Mohon tunggu...
Thurneysen Simanjuntak
Thurneysen Simanjuntak Mohon Tunggu... Guru - Nomine Kompasiana Awards 2022 (Kategori Best Teacher), Pendidik, Pegiat Literasi, serta Peraih 70++ Penghargaan Menulis.

www.thurneysensimanjuntak.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan featured

Memastikan Diri Berperilaku Cerdas di Tengah Ketidakpastian

5 April 2020   08:41 Diperbarui: 5 Juli 2021   06:18 1448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : media sosial Bank Indonesia

Sementara kalau mengacu kepada defenisi IMF, maka kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik.

Mengapa kebijakan makroprudensial itu perlu?

Berdasarkan pengalaman krisis yang pernah terjadi, ternyata kebijakan pada level mikrosistem keuangan tidak cukup untuk mengatasi perilaku risk taking behavior institusi keuangan. Sementara kebijakan moneter yang yang difokuskan pada stabilitas harga tidak secara langsung menjangkau permasalahan di level mikrosistem keuangan.

Untuk itulah kebijakan makroprudential tersebut diperlukan, yakni kebijakan yang berfokus pada pencegahan risiko sistemik dan upaya peningkatan resillience sistem keuangan. Kemudian dapat menjangkau seluruh elemen dalam sistem keuangan (bank, Institusi Keuangan Non Bank (IKNB), korporasi, infrastruktur keuangan, pasar keuangan dan rumah tangga).

Tentu yang menjadi pertimbangannya juga adalah karakteristik dari sistem keuangan itu sendiri. Adapun yang menjadi karakteristik dari sistem keuangan tersebut yakni, interconnectedness, common risk factor, too big to fail, dan risk taking behavior.

Interconnected maksudnya keterkaitan sistem keuangan yang mengakibatkan dampak krisis cepat meluas di dalam atau ke luar sektor lain (spillover effect). Common risk factor yakni adanya risiko pada aktivitas bisnis di sistem keuangan yang umumnya terakumulasi di satu sektor yang sama. Too big to fail artinya potensi spillover akan meningkat jika institusi yang bermasalah adalah institusi sistemik. Risk taking behavior merupakan perilaku ambil risiko yang berlebihan yang mengakibatkan ketidakseimbangan di sistem keuangan.

Untuk lebih mendukung penjelasan tentang pentingnya kebijakan makroprudensial tersebut, sahabat pembaca dapat juga menyaksikan video berikut.


Melalui video tersebut, kita juga  menyaksikan beberapa instrumen kebijakan makroprudensial yang pernah dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk meredam perilaku perbankan yang berlebihan dalam mengikuti siklus ekonomi. Seperti Loan to Value (LTV), Contercyclical Buffer (CCB), Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM), Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan lain sebagainya. 

Faktanya, berbagai kebijakan tersebut telah membuat stabilitas sistem keuangan nasional aman dan terjaga. Bahkan beberapa kali bangsa kita selamat dari guncangan ekonomi global yang pernah terjadi. Termasuk krisis 2008.

Sekarang kita kembali diperhadapkan dengan sebuah guncangan masalah, pandemik Covid-19. Bila tidak menyikapinya dengan cerdas, bukan tidak mungkin kita mengalami gejolak ekonomi.

Nah, berdasarkan pemaparan Perry Warjiyo (Gubernur Bank Indonesia), sebagai update indikator perekonomian terkini  (2/4), BI dan pemerintah telah mencoba melakukan berbagai langkah antisipatif.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun