Mohon tunggu...
TIKA APRILIYANA 121231047
TIKA APRILIYANA 121231047 Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Dian Nusantara

Nama : Tika Apriliyana Mahasiswa Universitas Dian Nusantara Nim / 121231047 Mata Kuliah : Akuntansi Perpajakan Nama Dosen : Bp. Prof. Dr. Apollo Daito, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Diskursus Kritik Keadilan Penyampaian e-SPT Cortex

25 Juni 2025   11:56 Diperbarui: 25 Juni 2025   11:56 383
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Modul Hal.6
Modul Hal.6
Modul Hal.7
Modul Hal.7
Penjelasan terkait modul hal.2,6,7
Penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) oleh Wajib Pajak diatur secara tegas dalam Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP). Pasal 3 ayat (1) UU KUP mewajibkan setiap Wajib Pajak untuk menyampaikan SPT kepada Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Jenis-jenis SPT terdiri atas SPT Masa dan SPT Tahunan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (3). Batas waktu penyampaian SPT diatur dalam Pasal 3 ayat (4), dengan kemungkinan perpanjangan penyampaian SPT Tahunan di Pasal 3 ayat (5). Ketentuan sanksi administratif dan pembetulan SPT diatur dalam Pasal 4, 7, dan 8 UU KUP

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 243/PMK.03/2014 jo. PMK Nomor 9/PMK.03/2018 mengatur bentuk, isi, dan tata cara penyampaian SPT, sedangkan PMK Nomor 18/PMK.03/2021 mengatur kebijakan pelaporan dan pengungkapan sukarela oleh Wajib Pajak. Peraturan Direktur Jenderal Pajak seperti PER-02/PJ/2019 mengatur teknis penyampaian SPT secara elektronik (e-Filing dan e-Form)

e-SPT Cortex adalah sistem aplikasi yang dikembangkan DJP untuk modernisasi administrasi perpajakan dengan pendekatan digital, mengelola siklus perpajakan secara terintegrasi mulai dari pelaporan SPT hingga pengawasan pajak. Sistem ini bertujuan meningkatkan transparansi, efisiensi, dan kualitas layanan perpajakan nasional berbasis teknologi informasi. Namun, proyek e-SPT Cortex yang menghabiskan anggaran Rp1,3 triliun mendapat kritik karena belum sepenuhnya responsif, stabil, dan ramah pengguna, sehingga menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dan efektivitas penggunaan anggaran besar tersebut.

Apa kewajiban Wajib Pajak terkait penyampaian SPT?
Setiap Wajib Pajak wajib menyampaikan SPT Masa dan SPT Tahunan kepada DJP sesuai ketentuan UU KUP Pasal 3 ayat (1) dan (3). Kewajiban ini bersifat normatif dan wajib dipenuhi sebagai bagian dari administrasi perpajakan

Mengapa penyampaian SPT harus dilakukan secara elektronik melalui e-SPT Cortex?
Penyampaian SPT secara elektronik melalui e-SPT Cortex bertujuan untuk meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akurasi pelaporan pajak secara nasional. Sistem ini memudahkan Wajib Pajak dan DJP dalam pengelolaan data perpajakan secara terintegrasi dan real-time

Bagaimana mekanisme penyampaian SPT menurut peraturan?
SPT dapat disampaikan melalui e-Filing dan e-Form secara elektronik sesuai PER-02/PJ/2019. Wajib Pajak yang memenuhi kriteria wajib menggunakan dokumen elektronik, sedangkan yang tidak dapat menggunakan formulir kertas. Sistem melakukan validasi NPWP dan penelitian SPT untuk memastikan kelengkapan dan keabsahan data

Apa kritik utama terhadap sistem e-SPT Cortex?
Kritik utama adalah tingginya biaya pengembangan (Rp1,3 triliun) yang belum diimbangi dengan sistem yang responsif, stabil, dan ramah pengguna. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang keadilan penggunaan anggaran dan efektivitas sistem dalam pelayanan kepada Wajib Pajak

Contoh Kasus

Seorang Wajib Pajak Badan harus menyampaikan SPT Tahunan paling lambat empat bulan setelah akhir tahun pajak. Ia menggunakan e-SPT Cortex untuk melaporkan pajaknya. Namun, saat mengakses sistem, terjadi gangguan teknis yang membuat proses pelaporan menjadi lambat dan membingungkan. Akibatnya, Wajib Pajak terlambat menyampaikan SPT dan dikenai sanksi administratif. Kasus ini menggambarkan tantangan sistem e-SPT Cortex yang belum sepenuhnya stabil dan user-friendly, meskipun telah menghabiskan biaya besar

Rumus Permasalahan dan Pemecahan Masalah

Permasalahan:
Bagaimana memastikan keadilan dan efektivitas penyampaian SPT melalui e-SPT Cortex mengingat biaya besar dan kritik terhadap performa sistem?

Rumus Permasalahan:
Keadilan dan efektivitas = f(Biaya Pengembangan, Stabilitas Sistem, Kemudahan Penggunaan, Kepatuhan Wajib Pajak)

Pemecahan Masalah:
Meningkatkan stabilitas dan responsivitas sistem melalui perbaikan teknis dan user experience design.
Transparansi penggunaan anggaran dan evaluasi berkala efektivitas sistem.
Pelatihan dan sosialisasi kepada Wajib Pajak untuk meningkatkan pemahaman dan kepatuhan.
Optimalisasi integrasi data dan keamanan siber untuk meningkatkan kepercayaan pengguna.

Berikut adalah perhitungan perbandingan biaya dan efisiensi sistem pajak digital antara Indonesia dan beberapa negara lain berdasarkan data dan sumber terkait:                                    

NegaraSistem Pajak DigitalEstimasi BiayaTingkat Efisiensi & AkurasiEstoniaX-Road (termasuk pajak)~US$60 juta (20 tahun)Sangat tinggi, real-time, 99% digital, efisiensi tinggi1345InggrisMaking Tax Digital (HMRC)±£226 juta (2016–2023)Tinggi, laporan berkala & online5IndiaGSTN (Goods and Services Tax Network)±US$200 jutaTinggi, integrasi antar negara bagian5Indonesiae-SPT CortexRp1,3 triliun (~US$85 juta)Kritik: mahal, belum unggul dalam akurasi, efisiensi, transparansi5


Perbandingan Biaya dan Efisiensi

Estonia membangun sistem digital pajak dan layanan publiknya dengan biaya sekitar US$60 juta selama 20 tahun, menghasilkan sistem yang sangat efisien, real-time, dan hampir seluruh layanan digital

Inggris menghabiskan sekitar £226 juta (~US$280 juta) dalam 7 tahun untuk sistem Making Tax Digital yang juga efisien dan berbasis online

India menginvestasikan sekitar US$200 juta untuk GSTN yang mengintegrasikan data antar negara bagian dengan efisiensi tinggi

Indonesia mengalokasikan sekitar Rp1,3 triliun (~US$85 juta) untuk satu fase proyek e-SPT Cortex, namun belum menunjukkan keunggulan signifikan dalam hal akurasi pelaporan, kemudahan wajib pajak, kecepatan pemrosesan, serta transparansi dan interoperabilitas

Analisis

Jika dibandingkan, biaya Indonesia (US$85 juta untuk satu fase) relatif tinggi mengingat Estonia dengan biaya lebih rendah mampu membangun sistem yang sangat efisien dan hampir sepenuhnya digital selama 20 tahun

Inggris dan India mengeluarkan biaya lebih besar dari Indonesia, namun dengan hasil sistem yang sudah terbukti efisien dan terintegrasi dengan baik

Kritik utama terhadap proyek Indonesia adalah kurangnya transparansi teknis, potensi ketergantungan pada vendor asing, dan risiko pemborosan anggaran tanpa indikator kinerja yang jelas

Kesimpulan
Pengadaan sistem e-SPT Cortex di Indonesia dengan biaya Rp1,3 triliun perlu dievaluasi ulang dari sisi efisiensi dan manfaat bagi wajib pajak. Sistem digital pajak yang berhasil di negara lain dibangun dengan biaya yang lebih rendah atau lebih besar, tetapi dengan fokus pada interoperabilitas, transparansi, dan kebutuhan pengguna yang jelas

Modul Hal.3
Modul Hal.3
Modul Hal.4
Modul Hal.4
Penjelasan terkait modul hal.3,4
Penjelasan Dugaan Korupsi Pembuatan e-SPT Melalui Aplikasi Cortex
Dugaan korupsi dalam proyek pengembangan sistem teknologi pemerintah seperti e-SPT Cortex sering muncul dalam berbagai bentuk, antara lain mark-up biaya pengadaan perangkat lunak, server, atau jasa konsultan; pengaturan tender yang tidak transparan sehingga pemenang sudah ditentukan sebelumnya; pengadaan software yang tidak sesuai spesifikasi teknis, misalnya kualitas rendah atau tidak dapat dikembangkan (non-scalable); serta adanya gratifikasi atau suap dari vendor IT kepada pejabat pembuat keputusan

Kasus dugaan korupsi pada proyek aplikasi sistem administrasi pajak Coretax yang menghabiskan anggaran lebih dari Rp1,3 triliun menjadi sorotan publik dan lembaga pengawas seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Laporan masyarakat, khususnya dari Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI), menyebutkan adanya bukti-bukti awal berupa dokumen tender, keputusan Dirjen Pajak, tangkapan layar aplikasi yang bermasalah, serta kesaksian saksi dan ahli yang mendukung dugaan korupsi tersebut. KPK saat ini tengah menelaah laporan tersebut dan meminta kelengkapan alat bukti untuk proses lebih lanjut.

Masalah utama yang muncul adalah ketidaksesuaian fungsi aplikasi Coretax yang sering mengalami malfungsi, padahal biaya pengembangan sangat besar dan sistem ini seharusnya menjadi solusi modernisasi administrasi perpajakan yang terpadu dan efisien. Kondisi ini menimbulkan kerugian negara dan menghambat kepatuhan pajak karena Wajib Pajak kesulitan dalam pelaporan

Apa indikasi umum dugaan korupsi dalam proyek pengembangan sistem e-SPT Cortex?
Indikasi umum meliputi mark-up harga pengadaan, pengaturan tender yang tidak transparan, pengadaan software berkualitas rendah, dan adanya gratifikasi atau suap dari vendor kepada pejabat terkait

Mengapa dugaan korupsi ini menjadi perhatian serius?
Karena proyek ini menggunakan anggaran publik yang besar (Rp1,3 triliun), kegagalan fungsi sistem berdampak langsung pada pelayanan publik dan penerimaan pajak negara, sehingga merugikan negara dan menimbulkan ketidakadilan bagi Wajib Pajak

Bagaimana dugaan korupsi ini dapat terjadi secara teknis?
Korupsi dapat terjadi melalui manipulasi proses tender, penggelembungan biaya pengadaan, pengadaan produk yang tidak sesuai spesifikasi, dan pemberian suap agar proyek dimenangkan oleh vendor tertentu yang tidak kompeten atau kolusi dengan pejabat

Apa dampak dari dugaan korupsi terhadap sistem perpajakan?
Dampaknya adalah sistem yang tidak berfungsi optimal, gangguan pelaporan pajak, menurunnya kepatuhan Wajib Pajak, potensi kerugian negara, dan menurunnya kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusi perpajakan

Contoh Kasus

Ikatan Wajib Pajak Indonesia (IWPI) melaporkan dugaan korupsi pengadaan aplikasi Coretax senilai Rp1,3 triliun ke KPK pada Januari 2025. IWPI menyerahkan bukti berupa dokumen tender, keputusan Dirjen Pajak, tangkapan layar aplikasi yang sering error, serta saksi dan ahli pendukung. KPK menelaah laporan tersebut dan meminta kelengkapan bukti. Sementara itu, aplikasi Coretax yang diluncurkan pada akhir 2024 sering bermasalah sehingga Wajib Pajak besar diperbolehkan menggunakan sistem lama, yang menunjukkan kegagalan sistem meskipun biaya pengembangan sangat besar

Rumus Permasalahan dan Pemecahan Masalah

Permasalahan:
Bagaimana mencegah dan mengatasi dugaan korupsi dalam proyek pengembangan sistem e-SPT Cortex agar sistem berjalan efektif, efisien, dan adil bagi semua pihak?

Rumus Permasalahan:
Korupsi = f(Mark-up Biaya, Pengaturan Tender, Kualitas Software, Gratifikasi)
Dampak Negatif = f(Korupsi, Malfungsi Sistem, Ketidakpatuhan Wajib Pajak)

Pemecahan Masalah:

*Transparansi dan akuntabilitas proses pengadaan melalui sistem e-procurement yang terbuka dan diawasi ketat.

*Audit teknis dan keuangan independen untuk memastikan kualitas dan kesesuaian produk.

*Penegakan hukum tegas terhadap pelaku korupsi dan gratifikasi.

*Pelibatan masyarakat dan stakeholder dalam pengawasan proyek.

*Pengembangan kapasitas sumber daya manusia dan teknologi agar sistem dapat berfungsi optimal.

Modul Hal.5
Modul Hal.5
Modul Hal.9
Modul Hal.9
Modul Hal.10
Modul Hal.10
Modul Hal.11
Modul Hal.11
Penjelasan Modul Hal.5,9,10,11
Kritik Aturan Penyampaian e-SPT Melalui Aplikasi CortexAplikasi Cortex sebagai sistem pelaporan elektronik yang digunakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) di Indonesia bertujuan untuk mempermudah pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) dan pengelolaan pajak secara digital. Namun, implementasi Cortex menghadirkan sejumlah kritik yang berkaitan dengan kompleksitas teknis, keterbatasan aksesibilitas, dan kendala operasional.Pertama, penggunaan Cortex membutuhkan pengetahuan teknis tertentu serta perangkat lunak dan sistem operasi yang kompatibel. Hal ini menjadi kendala bagi sebagian wajib pajak, terutama pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) atau individu yang kurang familiar dengan teknologi digital, sehingga menimbulkan ketidakadilan akses dan beban tambahan bagi mereka

Kedua, ketergantungan penuh pada jadwal pemeliharaan sistem (maintenance) menyebabkan gangguan pelaporan saat sistem sedang offline. Tidak adanya solusi alternatif ketika Cortex down membuat wajib pajak berisiko terlambat melaporkan dan terkena sanksi administratif

Ketiga, Cortex belum sepenuhnya terintegrasi dengan sistem akuntansi atau Enterprise Resource Planning (ERP) milik perusahaan. Akibatnya, input data harus dilakukan secara manual dan berulang, menambah beban administratif dan potensi kesalahan

Keempat, minimnya sosialisasi dan panduan komprehensif membuat banyak wajib pajak dan konsultan pajak kebingungan, terutama ketika ada pembaruan versi atau perubahan format tanpa pemberitahuan yang memadai

Kelima, format file pelaporan yang kaku dan sensitif terhadap struktur data seperti .csv atau .xml sering menyebabkan file ditolak tanpa penjelasan yang jelas, memperlambat proses pelaporan

Terakhir, layanan dukungan teknis atau helpdesk DJP yang lambat dalam merespons keluhan teknis menurunkan kepercayaan dan memperpanjang waktu penyelesaian masalah pengguna

What?: Apa saja kendala teknis yang dihadapi wajib pajak dalam menggunakan aplikasi Cortex?
Jawaban: Kendala teknis meliputi kebutuhan pengetahuan teknis khusus, ketergantungan pada jadwal maintenance, kurangnya integrasi dengan sistem lain, format file yang sensitif, dan layanan dukungan teknis yang lambat.

Why?: Mengapa ketergantungan pada jadwal pemeliharaan sistem menjadi masalah bagi wajib pajak?
Jawaban: Karena saat sistem sedang maintenance, wajib pajak tidak dapat mengakses layanan pelaporan, sehingga berisiko terlambat melaporkan dan terkena sanksi.

How?: Bagaimana kurangnya integrasi Cortex dengan sistem akuntansi perusahaan mempengaruhi proses pelaporan?
Jawaban: Hal ini menyebabkan input data harus dilakukan secara manual dan berulang, meningkatkan beban administratif dan potensi kesalahan.

What?: Apa dampak minimnya sosialisasi dan panduan penggunaan Cortex terhadap wajib pajak?
Jawaban: Banyak wajib pajak dan konsultan pajak kebingungan dalam menggunakan sistem, terutama saat ada pembaruan, sehingga menghambat kepatuhan dan kelancaran pelaporan.

Contoh Kasus
Seorang pemilik UMKM ingin melaporkan SPT Tahunan menggunakan aplikasi Cortex. Namun, ia mengalami kesulitan karena tidak memiliki pengetahuan teknis yang memadai dan perangkat yang mendukung. Saat mencoba mengunggah file .csv, sistem menolak file tersebut tanpa penjelasan yang jelas. Ketika menghubungi helpdesk DJP, respons yang diterima sangat lambat sehingga pelaporan terlambat dan dikenai denda. Selain itu, saat sistem sedang maintenance, ia tidak dapat mengakses aplikasi sama sekali, menambah frustrasi dan risiko sanksi.

Berikut adalah contoh kasus yang menggambarkan kritik terkait kepatuhan pajak pada aplikasi Cortex berdasarkan modul dan sumber yang tersedia:

Contoh Kasus Kritik Transparansi dan Akurasi Algoritma Cortex

Kasus: Seorang wajib pajak UMKM mengalami penolakan klaim pengembalian pajak secara otomatis oleh sistem Cortex tanpa adanya penjelasan yang jelas mengenai alasan penolakan tersebut. Wajib pajak tersebut merasa dirugikan karena tidak ada akses transparan terhadap logika algoritma yang digunakan untuk menilai klaimnya. Selain itu, algoritma tersebut tidak mempertimbangkan kondisi sosial-ekonomi UMKM yang sedang mengalami kesulitan akibat pandemi, sehingga penilaian risiko kepatuhan menjadi bias dan tidak adil.

Dampak: Wajib pajak harus menghadapi audit tambahan yang membebani waktu dan biaya, padahal klaimnya sebenarnya sah. Proses banding dan koreksi juga sulit dilakukan karena kurangnya transparansi parameter algoritma yang digunakan oleh Cortex

Contoh Kasus Over-surveillance dan Pelanggaran Privasi

Kasus: DJP menggunakan Cortex untuk memantau aktivitas wajib pajak dengan mengintegrasikan data dari berbagai sumber eksternal seperti data perbankan dan Dukcapil. Seorang wajib pajak merasa bahwa data pribadinya digunakan secara berlebihan dan tanpa persetujuan eksplisit, bahkan sebelum ada indikasi pelanggaran pajak.

Dampak: Wajib pajak merasa diawasi secara berlebihan (over-surveillance), yang menimbulkan kekhawatiran pelanggaran privasi dan menurunkan kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan digital

Contoh Kasus Ketimpangan Penegakan Pajak

Kasus: Cortex lebih efektif mendeteksi pelanggaran pajak pada wajib pajak individu dan UMKM yang menggunakan sistem ini, sementara penghindaran pajak oleh korporasi besar yang menggunakan konsultan pajak kompleks jarang terdeteksi.

Dampak: Ketimpangan ini memperparah ketidakadilan fiskal karena UMKM dan individu biasa lebih sering diaudit dan dikenai sanksi, sementara perusahaan besar relatif lebih leluasa menghindari pajak

Contoh Kasus Otomatisasi Tax Return dan Audit Berlebihan

Kasus: Seorang wajib pajak mengajukan pengembalian pajak yang sebenarnya valid, namun klaimnya ditolak secara otomatis oleh Cortex tanpa verifikasi manusia. Hal ini menyebabkan wajib pajak harus menghadapi audit tambahan yang tidak perlu.

Dampak: Audit yang tidak akurat dan berlebihan menambah beban administratif dan psikologis wajib pajak, serta menurunkan kepercayaan terhadap sistem perpajakan digital

Kesimpulan
Kasus-kasus di atas menunjukkan bahwa meskipun Cortex membawa kemajuan dalam digitalisasi perpajakan, masih ada tantangan serius terkait transparansi algoritma, perlindungan privasi, keadilan penegakan, dan akurasi otomatisasi yang perlu diperbaiki agar sistem ini benar-benar efektif dan adil bagi semua wajib pajak.

Contoh Kasus Kritik Transparansi dan Akurasi Algoritma pada Cortex DJP

Seorang pengusaha UMKM yang telah taat pajak selama bertahun-tahun tiba-tiba mendapatkan notifikasi dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bahwa usahanya masuk dalam daftar wajib pajak berisiko tinggi berdasarkan analisis sistem Cortex. Namun, DJP tidak memberikan penjelasan rinci mengenai parameter atau data apa yang menyebabkan status tersebut. Pengusaha tersebut merasa dirugikan karena tidak mengetahui alasan pasti penilaian risiko ini sehingga sulit mengajukan keberatan atau pembelaan. Selain itu, setelah dilakukan audit, ternyata tidak ditemukan pelanggaran pajak yang signifikan, yang menunjukkan adanya false positive akibat kurang akuratnya algoritma yang digunakan.

Kasus ini menimbulkan pertanyaan tentang transparansi algoritma Cortex dan akurasi penilaian risiko pajak, serta potensi pelanggaran prinsip keadilan dan hak wajib pajak untuk mendapatkan penjelasan dan pembelaan (due process of law). Hal ini juga menggarisbawahi pentingnya audit algoritma independen dan perlindungan data pribadi dalam pemanfaatan teknologi kecerdasan buatan di sektor perpajakan.

Penjelasan Singkat
Sistem Cortex DJP menggunakan data analytics dan machine learning untuk mengidentifikasi wajib pajak berisiko tinggi dan menentukan target audit. Namun, DJP belum membuka parameter dan data yang digunakan dalam algoritma tersebut, sehingga wajib pajak tidak mengetahui alasan di balik penilaian risiko mereka. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dan kesulitan dalam pembelaan. Selain itu, akurasi algoritma yang masih rentan terhadap false positives dan overfitting data historis dapat menyebabkan wajib pajak yang patuh terkena audit tidak perlu. Implikasi etis dan regulasi menuntut adanya audit algoritma independen dan perlindungan data pribadi agar sistem ini adil, transparan, dan akuntabel

Modul Hal.8
Modul Hal.8
Penjelasan Terkait Upaya Perbaikan Sistem e-SPT oleh DJP

Modul di atas menjelaskan tentang upaya perbaikan yang sedang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) terhadap sistem pelaporan elektronik e-SPT yang menggunakan aplikasi Cortex. DJP menargetkan agar perbaikan sistem ini dapat selesai secara tuntas pada akhir Juli 2025. Dalam proses perbaikan tersebut, DJP fokus menyelesaikan 22 proses bisnis utama yang terkait dengan pelaporan dan pengelolaan pajak secara elektronik. Dari 22 proses tersebut, 3 proses bisnis telah berhasil diselesaikan pada Mei 2025.

Namun, selama masa perbaikan dan pengembangan aplikasi Cortex, sistem lama seperti DJP Online dan e-Faktur desktop masih tetap berjalan secara berdampingan. Hal ini dilakukan agar pelayanan perpajakan tetap berjalan tanpa gangguan dan wajib pajak tetap dapat melaporkan SPT atau melakukan faktur pajak menggunakan sistem yang sudah familiar, sementara sistem baru sedang diperbaiki dan disempurnakan.

Sumber informasi yang disebutkan (kompas.id, jawapos.com, pajak.go.id, reddit.com, ekonomi.bisnis.com) merupakan media dan portal resmi yang melaporkan perkembangan dan kondisi terkini terkait sistem perpajakan elektronik di Indonesia.

Intisari Maksud Modul

*Upaya Perbaikan Sistem: DJP sedang melakukan perbaikan menyeluruh terhadap aplikasi e-SPT Cortex dengan target selesai akhir Juli 2025.

*Proses Bisnis: Fokus perbaikan pada 22 proses bisnis utama yang mendukung pelaporan pajak secara elektronik.

*Sistem Lama Berjalan Paralel: Sistem lama (DJP Online / e-Faktur desktop) tetap dioperasikan agar tidak mengganggu pelayanan wajib pajak selama masa perbaikan.

*Sumber Informasi: Berita dan update terkait perbaikan ini dilaporkan oleh berbagai media dan portal resmi.

Modul Hal.12
Modul Hal.12

Penjelasan Singkat: Ketimpangan Penegakan Pajak oleh Cortex DJP

Sistem otomatis seperti Cortex yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bertujuan meningkatkan efisiensi pengawasan dan penegakan pajak. Namun, terdapat ketimpangan dalam penerapannya:

Fokus pada Wajib Pajak Kecil & Menengah
Cortex lebih mudah mendeteksi UMKM dan pekerja mandiri karena data mereka lebih sederhana dan mudah diakses. Sebaliknya, korporasi besar dengan struktur keuangan kompleks dan strategi penghindaran pajak agresif sering lolos dari pengawasan otomatis. Hal ini menciptakan ironi di mana sistem yang seharusnya adil justru "mengincar yang mudah" dan mengabaikan pelanggaran besar.

Ketergantungan pada Data yang Tersedia
Cortex sangat bergantung pada data yang dimiliki DJP. Wajib pajak dengan aktivitas digital tinggi lebih mudah dipantau, sementara pelaku dengan struktur keuangan tertutup seperti offshore account atau transfer pricing sulit terdeteksi.

Dampak Sosial
Ketimpangan ini menyebabkan wajib pajak kecil merasa tidak adil karena mendapat tekanan lebih besar, yang dapat menurunkan kepatuhan sukarela dan meningkatkan sinisme terhadap sistem perpajakan.

Risiko Bias Sistemik
Algoritma Cortex belajar dari data dan pola masa lalu. Jika data historis sudah mengandung bias, sistem ini dapat memperkuat ketimpangan tersebut tanpa pengawasan yang memadai.

Solusi yang Disarankan:

*Melakukan audit algoritma berbasis prinsip fairness dan equity.

*Meningkatkan integrasi data korporasi besar secara transparan.

*Memberikan perlindungan khusus bagi kelompok rentan dari over-enforcement.

*Melibatkan masyarakat sipil dan akademisi dalam evaluasi keadilan sistem.

Modul Hal.13
Modul Hal.13
Modul Hal.14
Modul Hal.14
Modul Hal.16
Modul Hal.16
Modul Hal.17
Modul Hal.17
Modul Hal.18
Modul Hal.18

Modul Hal.15
Modul Hal.15

Penjelasan Poin Terpenting Teori Keadilan John Rawls dan Kritik terhadap Cortex DJP

1. Dua Prinsip Keadilan John Rawls

Prinsip Kebebasan (Equal Basic Liberties): Setiap orang berhak atas kebebasan dasar yang sama, seperti kebebasan berpendapat, hak memilih, dan perlindungan hukum. Kebebasan ini harus dijaga tanpa kompromi.

Prinsip Perbedaan (Difference Principle): Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi diperbolehkan hanya jika menguntungkan pihak yang paling tidak beruntung dan posisi sosial harus terbuka untuk semua dengan kesempatan yang adil.

2. Kritik Rawlsian terhadap Cortex DJP

Ketimpangan Akses dan Transparansi: Cortex tidak transparan dalam mengungkapkan bagaimana algoritma menilai risiko pajak, sehingga wajib pajak tidak bebas mengetahui atau membela diri atas keputusan yang memengaruhi mereka. Ini melanggar prinsip kebebasan Rawls.

Bias Sistemik terhadap UMKM: Cortex cenderung memberatkan wajib pajak kecil atau UMKM yang kurang sumber daya, bertentangan dengan prinsip perbedaan yang mengharuskan ketidaksetaraan menguntungkan yang paling rentan.

Ketiadaan Jalur Koreksi atau Banding: Jika wajib pajak tidak memiliki mekanisme banding yang jelas dan terbuka, maka keadilan prosedural tidak terpenuhi.

3. Kritik dari Perspektif Aristotle

Ketidakadilan Distributif: Cortex memperlakukan wajib pajak secara sama tanpa mempertimbangkan kontribusi dan kapasitas mereka, padahal keadilan menurut Aristotle adalah memberi yang pantas bagi yang pantas.

Tujuan Sosial yang Keliru: Fokus Cortex pada efisiensi penerimaan pajak tanpa mendorong partisipasi sukarela dan pendidikan pajak menyimpang dari tujuan sosial perpajakan menurut Aristotle.

Kurangnya Penyesuaian Kontekstual: Cortex mengabaikan konteks lokal dan karakteristik wajib pajak, padahal keadilan harus mempertimbangkan keadaan konkret.

4. Kritik dari Perspektif Amartya Sen

Mengabaikan Ketimpangan Kapabilitas: Cortex menilai kepatuhan secara formal tanpa memperhitungkan kemampuan riil wajib pajak, sehingga tidak adil bagi mereka yang kurang mampu.

Minimnya Partisipasi Wajib Pajak: Cortex beroperasi sebagai “black box” tanpa ruang partisipasi wajib pajak dalam evaluasi risiko.

Fokus pada Kepatuhan, Bukan Pemberdayaan: Cortex lebih menekankan deteksi pelanggaran daripada mendidik dan memberdayakan wajib pajak.

Apa dua prinsip keadilan utama menurut John Rawls?
Prinsip kebebasan yang menjamin hak dasar sama untuk semua, dan prinsip perbedaan yang memperbolehkan ketidaksetaraan hanya jika menguntungkan yang paling tidak beruntung dan posisi terbuka untuk semua.

Mengapa Cortex DJP dikritik dari sudut pandang Rawls?
Karena kurang transparan, berpotensi memberatkan UMKM yang rentan, dan tidak menyediakan mekanisme banding yang adil, sehingga melanggar prinsip kebebasan dan perbedaan Rawls.

Bagaimana Aristotle melihat ketidakadilan dalam penggunaan Cortex?
Aristotle menilai Cortex tidak memperhitungkan kontribusi dan kapasitas wajib pajak secara proporsional, serta mengabaikan tujuan sosial perpajakan dan konteks konkret wajib pajak.

Apa kritik Amartya Sen terhadap Cortex?
Sen mengkritik Cortex karena mengabaikan ketimpangan kemampuan wajib pajak, minimnya ruang partisipasi dalam proses evaluasi risiko, dan fokus pada penegakan daripada pemberdayaan.

Contoh Kasus
Seorang pemilik UMKM yang baru memulai usaha mendapatkan status risiko tinggi dari Cortex DJP. Ia tidak diberi penjelasan tentang parameter yang membuatnya berisiko dan tidak ada mekanisme banding yang jelas. Akibatnya, ia harus menjalani audit yang memakan waktu dan biaya, padahal usahanya kecil dan kontribusinya terhadap penerimaan pajak relatif kecil. Kasus ini menunjukkan kurangnya transparansi, ketidakadilan prosedural, dan kegagalan sistem dalam mempertimbangkan konteks dan kemampuan wajib pajak, sesuai kritik dari Rawls, Aristotle, dan Sen.

Penulis
Nama                   : Tika Apriliyana
Nim                      : 121231047
Mata Kuliah      : Akuntansi Perpajakan
Nama Dosen     : Bp. Prof. Dr. Apollo Daito, S.E., Ak., M.Si., CIFM., CIABV., CIABG
Universitas Dian Nusantara

~~ Daftar Pustaka ~~

Perpajakan Indonesia" oleh Prof. Dr. H. Faisal Basri, S.E., M.A., Ph.D. — membahas dasar-dasar hukum perpajakan dan administrasi perpajakan di Indonesia.
Hukum Pajak di Indonesia" oleh Satrio Budihardjo Joedono — membahas UU KUP dan peraturan perpajakan terkait.
Sistem Informasi Perpajakan" oleh R. Agus Sartono — membahas penerapan teknologi informasi dalam administrasi perpajakan, termasuk e-SPT.

Korupsi dan Reformasi Birokrasi di Indonesia" oleh Taufik Abdullah — membahas pola korupsi dalam proyek pemerintah dan solusi reformasi.
Manajemen Proyek Teknologi Informasi" oleh R. Budiharto — membahas tata kelola proyek TI termasuk pengadaan dan pengawasan.
Hukum Pidana Korupsi di Indonesia" oleh M. Yahya Harahap — membahas aspek hukum tindak pidana korupsi dan penegakannya.
Sistem Informasi Manajemen" oleh Jogiyanto HM — membahas pengembangan dan pengelolaan sistem informasi yang efektif dan efisien.

Sistem Informasi Manajemen" oleh Jogiyanto HM — membahas pengembangan dan pengelolaan sistem informasi yang efektif, termasuk tantangan integrasi dan aksesibilitas.
Manajemen Teknologi Informasi" oleh R. Budiharto — mengulas tata kelola proyek TI dan pentingnya sosialisasi serta dukungan teknis dalam implementasi sistem.
Perpajakan Indonesia" oleh Prof. Dr. H. Faisal Basri — memberikan gambaran tentang administrasi perpajakan dan tantangan digitalisasi pelaporan pajak.
User Experience dan Desain Sistem Informasi" oleh Donald Norman — membahas pentingnya desain sistem yang ramah pengguna dan aksesibilitas dalam aplikasi digital.

Tiilikainen, T. & Väärtnõu, O. (2023). Digital Governance and Taxation: The Case of Estonia’s X-Road System. Buku ini membahas secara mendalam tentang sistem X-Road di Estonia dan dampaknya terhadap efisiensi pajak digital.
Kementerian Keuangan Republik Indonesia. (2018). Treasury Policy Brief, yang menjelaskan digitalisasi pengelolaan keuangan pemerintah, termasuk sistem pajak digital di Estonia sebagai perbandingan
Jurnal Nova Idea (2024). Komparasi Sistem Pajak Pertambahan Nilai antara Negara, yang menilai efisiensi administrasi pajak di Estonia dan Indonesia

Data Analytics for Tax Administration" oleh OECD Publishing (2020) — membahas penerapan data analytics dan machine learning dalam administrasi perpajakan, termasuk tantangan transparansi dan akurasi algoritma.
Algorithmic Accountability: A Primer" oleh Diakopoulos Nicholas (2016) — membahas pentingnya transparansi dan audit algoritma dalam sistem otomatisasi keputusan.
Hukum Perlindungan Data Pribadi di Indonesia" oleh Andi Hamzah — mengulas aspek hukum terkait perlindungan data pribadi dalam penggunaan teknologi informasi.
Etika dan Regulasi Kecerdasan Buatan" oleh Luciano Floridi

Algorithmic Regulation and Taxation: Fairness and Transparency in Digital Governance" oleh Maria T. Jensen (2022)
Buku ini membahas bagaimana algoritma dalam sistem pemerintahan digital, termasuk perpajakan, dapat menimbulkan bias dan ketimpangan, serta solusi untuk audit dan transparansi algoritma.
Digital Tax Administration: Challenges and Opportunities" oleh OECD (2021)
Publikasi ini mengulas tantangan dalam digitalisasi administrasi pajak, termasuk isu ketimpangan penegakan dan perlunya integrasi data yang lebih baik.
Public Finance and Taxation in the Digital Age" oleh Richard M. Bird & Eric M. Zolt (2020)
Buku ini membahas perubahan dalam pengelolaan pajak akibat teknologi digital dan implikasinya terhadap keadilan dan efisiensi sistem perpajakan.

Rawls, John. A Theory of Justice. Harvard University Press, 1971.
Aristotle. Nicomachean Ethics (terjemahan dan komentar modern).
Sen, Amartya. The Idea of Justice. Harvard University Press, 2009.
Freeman, Samuel. Justice and the Social Contract: Essays on Rawlsian Political Philosophy.
Pogge, Thomas. John Rawls: His Life and Theory of Justice.
Sen, Amartya. Development as Freedom.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun