Mohon tunggu...
Tias Tanjung Wilis
Tias Tanjung Wilis Mohon Tunggu... Administrasi - Murid kehidupan

Perempuan biasa yang suka berbagi cerita Berharap bisa membuat perubahan Menciptakan kesetaraan laki-laki dan perempuan Melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Redefinisi Perempuan Indonesia

19 Desember 2016   12:17 Diperbarui: 20 Desember 2016   16:22 331
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan laki-laki dan perempuan di Indonesia sudah mulai setara. Persentase perempuan yang menamatkan perguruan tinggi di tahun 2014 sebesar 7,4 persen, lebih tinggi dari laki-laki yang hanya 6,6 persen. Lantas, apakah ini artinya kesetaraan gender sudah terwujud? 

Dunia pendidikan boleh jadi sudah ramah terhadap perempuan. Jumlah laki-laki dan perempuan yang menamatkan pendidikan dasar hingga perguruan tinggi sudah menunjukkan angka yang seimbang. Dari segi pendidikan, kita memang tidak lagi temukan kesenjangan dan diskriminasi gender. Namun, pendidikan bukan satu-satunya indikator penentu keberhasilan pembangunan kesetaraan gender.

Dari segi ketenagakerjaan, misalnya, kita masih mendapati adanya kesenjangan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat persentase perempuan yang berpartisipasi dalam dunia kerja mulai tahun 2006 hingga 2014, angkanya berkisar antara 48,1 hingga 50,2 persen. Trennya memang menunjukkan peningkatan, tapi angka ini masih jauh di bawah laki-laki yang selalu konsisten di atas 83,0 persen untuk periode tersebut.

Peningkatan pekerja perempuan tidak serta merta berarti perempuan sudah memegang posisi strategis dalam pekerjaannya. Sebagai contoh, di tahun 2014, secara nasional jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS) perempuan sudah meningkat. Secara total hampir sama dengan PNS laki-laki. Tapi, perempuan yang menduduki posisi eselon hanya sedikit. Bahkan, semakin tinggi tingkat eselon, semakin tajam perbedaannya. Laki-laki yang menduduki jabatan eselon satu, misalnya, jumlahnya lima kali lipat dari perempuan di tahun 2014.

Keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif juga masih sangat rendah. Hingga tahun 2014, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) masih didominasi oleh anggota laki-laki yang jumlahnya mencapai 82,7 persen, sementara perempuan hanya 18,7 persen. Padahal, pemerintah sudah menganut kebijakan afirmasi yang mensyaratkan 30 persen keterwakilan perempuan dalam parlemen. Ini artinya perempuan masih belum memiliki posisi strategis dalam pengambilan keputusan, khususnya untuk memperjuangkan kepentingan perempuan. Maka tidak mengherankan jika masih banyak produk hukum yang diskriminatif terhadap perempuan.

Dalam hal upah, indikasi diskriminasi upah pekerja perempuan dan laki-laki terjadi hampir di semua sektor ekonomi, dengan pengecualian sektor konstruksi dan transportasi. Sebagai contoh, secara nasional, pada sektor non-pertanian, rasio upah pekerja perempuan sebesar 75,98. Artinya, jika upah pekerja laki-laki sebesar 100, maka upah perempuan hanya 75,98.

Data statistik tersebut mengungkapkan satu kenyataan pahit. Tingginya tingkat pendidikan ternyata belum mampu membawa perempuan menduduki posisi yang setara dengan laki-laki dalam dunia kerja. Budaya patriarkal yang sampai saat ini masih lekat dalam paradigma masyarakat, senantiasa membatasi perempuan untuk berkiprah di ranah publik.

Eksistensi perempuan digempur dari segala arah sehingga mereka masih banyak yang memilih tetap tinggal di ranah domestik. Berbagai alasan digunakan, mulai dari budaya hingga agama. Masih segar di ingatan kita bagaimana perempuan bekerja didiskreditkan dan diserang di media sosial. Perempuan dihakimi dan dipaksa meninggalkan karir untuk menjadi ibu rumah tangga seutuhnya. Seolah-olah, urusan rumah tangga hanya melekat dan menjadi tanggung jawab perempuan, bukan laki-laki.

Belum lagi ada pandangan di masyarakat bahwa perempuan tidak cukup berkompeten sebagai pemimpin. Alasannya klise, perempuan punya keterbatasan dan tanggung jawab lain di dalam rumah yang tidak bisa ditinggalkan. Peran ganda yang dilekatkan pada perempuan (dan entah kenapa tidak kepada laki-laki sebagai suami dan ayah) membuat mereka harus menetapkan prioritas dan akhirnya memilih untuk mengorbankan karirnya, meski mereka memiliki potensi untuk menjadi pemimpin.

Redefinisi Perempuan
Sejak lahir, konstruksi sosial dan budaya di Indonesia sudah membentuk perempuan sedemikian rupa untuk memenuhi kodrat sebagai istri dan ibu yang harus setia pada ranah domestik. Mainan boneka dan masak-masakan sebagai atribut “keperempuanan” kerap menjadi andalan orang tua sebagai media pembelajaran anak-anak perempuan yang kelak harus menjadi “wanita sejati” yang pintar berdandan, memasak, dan mengurus anak. Ketidakmampuan untuk memenuhi definisi itu menjadi bentuk pengingkaran terhadap kodrat dan kelalaian terhadap tanggung jawab. Akhirnya, perempuan dipaksa untuk memilih antara menggapai karir atau melaksanakan tanggung jawab di dalam rumah.

Kenyataan ini sungguh menyedihkan karena sejatinya laki-laki pun memiliki tanggung jawab yang sama besarnya untuk mengurus rumah tangga. Semua tugas harus dibagi secara adil, baik di ranah publik maupun domestik. Jangan lagi membebani perempuan dengan peran ganda yang mewajibkannya menjadi “superwomen”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun