Mohon tunggu...
Azizah PutriLathifah
Azizah PutriLathifah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa/UIN Raden Mas Said Surakarta

saya menyukai hal baru.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Waris Islam di Indonesia, Karya Dr. H.A. Sukris Sarmadi, S.S.Ag. MH

14 Maret 2023   16:09 Diperbarui: 14 Maret 2023   16:13 231
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pada Bab I, penulis menyampaikan tiga poin pembahasan mengenai pengantar waris yaitu, yang pertama tentang studi hukum waris islam sebagai kajian normative agama, kedua tentang historistik dan praktik pembagian waris islam di pengadilan agama, ketiga tentang materi hukum waris islam di Indonesia. Penulis menyampaikan hukum waris islam sebagai kajian normative agama sebenarnya dikarenakan studi hukum waris amat berkait dengan studi pada teks-teks normative berupa al-Qur'an dan al-Sunnah serta bagaimana mengaplikasikannya secara benar sesuai dengan tuntunan tersebut. Sebelum itu penulis memaparkan istilah kewarisan yang berasal dari bahasa arab dengan bentuk masdar al-irts dari kata waritsa, yaritsu, irtsan. Makna dasarnya adalah perpindahan harta milik atau perpindahan pusaka. Dalam penyebutan istilah hukum kewarisan berbeda beda, menurut fiqh klasik segala yang berkaitan dengan hukum kewarisan disebutnya dengan hukum faraid jamak dari kata "faridah". Terkadang para yuris Islam menamainya dengan sebutan fiqh mawaris dalam bentuk jamaknya adalah mirats. Sedangkan ahli hukum sendiri di Indonesia menyebutnya dengan hukum warisan.

Kalangan penulis Islam secara umum memberi definisi hukum kewarisan sebagai seperangkat ketentuan yang mengatur cara-cara peralihan hak dari seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup yang ketentuan-ketentuan tersebut berdasar kepada wahyu Ilahi yang terdapat dalam al-Qur'an dan penjelasannya yang diberikan oleh Nabi Muhammad saw. Setelah penulis memaparkan hukum waris islam sebagai kajian normative agama kemudian penulis memaparkan historistik dan praktik pembagian waris islam di pengadilan agama. Hukum waris Islam termasuk kedalam bagian dari hukum keluarga dalam hukum Islam. Sebagaimana pada ranah kajian hukum keperdataan di Indonesia, hukum waris dikaitkan degan hukum keluarga. Hukum waris Islam masuk bersamaan dengan masuknya Islam di Indonesia. Pada masa pemerintahan VOC sendiri pernah memerintahkan kepada D.W. Freijer untuk menyusun Conpendium yang memuat hukum perkawinan Islam dan kewarisan Islam dengan diperbaiki dan disempurnakan oleh tokoh yuris Islam pada masa itu. Dengan pengakuan hukum Islam di zaman Belanda berakibat lahirnya teori Receptio in complex bahwa hukum Islam berlaku di Indonesia bagi pemeluk Islam yang dijadikan standard politik hukum Belanda.

Sebelum munculnya UU No. 7 Tahun 1989 (disempurnakan dengan UU No. 3 tahun 2006) tentang Peradilan Agama, setiap keputusan lembaga Peradilan Agama yang berkaitan dengan sengketa waris harus selalu dikukuhkan ditetapkan secara yuridis oleh pengadilan umum. Kemudian disempurnakan dengan UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang peradilan agama. Selanjutnya diberlakukannya UU No. 3 Tahun 2006, menjadikan kompetensi peradilan agama menjadi semakin luas dan bersifat obsolut dalam bidang keagamaan. UU N0. 7 Tahun 1989 dan UU No. 3 Tahun 2006 maupun UU No. 50 Tahun 2009 kesemuanya merupakan hukum formil. Sementara hukum materil tentang kewarisan Islam bagi umat Islam di Indonesia belum diundangkan. Ini diartikan pula bahwa hukum waris Islam yang selama ini diyakini mayoritas umat di Indonesia yang tersebar dalam kitab-kitab klasik diberlakukan sebagai hukum materil. Kemudian untuk mengkodifikasikan dibuat suatu pedoman yang dikenal dengan Kompilasi Hukum Islam sebagai hasil para yuris Islam Indonesia yang dituangkan dalam Inpres No. 1 Tahun 1991 merupakan fakta keberadaan fiqh madzhab Sunni versi Syafi'i.

Dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) memudahkan bagi hakim-hakim pengadilan agama untuk menyelesaikan sengketa waris bagi umat Islam. Meski rujukan langsung pada KHI bukan merupakan kewajiban langsung bagi para hakim namun setidaknya telah dijadikan pedoman yustisia sebagai hukum materil umat Islam bagi para hakim dalam menyelesaikan sengketa waris.

Pada Bab II, penulis menyampaikan tujuh poin pembahasan yang membahas fokus kepada konsep dasar hukum kewarisan Islam di Indonesia. Ketujuh poin tersebut yaitu yang pertama pengertian dan ruang lingkup bahasan hukum waris Islam di Indonesia, yang kedua ahli waris Furud al-Muqaddarah, yang ketiga kewajiban ahli waris terhadap harta peninggalan, yang keempat perdamaian pembagian saham, yang kelima konsep asasi dan sebab-sebab beroleh kewarisan, yang keenam penghalang memperoleh warisan, yang ketujuh hijab hirman dan nuqsan. Menurut Pasal 171 Kompilasi Hukum Islam bahasan menyangkut pengertian hukum warisan, ruang lingkup kewarisan serta segala istilah terhadapnya disebutkan sebagai berikut:

  • Hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindaan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagian masing-masing.
  • Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan keputusan Pengadilan Agama Islam meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.
  • Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
  • Harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa harta benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya.
  • Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran utang dan pemberian untuk kerabat.
  • Wasiat adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain tanpa lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.
  • Hibah adalah pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
  • Anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidup sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggungjawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.
  • Baitul Mal adalah balai harta keagamaan.

Dalam buku ini penulis menjabarkan tentang pasal KHI yang membahas tentang waris dimulai dari apa saja yang berkaitan dengan waris, dana yang dikeluarkan untuk pewaris yang meninggal, penetapan ahli waris, warisan anak angkat, dan masih banyak hal lainnya menyangkut waris. Hukum waris Islam menetapkan para ahli waris diklasifikasikan dalam tiga klasifikasi hubungan hukum yaitu hubungan darah, hubungan perkawinan dan perwalian. Perwalian yang dimaksud adalah orang yang memerdekakan budak. Dua klasifikasi sebab memperoleh kewarisan yaitu nasabiyah dan sababiyah. Nasabiyah atau kekerabatan (hubungan darah) terbagi dalam tiga kategori yaitu hubungan furu'iyah (lurus ke bawah), ushuliyah (hubungan lurus ke atas) dan hawasyiah (menyamping). Sedangkan sababiyah (sebab perkawinan) adalah suami dan istri. KHI mengkonfirmasikan lagi bahwa ahli waris yang meninggal terlebih dahulu dari pewaris digantikan oleh anaknya dimana bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.

Secara umum rangkaian hukum Islam yang diatur dalam KHI memiliki persamaan dengan hukum waris yang diatur dalam fiqh Islam sunni, khususnya dalam pasal 174 KHI. Pengecualian terjadi terhadap Pasal 185 adanya pergantian ahli waris dari orang tua kepada anaknya walaupun orang tua tersebut telah meninggal dunia lebih dahulu. Akan tetapi dalam fiqh Islam sunni tidak ada istilah pergantian, bagian mereka masuk dalam bahasan bagian masalah cucu dengan system pembagian tersendiri. Cucu berhak memperoleh hak waris dengan ketentuan khusus. Teapi pada dasarnya aturan hukum yang terdapat dalam KHI tidak jauh berbeda dengan fiqh Islam sunni. Pada praktknya di Pengadilan Agama, kewarisan Islam yang diberlakukan dalam penyelesaian sengketa kewarisan masih mengacu kepada ketentuan waris. Pengklasifikasian tentang para ahli waris pada Pasal 174 KHI walaupun secara singkat sebenarnya tidak berbeda dengan fiqh Islam sunni dimana masih memprioritaskan garis kelelakian. Pasal-pasal lain KHI merincikan bagian masing-masing para ahli waris dimana membahas secara khusus. Dalam buku "Hukum Waris Islam Di Indonesia" telah menjabarkan jumlah-jumlah perbagian yang akan diperoleh para ahli waris.

Menurut pemahaman terhadap Pasal 175 KHI yang menjadi prioritas utama adalah mengurus dan menyelesaikan pemakaman jenazah, sebagaimana hal tersebut juga disepakati dalam fiqh Islam sunni. Akan tetapi biaya untuk melakukan penyelenggaraan jenazah tersebut masih menjadi hal yang dipersoalkan, dalam hal ini KHI Pasal 171 huruf (e) biaya yang dimaksud diambilkan dari harta peninggalan mayit, termasuk biaya rawat dan perobatan yang dilakukan untuk mayit sebelum meninggal. Pasal 175 ayat (2) menegaskan bahwa jika harta mayit tidak mencukupi untuk membayar utang-utang yang ditinggalkan maka mustahab bagi ahli waris atau kerabat lain untuk membayarkan. Tidak berbeda dengan masalah wasiat, ia membayarkan sebesar peninggalan harta mayit yang tersisa apabila untuk membayarkan wasiat tidak mencukupi setelah dilunasi utang-utang mayit kepada orang lain. Pada akhirnya apabila harta masih tersisa setelah dilunaskan segala utang dan wasiat, para ahli waris berhak untuk mewarisi seluruh harta yang tersisa dari harta mayit (pewaris).

Melihat Pasal 183 KHI bahwa perdamaian harus didasarkan kepada kesadaran para ahli waris dimana mereka telah mengetahui bagian saham mereka masing-masing sesuai dengan ketentuan hukum islam. hal tersebut dimaksudkan agar tidak terjadi kerugian pada salah satu pihak dari ahli waris tanpa disadari atau tidak dalam pengetahuannya. Dengan demikian, ketika ia menyepakati dari suatu pembagian saham berdasarkan perdamaian, pihak-pihak dapat memperhitungkan kerugian ataupun sebaliknya berupa keuntungan dari pembagian berdasarkan perdamaian tersebut, kerelaan para pihak yang terkait yang telah sepakat dalam pembagian tersebut. Terdapat lima prinsip filosofis hukum kewarisan Islam yang telah disepakati para ahli hukum Islam sehingga dijadikan sebagai asas hukum waris, yaitu asas ijbari, asas bilateral, asas individual, asas keadilan berimbang, dan asas peristiwa kematian. Dalam buku dijabarkan secara rinci atas asas-asas tersebut, setelah membahas asas buku ini membahas tentang penghalang memperoleh warisan. Gugurnya hak seseorang ahli waris untuk memperoleh harta warisan karena adanya sebab-sebab khusus yang menjadi penyebab terhalangnya memperoleh kewarisan.

Teks-teks dalam al-Qur'an tentang masalah kewarisan selalu mengisyaratkan tentang adanya hijab dalam pembagian warisan. Hijab merupakan keadaan tertentu yang mengakibatkan seseorang terhalang untuk mewarisi, bisa mengakibatkan tidak memperoleh sama sekali atau hanya mengurangi bagian perolehan harta warisan. System kewarisan mana pun sebagaimana dalam berbagai madzhab hukum dalam Islam, adanya hijab merupakan bagian yang sanagat penting dalam perhitungan warisan. Dalam konsep demikian, tidak ada satupun madzhab hukum yang meniadakan adanya hijab. Hanya saja, dalam sub bahasan permasalahan tertentu di antara mereka berbeda pendapat tentang orang-orang tertentu, apakah mereka menghijab orang lain atau secara bersama-sama tidak terhijab. Menurut KHI bahwa para ahli waris yang dapat terhijab hirman dan dapat pula terhijab nuqsan adalah saudari seayah. Sedangkan ahli waris yang hanya mungkin terhijab hirman tetapi tidak terhijab nuqsan adalah para cucu ketika ada orang tua mereka.

Pada Bab III, penulis menyampaikan sembilan poin pembahasan yang membahas praktik pembagian warisan para ahli waris, dimulai dari bahasan yang pertama anak laki-laki, yang kedua anak perempuan, yang ketiga ayah, yang keempat ibu, yang kelima suami (duda) dan istri (janda), yang keenam para cucu pancar laki-laki dan perempuan dan ahli waris pengganti, yang ketujuh para saudari-saudari, yang kedelapan kakek dan nenek, yang kesembilan penyelesaian auld an radd. Pada Bab III ini sudah memasuki praktik dalam pembagian waris, yang dimana di dalam buku dijelaskan dari mulai pengertian, asal-usul hukumnya, hingga berapa bagian yang didapatkan dalam pembagian waris. Ketentuan-ketentuan yang dipaparkan cukup runtut dan urut memudahkan pembaca memahami apa yang disajikan. Misalnya poin A yaitu anak laki-laki. Disini dijelaskan anak laki-laki merupakan ahli waris 'ashobah yaitu yang berhak menghabiskan sisa harta waris setelah diberikan kepada ashabu al-furud yang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun