Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sikat Koruptor BUMN, Beranikah Jokowi Belajar dari Xi Jinping?

23 Februari 2020   10:35 Diperbarui: 24 Februari 2020   08:42 2348
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Presiden Jokowi saat melakukan pertemuan bilateral dengan Presiden China Xi Jinping di sela acara KTT G20 pada Jumat (28/6/2019)| Sumber: Biro Pers Sekretariat Presiden

Dalam sejumlah pemberitaan, Menteri Erick Thohir tampak gusar berhadapan dengan kondisi buruk BUMN. Maraknya korupsi dan rendahnya tingkat keuntungan adalah wajah BUMN kita. Banyak pihak menilai kasus Asabri dan Jiwasraya hanya puncak gunung es dari kondisi umum BUMN.

"Selamat mencuci piring kotor," sindir Said Didu kepada Erick Thohir. Kita patut melihat cuitan Said, mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) itu sebagai ungkapan pengetahuan orang dalam atas jeroan manajemen dan operasional BUMN.

Erick Thohir bukan satu-satunnya menteri BUMN di dunia yang pusing dengan kondisi korup, inefisien, dan buruknya kinerja BUMN. Hampir semua negara dengan kontribusi besar BUMN dalam perekonomian menghadapi problem ini. 

Karena itu perlu kiranya Menteri Erick dan Presiden Joko Widodo belajar pula bagaimana pemerintahan negara lain memerangi korupsi di BUMN mereka. Salah satu tempat belajar yang baik adalah RRC.

Di bahwa pemerintahan Xi Jinping (sejak 2012), China dipandang sudah melakukan langkah besar, fundamental, dan cukup berhasil dalam menekan korupsi, termasuk di tubuh BUMN. 

Sejak naik ke tampuk kekuasaan, memerangi macan, lalat, dan rubah adalah janji Xi Jinping. Macan adalah metafora Xi untuk para pejabat tinggi korup; lalat untuk pegawai kecil; sementara rubah adalah julukan bagi para koruptor yang melarikan diri ke luar negeri. 

Metafora macan dan lalat pertama kali digunakan oleh Mao, pendiri RRC.

Bagi Xi Jinping, tiada guna semua kemajuan pembangunan yang ditorehkan pemerintahan Partai Komunis China selama para pejabat partai dan birokrat korup. Korupsi merusak citra PKC dan menjauhkan rakyat dari partai politik terbesar di dunia itu.

Ketika Xi Jinping menyampaikan janjinya, banyak pihak mencibir. Xi Jinping dicurigai hanya menjadikan agenda pemberantasan korupsi sebagai topeng menyingkirkan lawan-lawan politiknya, para petinggi partai yang loyal kepada pemimpin sebelumnya, orang-orang Hu Jintao (faksi Tuanpai) pun loyalis Jiang Xemin dalam faksi Taizidang.

Beberapa tahun kemudian, dunia mengakui keseriusan Xi Jinping dalam pemberantasan korupsi tanpa pandang bulu.

Media Jepang, Nikkey Asian Review melaporkan pada Oktober 2017, sejak Xi melancarkan kampanye anti-korupsinya, sudah lebih dari 2 juta pejabat asal PKC, baik golongan macan pun para lalat, dipenjara. 

Dari jumlah tersebut, 8.600 orang merupakan pejabat setingkat kepala biro atau departemen dan 280 orang adalah pejabat tingkat wakil menteri dan di atasnya.

Baru setahun memerintah, gerakan Xi Jinping memberantas korupsi telah menyeret macan raksasa sekelas Zhou Yongkang. Padahal Zhou Yongkang adalah pendukung Xi Jinping.

Zhou Yongkang bukan tokoh sembarangan. Ia 10 kali terpilih sebagai anggota Komite Sentral PKC, lembaga tertinggi partai ini. 

Selama 10 tahun di Komite Sentral, Zhou beberapa kali duduk di Politbiro, bahkan menjadi anggota Standing Committee Politburo, lembaga pengambil keputusan harian tertinggi dalam politik China. 

Di pemeritahan, Zhou pernah menjabat Menteri Pertanahan dan Sumber Daya Alam dan Menteri Keamanan Publik.

Pemenjaraan Zhou (2015) dan vonis hukuman seumur hidup terhadapnya memutus mitos bahwa pejabat selevel anggota Standing Comittee Politburo PKC tidak tersentuh hukum.

Selain Zhou, mantan anggota Politburo yang juga divonis korupsi antara lain Bo Xilai (mantan anggota Politburo dan Menteri Perdagangan); Jenderal Xu Caihou (mantan anggota Politburo dan Wakil Ketua Komisi Militer Pusat---merupakan jabatan tertinggi militer dalam pemerintahan, sementara Ketua Komisi Militer Pusat berada di tangan sipil); dan Sun Zhengcai (mantan anggota Politburo dan Menteri Pertanian, dipandang sebagai salah satu calon pemimpin masa depan China). 

Ada pula politisi berpengaruh, anggota Komite Sentral non-anggota Politburo, seperti Su Rong yang merupakan Wakil Ketua lembaga legislatif People's Political Consultative Conference (PCC).

Politburo Komite Sentral adalah lembaga kepemimpinan politik tertinggi di China. Anggotanya 25 orang--termasuk Presiden--yang dipilih oleh Komite Sentral. Di antara 25 orang tersebut, 7 orang merupakan anggota Standing Committe Politburo, lembaga pengambil keputusan harian tertinggi dalam pemerintahan RRC.

Pembersihan di Tubuh BUMN

Salah satu yang jadi target Xi Jinping dalam perang melawan korupsi adalah para pejabat korup di BUMN. Untuk memberantas korupsi di perusahaan negara ini, pemerintahan Xi Jinping memadukan penangkapan dan pemenjaraan dengan perintah mengubah gaya hidup para pejabat BUMN.

Ethan Epstein, editor The Washington Times menulis kesaksiannya tentang sejumlah perubahan mendasar periaku para bos BUMN China setelah gebrakan Xi.

Menurutnya, dahulu jabatan BUMN adalah salah satu yang paling diincar sebab menjanjikan banyak uang dan gaya hidup mewah.

Dahulu para pejabat BUMN banyak menyimpan kekayaan mereka di rekening luar negeri, gemar bepergian ke luar negeri dengan penerbangan kelas satu, sering berpesta pora di bar dan restoran mahal, serta membeli barang-barang bermerek. 

Itu semua dilakukan terang-terangan dan dibiayai dengan uang hasil korupsi dan pemerasan terhadap mitra usaha, serta bonus yang besar dari laba BUMN.

Di masa kekuasaan Xi Jinping, itu semua berakhir. Banyak tunjangan bos BUMN dicabut, penerbangan kelas satu dilarang, pertemuan tidak boleh dilakukan di hotel mewah tetapi di kantin perusahaan. 

Para bos BUMN tidak bisa lagi terang-terangan mabuk-mabukan di bar atau menjamu tamu di restoran mewah. Mereka bahkan dilarang mengadakan perjamuan prasmanan, menggantinya dengan makanan yang dibatasi jumlah item lauknya. Belanja mereka diawasi ketat. Mereka dilarang menerima hadiah barang-barang mahal.

Gara-gara itu banyak restoran mewah tutup, toko-toko yang menjual barang-barang mahal bermerek seperti produk Louis Vuitton dan jam impor asal Swiss gulung tikar. Para bos BUMN yang doyan pesta-pesta di bar terpaksa melakukannya sembunyi-sembunyi lewat jasa ilegal di tempat-tempat privat.

Bahkan ketika gebrakan Xi Jinping baru setahun, Financial Times melaporkan penjualan sejumlah merek mahal beverages beralkohol yang kerap digunakan sebagai sogokan di kalangan pejabat China, seperti Diageo, Pernod Ricard, dan Remy Cointreau, turun dua digit. 

Para produsennya menyatakan anjloknya penjualan produk mereka merupakan dampak langsung perang Xi Jinping terhadap korupsi.

Penguatan Peran Lembaga Pemberantas Korupsi dan Penempatan Orang Tepat

Salah satu strategi pemberantasan korupsi Xi Jinping adalah institusionalisasi pemberantasan korupsi melalui reformasi dan penguatan kelembagaan pemberantasan korupsi.

Xi Jinping mulai dengan peningkatan independensi the Central Commission for Discipline Inspection (CCDI) dan perluasan organisasi lembaga tersebut.

CCDI merupakan lembaga pengawas dan penegakan disiplin internal Partai Komunis China yang telah ada sebelum RRC berdiri (sebelum kemenangan atas Kuomintang). 

Awalnya lembaga ini bernama the Central Review Committee (1928-1933), the Central Party Affairs Committee (1933-1945) dan the Central Control Commission (1945-1949). Ini merupakan lembaga standar dalam organisasi partai Marxist-Leninist.

Sebelum era Xi Jinping, terutama semenjak kekuasaan Deng Xiaoping, CCDI seperti macan ompong. Ketika berkuasa, dalam kongres partai Xi berhasil memenangkan kampanye penguatan dan peningkatan independensi lembaga ini.

Sepak terjang CCDI juga sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan Wang Qishan, Sekjennya. Wang adalah politisi senior (69 tahun) anggota Standing Committee Politburo dan Wakil Presiden RRC.

Setelah kinerja CCDI meningkat dan berhasil menyeret jutaan kader korup PKC ke penjara, Xi Jinping melangkah lebih jauh. 

Pemberantasan korupsi kini menyasar golongan yang lebih luas, yaitu birokrat dan pejabat BUMN non-anggota PKC. Untuk itu, pada 2018, Xi Jinping memenangkan dukungan bagi pembentukan lembaga baru,  National Supervisory Commission (NSC).

Jika CCDI terbatas berurusan dengan angggota PKC, NSC bisa menindak semua pegawai pemerintahan dan BUMN.

NSC dipimpin oleh Yang Xiaodu yang dalam beberapa tahun ini merupakan deputi CCDI.

Perlawanan dari Internal Partai

Upaya serius Xi Jinping membersihkan Partai Komunis China, birokrasi, dan BUMN dari para macan dan lalat bukan tanpa perlawan keras mereka yang merasa dirugikan atau yang tidak setuju dengan pola tangan besi tersebut. 

Sebagai partai politik terbesar di dunia, sudah tentu banyak faksi dalam tubuh PKC yang bersaing dan bertarung menentukan kebijakan partai dan jalannya pemerintahan.

Pada tahun pertama kampanye anti-korupsi Xi Jinping, dua presiden sebelumnya, Jiang Zemin dan Hu Jintao memberi dukungan. Tetapi setelah Zhou Yongkang diseret ke penjara, dua tokoh pendahulu Xi ini mulai waswas.

Jiang Zemin, yang khawatir akan banyak sesepuh PKC berpengaruh berakhir di penjara, menulis surat kepada Xi Jinping agar melunakkan sepak terjangnya. Kecemasan dan peringatan serupa juga disampaikan Hu Jintao.

Tentu saja dapat ditebak jika peringatan tersebut disertai pula dengan internal struggle di tubuh PKC.

Faksi Tuanpai yang dipimpin Hu Jintau dan loyalis Jiang Zemin dalam Taizidang (faksi yang kini dipimpin Xi Jinping) tentu menggalang perlawanan, baik menggagalkan inisiatif-inisiatif kebijakan anti-korupsi Xi dalam Komite Sentral, maupun berupaya melenggserkan Xi dari kepemimpinan PKC.

Tetapi apakah menghadapi perlawanan itu Xi Jinping  mengerem perang melawan korupsi demi menyelamatkan jabatannya? Tidak. Ia justru mengganas. Xi bahkan mengirim pesan terbuka kepada Jiang Zemin agar mengakhiri "politik orang tua" dan membiarkan kepemimpinan yang sekarang bekerja.

Apakah Presiden Jokowi dan Menteri Erick Thohir Berani Meniru Xi Jinping?

Bisa kita simpulkan empat fitur perang melawan korupsi a la Xi Jinping. Yang pertama adalah mulai dari rumah tangga sendiri. Sebelum menindak korupsi birokrat umum, Xi Jinping mulai dengan membersihkan partai sendiri, PKC.

Kedua, untuk memberantas korupsi di BUMN, Xi tidak hanya mengandalkan main tangkap tetapi juga memerintahkan perubahan gaya hidup dan penghapusan fasilitas mewah para pejabat BUMN.

Ketiga, Xi Jinping memperkuat lembaga pemberantasan korupsi, memperjuangkan orang kuat yang bersih memimpin lembaga tersebut. Bukan main-main, Wang yang merupakan satu dari 3 politisi paling berpengaruh di China yang memimpin CCDI.

Keempat, perlawanan dari lawan-lawan kuat tidak membuat Xi berkompromi demi kelanggengan kekuasaannya.

Bisakah Presiden Jokowi dan Menteri Erick Thohir menirunya? Semoga, suatu saat nanti.

Bacaan:

  • Nikkei Asian Review (16/10/2017), "Xi Jinping has more tigers, foxes and flies in his sights"
  • Washington Times (20/03/2019), "Xi Jinping's corruption crackdown in China cements grip on power, changes look of Beijing"
  • Financial Times (31/3/2014) "Ex-president Jiang urges Beijing to curb anti-corruption drive."
  • South China Morning Post (11/08/2015) "Stop meddling in politics: Chinese President Xi Jinping's coded message to Jiang Zemin."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun