Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Lemahnya Matematika Pemerintah dalam Kebijakan Pembatasan Jam Operasi Pasar Tradisional

22 Mei 2020   15:11 Diperbarui: 23 Mei 2020   07:55 880
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ILUSTRASI. Pasar Km 5 Palembang di hari pertama penerapan PSBB [KOMPAS.com/AJI YK PUTRA]

Saya selalu katakan kepada anak saya, "Bahkan Tuhan menciptakan dunia dengan matematika." Saya berharap ia mencintai matematika, tidak harus menjadi ahli. Matematika yang saya maksud bukan ilmu berhitung tetapi ilmu mengenali variabel dan hubungan antar-variabel  dalam suatu peristiwa.

Membaca beragam berita kebijakan pemerintah dalam merespon pandemi Covid-19, saya menemukan cukup bukti untuk saya sampaikan kepada anak, "Lihat nih, gara-gara matematikanya lemah, kebijakan yang dikeluarkan pemerintah sering salah." Salah satu yang saya jadikan contoh adalah kebijakan pembatasan jam operasio pasar tradisional.

Pembatasan jam operasi pasar tradisional sudah jamak diterapkan oleh banyak pemerintah kota dan kabupaten. Di Kota Kupang, tempat domisili saya, kebijakan ini sedang dikaji sebagai respon pemerintah terhadap peningkatan kasus Covid-19 oleh penularan lokal.

Aslinya didorong niat baik, menekan peluang penularan lokal. Sayang, niat baik saja tidak cukup. Dibutuhkan pula ketepatan logika agar maksud baik terpenuhi.  Logika yang saya maksud adalah pemetaan dengan tepat variabel-variabel yang berperan signifikan dan hukum hubungan antar-variabel tersebut.

Pembatasan jam operasi pasar tradisional sejatinya dimaksudkan untuk menegakkan pembatasan sosial -- termasuk kontak fisik -- pada aktivitas ekonomi vital yang tidak mungkin ditutup sama sekali.

Sayangnya, alih-alih pembatasan sosial, kebijakan ini justru mendorong kontak fisik lebih erat dan intens sebab berujung penumpukan pengunjung pasar.

Hal ini serupa dengan kebijakan pengurangan kapasitas dan frekuensi angkutan publik. Bukannya menciptakan jarak aman antar-pengguna, kebijakan tersebut malah mengondisikan penumpang berjubel di terminal atau stasiun dan berdiri atau duduk rapat-rapat di dalam kendaraan.

Maka jangan salahkan para petugas kesehatan jika jengkel dan bikin aksi protes dengan slogan #IndonesiaTerserah

Pembatasan kontak fisik akan terjadi jika tingkat kepadatan, yaitu jumlah pengunjung pasar per satuan areal pasar (misalnya meter persegi) berkurang dari normalnya. Katakanlah simbol bagi hal ini adalah Y.

Apa saja variabel yang berpengaruh terhadap Y?

Hemat saya, variabel-variabel yang pokok adalah jumlah rata-rata pengunjung pasar per hari (N), Luas areal pasar (L), durasi atau jam buka pasar (T), rata-rata durasi waktu belanja per individu (t).

Hubungan antara variabel-variabel ini terhadap kepadatan pasar adalah Y = (N x t)/(T x L).

Baca pula: "Ketika Sri Mulyani Ngotot Kartu Prakerja"

Tampak bahwa kian tinggi jumlah pengujung harian (N) dan rata-rata durasi belanja individu (t) akan kian tinggi pula tingkat kepadatan pasar (Y). Demikian pula sebaliknya, kian kecil nilai N dan t, mengecil pula tingkat kepadatan pasar.

Sebaliknya, durasi waktu operasional pasar (T) dan luas pasar (L) berbanding terbalik dengan tingkat kepadatan (Y). Kian besar nilai T dan L, kian kecil nilai Y. Kian kecil T dan L, kian besar Y.

Kita buat contoh.

Asumsikan jumlah kunjungan harian rata-rata penduduk Kota A ke pasar A (N )adalah 10.000 orang per hari. Dalam kondisi normal pasar beroperasi (T) selama 20 jam per hari atau 1.200 menit. Rata-rata waktu yang dihabiskan setiap orang dalam berbelanja (t) adalah 30 menit. Luas efektif areal pasar tersebut adalah 1.000 meter persegi.

Kita akan memperoleh Y = (10.000 orang x 30 menit)/(1.200 menit x 1.000 m2) = 0,25 orang per meter persegi. Atau setiap 4 meter persegi ada 1 orang pengunjung pasar. Yang berarti terdapat jarak aman (radius) 1 meter antar-pengunjung.

Sekarang andaikan Pemerintah Kota membatasi jam operasional pasar menjadi 4 jam saja per hari (240 menit). Perhitungannya akan menghasilkan Y = 1.25 atau ada 5 orang setiap meter persegi.

Jelas bahwa berdasarkan pemodelan matematis ini, pembatasan waktu operasional pasar berdampak  mempersempit jarak antar-pengunjung pasar. Itu berarti kebijakan ini justru bertolak belakang dengan kepentingan menegakkan protokol jaga jarak dan pembatasan sosial.

Bahwa empirik di sejumlah tempat pasar sepi semasa pemberlakuan pembatasan jam operasional, penyebabnya bukan karena pengurangan jam operasional (T), melainkan karena pengurangan nilai N. Pasar sepi karena orang-orang menahan diri, takut terjangkit Covid-19 di pasar.

Ketika kelak seruan pemerintah agar masyarakat menyesuaikan hidup dengan kondisi new normal, N akan kembali ke ukuran sebelumnya sehingga pasar akan lebih berjejal lagi jika pembatasan pasar tetap berlaku.

Lalu apa kebijakan yang pas?

Berdasarkan model matematis Y = (N x t)/(T x L), ada empat opsi kebijakan yang tersedia -- bisa pula berupa kombinasi opsi-opsi - yaitu:

  • kurangi jumlah pengunjung harian (N);  

  • persingkat durasi belanja per individu (t);

  • perpanjang jam buka pasar (T); atau

  • perluas pasar (L).

Kini tinggal berhitung, mana di antara empat opsi atau kombinasi opsi-opsi di atas yang paling mungkin.

Kocak nih: "Pandemi, Terjepit Takut dan Tak Tega, Lantas Panik dan Bodoh"

Penyingkatan durasi belanja per individu (t) bisa dilakukan misalnya dengan klasterisasi pedagang berdasarkan jenis dagangan; penyetaraan harga disertai informasi harga fix yang tertempel di spanduk-spanduk. Dengan cara ini, waktu untuk mencari-cari dagangan dan melakukan tawar menawar bisa dipotong.

Problemnya, pedagang pasar tradisional umumnya berdagang banyak jenis item dan tidak selalu lengkap. Lapak tukang sayur menjual pula bumbu-bumbu dapur, tahu-tempe, telor, buah-buahan. Di satu lapak ada kunyit tetapi tidak ada daun bawang. Maka tidak terhindarkan, waktu melihat-lihat, bertanya-tanya akan selalu ada.

Berkebalikan dari membatasi, jam operasi pasar (T) justru harus diperpanjang. Tetapi tanpa pengaturan zonasi waktu belanja, hal ini akan susah dan tidak efisien sebab pengunjung akan menumpuk pada jam-jam tertentu dan sepi pada waktu yang lain.

Pengurangan jumlah pengunjung harian (N) bisa dilakukan dengan melakukan zonasi waktu belanja. Misalnya hari Selasa dan Kamis jam 10 s/d 14 untuk warga kelurahan A dan B; jam 14 s/d 18 untuk warga kelurahan C dan D; dan seterusnya sehingga warga di tiap kelurahan akan mendapat jatah kunjungan ke pasar 2 hari dalam seminggu, 4 jam per kunjungan.

Jika sistem ini yang diterapkan, masyarakat harus menyesuaikan langgam hidup rumah tangga. Mereka yang terbiasa berbelanja barang kebutuhan bahan pangan segar harian, harus menyesuaikan diri dengan mempraktikkan teknik penyimpanan pangan agar tetap segar selama 3-4 hari tanpa harus membeli lemari pendingin.

Bisa pula rakyat menyesuaikan diri dengan mengalihkan belanja ke pedagang keliling.

Perluasan pasar (L) sulit dilakukan selama perspektifnya adalah penambahan ruang pasar yang sudah ada. Anggaran yang dibutuhkan untuk itu tentu cukup besar. Selain itu, ada problem keterbatasan ruang jika perluasan dilakukan secara horizontal.

Penting: "Bikin Cemburu, Spanyol Terapkan UBI, Akankah Indonesia Juga?"

Tetapi perluasan pasar (L) bisa murah jika perspektifnya adalah pembangunan pasar-pasar di tingkat desa/kelurahan. Yang dibutuhkan adalah kerjasama antara pemerintah kabupaten/kota dengan pihak kelurahan/desa dalam penyediaan lokasi, pembangunan fasilitas, serta insentif untuk menekan jurang harga antara pasar induk dengan pasar kelurahan/desa.

Nah kiranya begitu.

Jadi jika mau berdamai dengan Covid-19, dalam makna menyesuaikan langgam hidup dengan kondisi new normal, para pembuat kebijakan perlu didorong untuk belajar matematika. Sebab tampaknya bukan rakyat, melainkan pemerintah yang gagap membuat kebijakan yang klop kondisi normal baru.

Sorry.

Oh, iya. Anak saya tidak cukup kuat dalam ilmu hitung. sebab saya katakan padanya, ketika dewasa nanti ia bisa pakai aplikasi kalkulator dalam henpon untuk berhitung.

Tetapi jangan tanya soal pengenalan variabel.

Kemarin ia menjelaskan kepada saya, bagaimana wajah sejarah dunia jika Pemerintah Perancis tidak memberi dukungan finansial bagi para patriot revolusi kemerdekaan Amerika Serikat dari imperium Inggris.

Ia bilang dampaknya  Pemerintah Prancis tidak akan berhutang maka Revolusi Prancis tidak terjadi maka Napoleon tidak akan berkuasa maka Holy Roman Empire tidak lenyap maka Prusia tidak menjadi kekuatan besar maka Jerman tidak menjadi imperium, dan seterusnya hingga perang dunia tidak terjadi seperti yang sudah terjadi, dan seterusnya, dan sebagainya.

Pagi tadi, ia minta pendapat saya, apa yang terjadi jika Inggris memenuhi janjinya terhadap Hussein bin Ali sebagai balas jasa pemberontakan Sharif of Mecca dan raja Hejaz itu terhadap kekaisaran Ottoman? Ia katakan, Inggris berjanji membantu  Hussein bin Ali mengusai jazirah Arah dan sekitarnya, meliputi Arab Saudi, Oman, Yemen, Irak, Uni Emirat Arab, Siria, Israel, Yordania, Lebanon, dll.

Karena saya tidak tahu, ia pun menjelaskan sendiri peristiwa-peristiwa sejarah yang mungkin tidak akan terjadi andai Inggris sunggu menepati janji. Ia katakan, pada ujungnya negara adikuasa bukan Amerika Serikat, Rusia, dan China melainkan imperium dinasti Hussein bin Ali.

Bagi saya, ia sedang menerapkan matematika. Kalau menurut Anda bukan, saya minta maaf lahir dan batin meski Anda yang salah.  :-) 

Baca pula: "Eks-Milisi Timor Timur Ancam Pemerintah cq Menhan Prabowo Subianto, Ada Apa?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun