Mohon tunggu...
thrio haryanto
thrio haryanto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis dan Penikmat Kopi Nusantara

Menyukai kopi tubruk dan menikmati Srimulat. Pelaku industri digital. Pembaca sastra, filsafat, dan segala sesuatu yang merangsang akalku. Penulis buku Srimulatism: Selamatkan Indonesia dengan Tawa (Noura Book Publishing, 2018).

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Lihat yang Mulus Lupa yang Tulus

13 Agustus 2018   20:42 Diperbarui: 13 Agustus 2018   21:16 407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Frasa di pantat truk: Ketok seng mulus lali seng tulus. | bahasastra.com

Beberapa bulan ke depan, kita akan disuguhi aneka bualan. Dari para calon presiden dan wakilnya, serta para calon wakil rakyat. Olah kata obral janji, olah muka obral simpati. Satu hal yang mereka dambakan: ke-ku-a-sa-an.

Maka, jangan heran jika ada yang mendadak begawan. Jangan terpesona jika ada yang tiba-tiba mengubah gaya berbusana. Jangan tercengang jika ada yang mendadak bicara lantang.

Mereka tidak salah. Mereka hanya sedang membangun citra. Mereka hanya sedang berjualan. Mereka hanya sedang berusaha meraih cita-cita: ke-ku-a-sa-an.

Tentu, mendamba kekuasaan bukan sebuah kesalahan. Mendamba jabatan bukan suatu kejahatan. Kita tahu, bahkan kebaikan pun ingin berkuasa. Agar bukan kejahatan yang pegang kuasa. Itulah mengapa ada norma dan agama.

Lazimnya di dunia jualan; ada penjual, ada yang dijual, dan ada pembeli. Dalam konteks kontestasi perebutan kekuasaan, penjual adalah para calon pejabat. Yang dijual adalah program. Pembeli adalah rakyat yang memiliki hak pilih.

Celakanya, rakyat (sebagai pemilih) sering dibikin bingung: tidak jelas siapa penjual dan apa yang dijual. 

Lihatlah, papan-papan reklame, iklan di koran, televisi dan berbagai media lainnya. Hanya menampilkan foto si penjual. Nir program. Tanpa produk. Mereka hanya menjual diri. Bajunya. Kopiahnya. Kerudungnya. Wajahnya. Senyumnya...

Mereka sengaja menggeret pemilih (yang tak lain adalah rakyat) ke dunia artifisial. Dunia busana tanpa karsa. Agar rakyat jatuh hati, dan abai pada isi.

Tidak keliru, memang. Mereka, para calon pejabat itu, hanya sedang menunjukkan bahwa mereka memahami sebuah teori pemasaran: Jika  tidak bagus produknya, percantiklah bungkusnya. Program celomes, wajah dipoles.

Salah? Tidak. Itu hak mereka. Karena, sekali lagi, mereka sedang berjualan. Kita, sebagai pembeli alias pemilih, yang harus pintar dan jeli. Kita yang harus memiliki wawasan yang bagus agar tak terjerumus dalam kubangan citra penuh akal bulus.

Mau tidak mau, kita yang harus mencari tahu. Kita yang harus aktif mempelajari rekam jejak mereka: Ok atau celomok? Kita yang harus berinisiatif mencermati program mereka: realistis atau utopis? Kita yang harus menakar omongan, janji, dan segala kegiatan mereka dengan hati nurani: bulus atau tulus?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun