Mohon tunggu...
Tika We
Tika We Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Mahasiswi pasca sarjana Statistika Sosial di University of Southampton, Inggris.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Post Journo Syndrom

11 September 2013   09:38 Diperbarui: 24 Juni 2015   08:04 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Post-power syndrome adalah suatu gejala yang terjadi dimana si penderita tenggelam dan hidup di dalam bayang-bayang kehebatan, keberhasilan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang. (Psychology Study Club UII, 2012)

Banyak artikel tentang post-power syndrome di internet. Penyakit psikologis ini diulas di berbagai forum, jadi materi jualan asuransi pensiunan, bahkan punya Facebook fan page. Kata Google Trends, rating pencariannya juga semakin meroket. But hell, nggak ada satu situs pun yang bahas Post Journo Syndrome. Tidak satu pun. Uff... Apa iya aku harus bikin halaman wikipedia sendiri biar semua orang di dunia tahu bahwa Post Journo Syndrome does exist??

Post-journo syndrome adalah suatu gejala yang terjadi di mana penderita adalah mantan jurnalis dan hidup dalam bayang-bayang kekuasaan, kepopuleran, dan kemewahan masa lalunya sehingga cenderung sulit menerima keadaan yang terjadi sekarang.

Great! Anggaplah aku sukses mendefinisikan post-journo syndrome. Tapi ini belum cukup untuk satu halaman Wikipedia. Aku juga harus menjelaskan gejalanya.

Penderita langsung excited ketika di layar HP-nya muncul panggilan masuk dari landline. Harapannya, itu panggilan dari PR agency yang ngajak nongki-nongki cantik, pitching undangan, atau media entertain. Hmpf. Menjabarkan definisi media entertain saja bisa bikin penderita panas dingin. Mulai dari fine dinning, nobar, bowling, dugem, sampai pijat plus-plus, siapa yang nggak mau? Apalagi kalau nggak perlu mikir koceknya. Mereka, orang-orang PR yang terlahir kece lagi ramah tamah loh jinawi itu punya budget gede untuk memanjakan wartawan demi nama baik klien di media massa.

Kemudian, penyebabnya. Apalagi kalau bukan masa lalu yang bergelimang perhatian. Just so you know, gaji wartawan sebulan cuma bisa buat beli selembar Burberry Charcoal Check Card Case. Itupun dengan harga diskonan Reebonz. Kalau sudah beli nggak perlu bingung bagaimana simpan duit yang rapi. Karena memang nggak bakal ada duit yang bisa disimpen di situ. Yang perlu disimpen adalah kartu nama narasumber, punggawa marcom, dan tentu saja malaikat-malaikat PR tadi.


Penyebab post-jurno syndrome yang lain adalah akses tanpa batas di masa lalu. Telepon menteri tengah malem, dinner bareng legenda dunia, hangover di apartemen top model, kongkow di komunitas eksekutif, segalanya sah dan rutin.

Untuk kasusku, penyebab utama post-journo syndrome adalah dandy gondrong Riza Delano. Dia ‘hanya’ narasumberku, bukan pacarku. Pacarku namanya Andri. Andri D. Cakradhara. Sialnya, Andri hanya pacar maya. Ia masih mengejar gelar MBA di Birmingham. Lebih sial lagi, Riza lebih keren dari Andri. Dan dia nyata. Aku punya tujuh kartu nama Riza. Senior Vice President PT Raja Media Nusantara Tbk., CEO RMN TV Home Shopping, CMO Kenzo-RMN Online Store, Executive Producer Werkudara-RMN Project, Ketua Himpunan Alumni Prancis Indonesia, Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Media. Satu lagi. Anggota klub DCI. Terpujilah wahai Lamborghini Aventador J peliharaannya. Itu belum termasuk kenyataan bahwa bokapnya, Leo Delano adalah presiden komisaris holding mall-mall urat glamor di Jakarta dan Singapura.

Pertama ketemu Riza, aku masih bisa congkak tingkat dewa-dewi. Seperti narasumber lain, Riza menyambutku hangat. Dari minibar di ruangannya, Riza menyeduh Earl Gray Tea. Ya, dia melakukannya sendiri. Sekarang aku percaya kata nenek. Orang yang bisa menguapkan kehangatan teh buatannya ke orang lain, pastilah ia pribadi yang mengagumkan. Riza memang mengagumkan. Terlalu mengagumkan. Sayang, akal sehatku lagi aktif-aktifnya. Aku cuma wartawati majalah Preneur. Sedangkan Riza adalah pendatang baru jagat bisnis. Dia sedang gencar membangun reputasi. Otomatis dia butuh publikasi. Sial.

Di sela-sela wawancara aku sempat berkhayal. Andai dia hanya seorang Riza tanpa kutukan tajir dan tampan. Tanpa gelar lulusan terbaik International Finance di American University of Paris. Menghabiskan masa remaja di SMA Pagi Jakarta, bukan Collège du Léman. Aku mungkin akan lebih congkak dan ekstra optimis bergumam, “One day, you’ll be my man.”

Wangi bergamot orange dari cangkir Earl Gray Tea membuyarkan lamunan. Berganti bayang-bayang tropi Best CEO of The Year versi majalah Preneur yang terpantul di senyum karismatiknya. Dia bukan satu-satunya. Empat dari lima pelaku bisnis tanah air begitu menggilai penghargaan bergengsi majalah Preneur. Bagaimana tidak. Satu tropi saja bisa melambungkan reputasi bisnis, sekaligus mendongkrak penjualan brand yang ditanganinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun