Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Melestarikan Kemiskinan di Layar Kaca

22 September 2021   08:00 Diperbarui: 24 September 2021   09:01 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai eksploitasi kemiskinan di televisi | Tirto.id

Kita harus akui bahwa kemiskinan mampu lestari karena adanya campur tangan dari media massa, yang salah satunya adalah televisi

Apakah pembaca pernah menyaksikan beberapa program acara televisi bertajuk reality show seperti halnya Jika Aku Menjadi, Mikrofon Pelunas Hutang, Uang Kaget, Minta Tolong, Bedah Rumah, dan lainnya? Lalu perasaan apa yang kemudian muncul di hati para pembaca, apakah merasa sedih, iba, simpati, terharu atau justru biasa saja dengan acara tersebut? Ya, tayangan-tayangan di atas memang bertujuan untuk membangkitkan perasaan emosional para audiens.

Perasaan emosional berfungsi sebagai bumbu untuk membuat acara-acara tersebut tampak lebih hidup dan menimbulkan kesan yang mendalam bagi mereka yang menyaksikannya. Seperti yang kita ketahui bersama, acara-acara seperti ini sangat berhasil di industri pertelevisian Indonesia. Mereka mampu meraup banyak keuntungan, seperti masuknya sponsor bernilai puluhan hingga miliaran rupiah, durasi tayang yang lebih lama, dan bahkan terdaftar dalam siaran prime time.

Meski acara-acara seperti ini berguna untuk menjadi pengingat dan refleksi bagi kita, khususnya masyarakat urban yang setiap harinya bersentuhan dengan berbagai permasalahan sosial seperti kemiskinan, yang kemudian dapat menggerakkan kita untuk berderma dan membantu mereka yang berkesusahan, namun, ada satu hal yang tidak disadari oleh kita semua, yakni tayangan-tayangan seperti ini sejatinya justru semakin merawat dan melestarikan kemiskinan.

Alih-alih sebagai gerakan sosial karitatif yang membangun dan bermanfaat bagi yang membutuhkan uluran tangan, acara-acara seperti ini justru membingkai dan menkonstruksikan kemiskinan seperti sebuah pertunjukan sirkus. Dalam ranah ilmu komunikasi, khususnya pada kajian media dan industri budaya, acara-acara seperti ini dapat dianalisis melalui konsep komodifikasi dan sturkturasi dalam ilmu ekonomi politik komunikasi.

Komdofikasi dalam konteks ini berguna untuk membantu kita dalam memahami pemanfaatan kemiskinan sebagai modal kapital bagi para pelaku industri media untuk mampu membuatnya menjadi suatu produk budaya yang dapat menghasilkan keuntungan (laba). Sedangkan, strukturasi berguna untuk melihat problematika yang terjadi dalam struktur dan agensi yang terdapat dalam konteks perkembangan industri media, terutama pada ruang lingkup program acara reality show.

Menurut Mosco (2009), komodifikasi adalah proses transformasi barang dan jasa beserta nilai gunanya, agar mampu menjadi suatu komoditas yang dapat dipertukarkan di pasar, di mana produsen (pemilik usaha) sudah merancang suatu nilai dari produk tersebut agar dapat menghasilkan keuntungan (laba) yang besar. Ada tiga bentuk komodifikasi dalam ekonomi politik komunikasi, dan di sini penulis secara khusus akan berfokus pada komodifikasi konten.

Komodifikasi konten adalah jenis komodifikasi yang bertujuan mengubah suatu isi pesan (konten) melalui teknologi yang ada menuju sistem interpretasi yang penuh makna, hingga menjadi pesan (konten) yang dapat diperjualbelikan. Singkatnya, komodifikasi jenis ini berhubungan dengan konten yang sudah dibentuk dan dikreasikan sedemikian rupa, yang nantinya akan disebarluaskan untuk menjadi tayangan yang mampu menggaet banyak audiens dan memperoleh laba.

Sedangkan, strukturasi dapat dipahami sebagai sebuah proses sosial, di mana struktur sosial saling ditegakkan oleh para agen sosial, dan masing-masing bagian dari struktur tersebut mampu untuk bertindak dalam melayani bagian yang lain (Mosco, 2009). Terdapat dua kata kunci pada teori strukturasi. Pertama, yakni ‘struktur’ yang berarti aturan dan sumber yang digunakan pada produksi serta reproduksi sistem, dan yang kedua adalah ‘agensi’ yang berarti individu.

Giddens dalam Ashaf (2006) menjelaskan bahwa struktur dan agensi digambarkan seperti halnya dua sisi mata uang yang sama, di mana struktur dan agensi sama-sama memiliki sifat dialektik yang dapat saling mempengaruhi satu sama lain. Sifat dialektik ini harus dipandang sebagai dualitas (duality) atau tak terpisahkan. Jika struktur dan agensi dipandang secara terpisah, maka hal tersebut akan menghasilkan dualisme dan kerancuan dalam struktur serta agensi.

Teori strukturasi memahami bahwa suatu agensi dapat meninggalkan dan menentang pada suatu struktur yang berlaku. Dengan demikian, suatu agensi dapat memiliki peluang atau kesempatan untuk keluar dari ketentuan yang ada dalam sebuah struktur. Sederhananya, suatu agensi dapat mengubah “nasibnya”. Dengan demikian, strukturasi adalah serangkaian hubungan sosial dalam proses kekuasaan yang diorganisasikan antara kelas yang memiliki hubungan satu sama lain.

Dalam berbagai acara reality show di televisi yang memanfaatkan kemiskinan sebagai komoditasnya, di sini kita dapat dengan jelas dan mudah dalam menganalisis serta memahami berbagai bentuk eksploitasi terselubung pada kemiskinan dan marjinalitas, melalui pendekatan konsep komodifikasi serta strukturasi. Di sini, penulis akan menggunakan satu contoh tayangan reality show yang mengeksploitasi kemiskinan untuk mendapatkan keuntungan.

Mikrofon Pelunas Hutang, salah satu acara reality show yang mengeksploitasi kemiskinan | kaskus.co.id
Mikrofon Pelunas Hutang, salah satu acara reality show yang mengeksploitasi kemiskinan | kaskus.co.id

Salah satu tayangan reality show tersebut adalah Bedah Rumah. Merujuk pada Arya et al (2013: 176), Bedah Rumah adalah salah satu program reality show milik stasiun televisi swasta Global TV (sebelumnya RCTI). Acara ini memiliki tujuan untuk membantu mereka yang berkekurangan dengan cara merenovasi rumahnya menjadi layak huni hanya dalam satu hari. Sebagai reality show, Bedah Rumah juga menghadirkan public figure yang bertugas sebagai pemandu acara.

Selain melaksanakan fungsinya sebagai pemandu acara, public figure dalam acara tersebut juga berperan sebagai seorang live storyteller, di mana mereka harus tinggal bersama dengan keluarga yang bersangkutan selama beberapa hari untuk merasakan berbagai bentuk kehidupan, perjuangan, dan kesukaran yang mereka alami. Di sini, mereka juga bertugas mengobservasi dan menceritakan ulang bagaimana kondisi dari lingkungan dan hunian keluarga yang ditumpangi.

Di akhir masa menginap, sang pemandu acara kemudian akan memberitahukan kepada keluarga yang bersangkutan, bahwa mereka berhak mendapatkan bantuan dari pihak penyelenggara acara untuk direnovasi rumahnya. Pada saat proses renovasi rumah, pemandu acara akan mengajak keluarga tersebut pergi bertamasya dan tinggal di hotel mewah selama beberapa hari. Setelah itu, keluarga tersebut akan pulang dan melihat rumahnya yang telah selesai direnovasi.  

Bedah Rumah pernah menjadi salah satu program acara reality show milik Global TV yang cukup sukses. Pernyataan ini sesuai dengan apa yang dijabarkan oleh Mulyadi (2018), yang menyebutkan bahwa Bedah Rumah di tahun 2018 lalu berhasil menyabet rating yang cukup baik menurut pemeringkat Nielsen, yakni sebesar 5,4 persen, dengan share sebesar 25 persen, dan menjadi tayangan yang paling sering mendapat jatah siaran prime time

Masih dari sumber yang sama, acara-acara prime time dalam banyak siaran televisi bisa mendapatkan slot iklan sekitar 10-30 sesi, dengan harga Rp 50 juta/iklannya (yang termurah). Bisa dibayangkan, berarti, kemungkinan dalam satu kali siaran acara reality show macam Bedah Rumah saja bisa mendapatkan keuntungan sebesar Rp 1,5 miliar per episodenya. Dan ini belum ditambah dengan berbagai sponsor lain yang tidak tercantum dalam iklan komersial.

Meski mendapatkan keuntungan yang besar dari berbagai keistimewaan yang dimiliki, namun acara reality show macam Bedah Rumah adalah keniscayaan dari bentuk eksploitasi kemiskinan yang tidak berkesudahan. Kemiskinan dikomodifikasi menjadi konten yang bisa konsumsi oleh khalayak luas, di mana sesuai dengan temuan data di atas, semakin banyak disaksikan, maka akan semakin menguntungkan pula suatu acara dan production house yang membuat program tersebut.

Sebagai contoh, pada Bedah Rumah episode 119 yang tayang di kanal Youtube Global TV pada tanggal 5 September 2018 lalu misalnya, Indra adalah salah satu peserta Bedah Rumah yang berprofesi sebagai pedagang makanan kecil yang beruntung mendapatkan bantuan untuk direnovasi rumahnya. Namun, untuk bisa “mendapatkannya”, Indra dan segenap anggota keluarga harus dengan rela memperlihatkan semua bentuk kesukaran dan kesengsaraannya.

Episode ini terbagi dalam empat babak. Penulis akan berfokus pada babak satu dan dua yang paling banyak mepresentasikan kemiskinan. Pada babak satu misalnya, komodifikasi terhadap kemiskinan yang dimiliki oleh Indra dan keluarganya terlihat dari beberapa hal, mulai dari ketidakmampuan mereka dalam mencukupi kebutuhan harian; hingga ketidakmampuan mereka dalam memenuhi keperluan obat Indra yang sedang mengidap penyakit “saraf”.

Selain itu, sang istri juga bercerita bahwa penyakit saraf yang diidap suaminya sampai membuat mereka harus kehilangan salah satu bagian dari dinding rumah mereka, akibat sering dibenturkan oleh kepala Indra ketika penyakit “sarafnya” sedang kambuh. Hal ini juga ditambah dengan diperlihatkannya kondisi dari dinding rumah mereka yang ambruk sebagian, sebagai akibat dari sering dibenturkannya kepala Indra ke dinding tersebut.

Pada babak kedua, komodifikasi kemiskinan terhadap Indra dan keluarganya semakin memuncak. Hal ini dapat terlihat dari beberapa adegan yang berusaha menggambarkan kondisi rumah mereka yang dipenuhi oleh sarang laba-laba pada bagian langit-langit; lantai yang masih beralaskan tanah; kayu-kayu penyangga rumah yang sudah keropos; atap rumah yang sudah bocor; tempat tidur yang lusuh; perabot rumah tangga yang keropos; dan berbagai permasalahan lainnya.

Di babak kedua ini, Hani anak dari Indra juga diperlihatkan secara tidak terhormat. Penilaian ini bersumber dari diperlihatkannya penyakit yang idap oleh dirinya, di mana Hani, yang pada saat itu sedang membantu ibunya mengupas singkong tiba-tiba di tanya oleh sang pemandu acara terkait dengan penyakitnya. Hani mengidap penyakit kaki gajah di kedua kakinya yang mengharuskannya untuk selalu menutupi penyakit tersebut dari pandangan orang lain.

Kaum difabel, marjinal, dan orang sakit kerap menjadi objek eksploitasi soal kemiskinan | magdalene.co
Kaum difabel, marjinal, dan orang sakit kerap menjadi objek eksploitasi soal kemiskinan | magdalene.co

Tidak hanya sampai di situ, sang pemandu acara juga mengarahkan kamera untuk menyorot kedua kaki Hani yang terserang kaki gajah, dan tindakan ini sampai membuat Hani menangis karena dirinya tidak mampu untuk memulihkan penyakitnya akibat ketiadaan biaya untuk berobat. Dari beberapa potongan kecil ini, kita bisa melihat bahwa kemiskinan yang di miliki oleh keluarga Indra dieksploitasi sedemikian rupa untuk dapat mengundang atensi dari para penonton.

Isak tangis, penyakit, keadaan sosial ekonomi yang serba berkekurangan menjadi bumbu yang pas dalam menggambarkan Indra dan keluarganya sebagai “hewan atraksi” layaknya dalam suatu pertunjukan sirkus. Indra dan keluarganya diposisikan selayaknya objek laboratorium ilmiah, yang berusaha menjawab rasa keingintahuan dari para penonton terkait dengan kondisi kemiskinan yang mereka alami beserta dengan kesukaran hidup yang mereka miliki.

Alih-alih bisa tampil dimuka, mengalami perubahan dalam hidupnya serta dianggap ada oleh masyarakat, keluarga miskin selayaknya Indra tetap akan dipandang sebagai manusia yang “berbeda” atau dalam bahasa saintifik mereka di cap sebagai “spesies” yang berbeda dari orang kebanyakan yang tinggal di suatu lingkungan. Penggambaran orang miskin dalam acara ini sebagai hewan atraksi mengarahkan kita kepada suatu fenomena sosial di New York, Amerika Serikat.

Menurut Remotivi (2018), pada pertengahan abad ke-19 Amerika Serikat, terkhususnya New York sedang terkesima dengan kemajuan sains, sebagai akibat dari banyaknya penemuan besar. Saat itu, kemajuan sains berjalan beriringan dengan hadirnya Dime Museum, sebuah wahana “belajar” untuk menjawab rasa ingin tahu masyarakat akan sains. Alih-alih bersifat edukatif dan saintifik, museum ini justru menghadirkan sesuatu yang berbau eksploitatif dan sensasional.

Salah satu bentuk pameran dari Dime Museum yang populer adalah “pertunjukan orang aneh”. Orang-orang yang ditampilkan dalam museum ini dikemas dalam bentuk pseudo-saintifik yang cenderung mendiskreditkan dan merendahkan mereka yang berkekurangan. Sebagai contoh, orang-orang disabilitas, bertubuh sangat gemuk, bertubuh sangat tinggi, manusia kerdil dan lainnya adalah mereka yang dicap sebagai objek sains yang dapat mengundang rasa penasaran.

Dalam tayangan seperti Bedah Rumah, keluarga miskin layaknya Indra di komodifikasi oleh media untuk menjadi jawaban atas rasa penasaran dari para penonton terhadap fenomena kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat. Pencitraan dari keluarga miskin yang ditampilkan, layaknya kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, masalah pendidikan, cacat fisik atau mental dan lainnya menjadi bahan jualan paling diharapkan oleh media.

Atas berbagai bentuk pendefinisian dan komodifikasi terhadap realitas kehidupan keluarga miskin yang ditayangankan oleh Bedah Rumah, hal ini pun lantas menciptakan sebuah cara pandang dan berpikir yang terstruktur (strukturasi). Alih-alih bertujuan untuk menarik suatu keluarga keluar dari jurang kemiskinan, acara seperti ini justru semakin mematenkan cara pandang kita terhadap mereka yang miskin untuk selalu dikasihani dan diberikan uluran tangan yang lebih.

Cara pandang seperti ini dilestarikan oleh televisi sebagai akibat dari bertahannya metode eksploitasi yang menggunakan kemiskinan sebagai komoditas utama untuk mampu menciptakan suatu “hiburan pertunjukan” yang dapat mengundang minat dan perhatian dari banyak orang, bukan sebagai alat sosial yang berguna untuk membantu untuk mengentaskan kemiskinan dan memberdayakan masyarakat yang berkekurangan secara karitatif.

Lewat konsep strukturasi dalam ekonomi politik komunikasi, di sini kita bisa melihat bahwa media (televisi) akan selalu menempatkan kemiskinan sebagai komoditas yang “laris manis”, sebab kemiskinan adalah gejala sosial yang mudah ditemukan dan dapat mengundang atensi besar bagi para penonton. Hal ini di satu sisi jelas akan semakin merawat dan melestarikan cara pandang kita terhadap kemiskinan sebagai suatu kelompok yang lemah, marjinal, dan perlu dididik.  

Kecenderungan ini membuat media mempertahankan strukturasi yang demikian, agar kemiskinan tetap dapat diolah dan menjadi suatu tayangan kebaruan yang bisa menghasilkan profit. Maka dari itu, tayangan seperti halnya Bedah Rumah memang tidak bertujuan untuk mengentaskan kemiskinan, karena bagi televisi mengentaskan kemiskinan sama seperti halnya menghancurkan investasi pada suatu “spesies” yang dapat memberikan keuntungan secara berkelanjutan.

Kesimpulannya, tayangan seperti Bedah Rumah menjadi sebuah bukti, bahwa media tidak memberikan sesuatu yang bermanfaat, khususnya di bidang sosial dan kemanusiaan. Media menggunakan isu ini sebagai alasan untuk mengentaskan kemiskinan, yang kenyataannya justru semakin menggodok isu-isu ini untuk meraup untung. Komodifikasi yang demikian praktis akan membuat strukturasi, bahwa dunia akan selalu diwarnai oleh hadirnya “si kaya dan si miskin”.


Daftar Pustaka:

Ashaf. (2006). Pola Relasi Media, Negara, Dan Masyarakat: Teori Strukturasi Anthony Giddens Sebagai Alternatif. Journal of Social Sciences and Humanities, 8(2).

Remotivi. (2018, 16 Maret). Sirkus Kemiskinan di Layar Kaca. youtube.com. Dikutip dari, https://www.youtube.com/watch?v=VBw13yM_cRQ

Mosco, Vincent. 2009. The Political Economy of Communication. London, UK: Sage Publications.

Arya, N; Hafied, C; dan Unde, A. (2013). Komodifikasi kemiskinan dalam televisi indonesia (Studi komparatif antara program “Jika aku Menjadi” di Trans TV dengan program “Bedah rumah” di RCTI). Jurnal Komunikasi KAREBA, 2(2).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun