Mohon tunggu...
George
George Mohon Tunggu... Konsultan - https://omgege.com/

https://omgege.com/

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Bushido! Mungkinkah Jadi Budaya Politik? Berkaca dari Edy Rahmayadi

20 Januari 2019   15:46 Diperbarui: 20 Januari 2019   18:07 904
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bushido Edy Rahmayadi [Ilustrasi diolah dari downtowngreensboro.org dan Amazon.com]

"Begitu berat saya rasakan. Untuk itu sampaikan ke rakyat, PSSI ini milik rakyat seluruh Indonesia yang diwakilkan ke kita. Saya tak mampu lakukan ini saya mohon maaf."

Edy Rahmayadi, figur yang dikenal keras kepala itu menyampaikan pidato terakhir sebagai Ketua Umum PSSI. Ia mengaku kalah, tak mampu memimpin PSSI, dan memutuskan mundur.

Masyarakat umum yang tak mengakses desas-desus beberapa hari terakhir sudah pasti terkejut. Berbulan-bulan lamanya orang mendesak Edy mundur. Ribuan orang menandatangani petisi untuk mendesaknya. Ia bergeming. Angkuh. Maka siapa sangka hari ini, Minggu, 20 Januari, Edy memutuskan sebaliknya?

Mungkin bukan kehendak masyarakat sepakbola yang Edy turuti. Mungkin masih tak peduli dirinya pada suara-suara miring  ribuan pengecam.

Tetapi masalah-masalah yang membelit PSSI dan persepakbolaan Indonesia bukanlah hal yang mudah Edy abaikan. Ia tak bisa pura-pura menutup mata atas kemunduran prestasi dan mental manajemen persepakbolaan nasional.

Masalah-masalah itu berpawai mengejeknya. Timnas gagal mencapai semifinal Asian Games 2018, kandas di babak 16 besar. Keuanggan PSSI amburadul sehingga harus menunggak gaji Luis Milla dan berujung pengakhiran kontrak.

Begitu pula masalah klasik pemukulan wasit, tawuran dan penganiayaan suporter yang berujung kematian, bercak kusam abadi pada wajah persepakbolaan kita.

Lalu akhirnya ... skandal pengaturan skor pertandingan terbongkar. Dua pembesar PSSI, anggota Komisi Eksekutif Johar Lin Eng dan  anggota Komisi Disiplin Dwi Riyanto, terlibat.

Masalah-masalah itu memukul keras Edy Rahmayadi, melemparkan tubuhnya ke sudut ring. Ia angkat tangan, menyerah, mundur dari gelanggang. TKO!

Mungkin banyak orang mencibir, menilai keputusan Edy Rahmayadi sungguh terlambat. Namun perlu pula diakui, keberanian Edy untuk mengaku tak mampu dan memutuskan mundur adalah barang langka di Indonesia. Jika banyak orang memiliki keberanian seperti Edy, mungkin setiap pekan laman media warta akan berisi berita pejabat mengundurkan diri.

Di sejumlah negara, lebih-lebih di Jepang, pejabat mengundurkan diri karena merasa gagal sudah lazim. Orang Jepang sangat tahu diri dan karena itu kenal malu.

Bukan karena sudah genetik, mengalir dalam diri mereka sikap ksatria yang demikian itu.

Konon, etika mundur jika gagal baru menjadi arus utama di Jepang sejak masa kediktoran Tokugawa, awal 1600an hingga pertengahan 1800an. Etika itu dimulai dari kalangan samurai dan shogun.

Bushido namanya, satu unsur dari seperangkat kode etik pada ksatria. Samurai atau shogun yang gagal mengemban tugas akan melakukan seppuku, ritual harakiri untuk menebus kesalahannya. Menghujamkan katana dengan khidmat, dalam-dalam ke perut sendiri. Dengan cara itu mereka tetap mempertahankan kehormatan diri.

Ketika masa restorasi Meiji mengakhiri kekuasaan panjang keshogunan Tokugawa, etika boshido sebagai peninggalan terbaik masa Edo Bakufu itu dipertahankan, menjadi nilai-nilai dasar masyarakat Jepang, siapapun tak harus samurai.

Tentu saja harakiri masa kini tidak lagi dalam bentuk menikamkan pedang ke perut sendiri. Prinsip bushido, sikap ksatria itu diterapkan dalam bentuk kesediaan mundur dari jabatan oleh kesadaran sendiri sebab sudah gagal menjalankan tugas.

Demikianlah bagi orang Jepang, mengakui kesalahan dan mundur bukanlah aib. Sebaliknya ia bentuk penghormatan atas diri sendiri, upaya mempertahankan harga diri. Hanya orang-orang tak punya harga diri yang tak mengakui kegagalan dan tak tahu malu menggenggam erat-erat jabatannya.

Karena bushido bukan genetik, melainkan nilai yang ditemukan, yang diintrodusir dan kemudian melembaga, melarut sebagai warisan turun-temurun bangsa Jepang, maka mungkin pula dan tentu saja baik adanya jika bangsa kita menirunya.

Edy Rahmayadi, dan Idrus Marham sebelumnya, sudah menunjukkan jalan. Sangat cantik jika pejabat-pejabat dalam banyak ranah organisasi menirunya. Bahkan sungguh terima kasih jika pemerintahan ke depan, Jokowi di era kedua, atau mungkin Prabowo, melembagakan etika ini.

Kepada menteri-menteri dibuatkan kontrak kinerja. Isinya 3 masalah atau target prioritas yang harus dituntaskan dalam setahun pertama. Jika gagal, si menteri sukarela mengakui ketidakmampuannya dan mengundurkan diri.

Demikian pula kontrak serupa dibuat antara gubernur  atau bupati dengan para kepala SKPD pun eselon di bawah itu.

Lalu pada akhirnya presiden, gubernur, dan bupati/walikota membuat komitmen serupa. Tak perlu banyak janji. Cukup 3 program prioritas per tahun, yang jika tak tercapai menjadi dasar pengunduran diri.

Jika kelak bushido membudaya, politik kembali bermakna. Sebab orang-orang yang berlomba menduduki jabatan adalah para pengabdi bangsa, yang memandang jabatan sebagai amanat, bukan harta warisan leluhur yang dipertahankan mati-matian meski tak punya kapasitas.

Semoga.

Sumber:

Detik.com (20/01/2019) "Edy Mundur dari Ketua Umum PSSI dan Minta Maaf"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun