Tambah runyam lagi.

Konglomerat Penguasa Parpol terlibat proyek pemerintah: bau tajam Oligarki

Kata oligarki sedang di puncak percakapan publik lagi gara-gara anak Joko Widodo mencalonkan diri dalam pilkada Surakarta. Orang-orang berkomentar di media sosial, menghubungkan politik dinasti dengan oligarki.

Padahal, politik dinasti, terutama dalam kasus Gibran berlaga di Pilkada, tidak bisa menjadi bukti praktik atau keberadaan oligarki. Kesimpulan yang menghubungkan dua hal ini cuma berbasis kecenderungan umum bersatunya parpol-parpol -- semua mencalonkan Gibran -- disebabkan kendali tangan-tangan oligark di baliknya.

Justru kasus pemberian izin ekspor benih lobster kepada perusahaan Hashim Djojohadikusuma lah contoh paling kuat dari keberadaan oligark dan praktik oligarki.

Sudah pernah saya tulis dalam artikel "Oligarki Menjaga Soliditas dan Harmoni Melalui Electoral Threshold 7 Persen", pengertian oligark -- mengutip Jeffri Winters -- adalah "para aktor yang mengontrol konsentrasi masif sumber daya material dan menggunakannya untuk mempertahankan atau meningkatkan kekayaan dan posisi sosial mereka yang eksklusif."

Jadi oligark adalah elit ekonomi yang mengendalikan politik, baik secara tidak langsung dengan mensponsori politisi atau terjun langsung sebagai politisi.

Oligarki adalah pemerintahan para oligark di belakang layar, yang sebagai deep state atau pseudo-state mengendalikan kekuasaan formal. Dalam pemerintahan oligarki, elit politik hanya seolah-olah mengambil keputusan-keputusan. Senyatanya mereka cuma boneka sekumpulan elit ekonomi.

Hashim adalah salah satu elit ekonomi pamuncak di Indonesia. Ia termasuk dalam daftar 40 orang terkaya di Indonesia, dengan kekayaan -- sebelum pandemi -- mencapai  US$ 800 juta atau sekitar Rp 11,2 triliun.[4]

Sekalipun Hashim berbuih-buih mengklaim dirinya terjun ke dunia politik karena ingin mengabdi kepada bangsa dan negara -- semua yang terjun ke politik, dari gembel hingga penguasa pulau akan bilang begitu -- semua teori politik menyatakan kepentingan elit ekonomi terjun ke lapangan politik adalah untuk melindungi kekayaan mereka dan berburu rente ekonomi memanfaatkn pengaruh mereka terhadap kekuasaan.

Pemerintahan yang kebijakan-kebijakannya dihasilkan dalam pengaruh kekuasaan para elit bisnis untuk kepentingan elit-elit bisnis itulah oligarkhi.

Kebijakan Menteri KKP Edhy Prabowo, terlepas sederet argumentasi kepentingan publik yang ia sampaikan, nyata-nyata menguntungkan Hashim Djojohadikusumo, elit ekonomi yang mendirikan Gerindra. Kebijakan ekspor benih lobster Edhy Prabowo sangat patut dicurigai sebagai wujud kendali oligark terhadap pemerintahan.

Nah, soal dirinya sebagai salah satu oligark pengendali pemerintah inilah yang seharusnya diklarifikasi Hashim Djojohadikusumo. Sementara urusan klarifikasi tudingan conflict of interest merupakan ranah Menteri KKP Edhy Prabowo.

Akan tetapi, bagaimanapun Hashim dan Edhy Prbowo menyanggah tudingan, tiada mampu mereka membantah bau konflik kepentingan dan wujud oligarkhi dalam kebijakan ekspor benih lobster.

Satu-satunya jalan adalah perusahaan milik Hashim dan 4 perusahaan lain yang dimiliki atau dipimpin elit Partai Gerindra mengundurkan diri dari bisnis ekspor benih lobster pun bisnis lain yang berada di bawah kendali kementerian yang dijabat Prabowo Subianto dan Edhy Prabowo.

Selama mereka masih mengambil untung dari sana, semua tudingan masyarakat patut dianggap benar.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun