Mohon tunggu...
Thomas Panji
Thomas Panji Mohon Tunggu... Freelancer - Content Writer

Berusaha dengan sebaik mungkin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Melestarikan Kemiskinan di Layar Kaca

22 September 2021   08:00 Diperbarui: 24 September 2021   09:01 825
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengenai eksploitasi kemiskinan di televisi | Tirto.id

Selain itu, sang istri juga bercerita bahwa penyakit saraf yang diidap suaminya sampai membuat mereka harus kehilangan salah satu bagian dari dinding rumah mereka, akibat sering dibenturkan oleh kepala Indra ketika penyakit “sarafnya” sedang kambuh. Hal ini juga ditambah dengan diperlihatkannya kondisi dari dinding rumah mereka yang ambruk sebagian, sebagai akibat dari sering dibenturkannya kepala Indra ke dinding tersebut.

Pada babak kedua, komodifikasi kemiskinan terhadap Indra dan keluarganya semakin memuncak. Hal ini dapat terlihat dari beberapa adegan yang berusaha menggambarkan kondisi rumah mereka yang dipenuhi oleh sarang laba-laba pada bagian langit-langit; lantai yang masih beralaskan tanah; kayu-kayu penyangga rumah yang sudah keropos; atap rumah yang sudah bocor; tempat tidur yang lusuh; perabot rumah tangga yang keropos; dan berbagai permasalahan lainnya.

Di babak kedua ini, Hani anak dari Indra juga diperlihatkan secara tidak terhormat. Penilaian ini bersumber dari diperlihatkannya penyakit yang idap oleh dirinya, di mana Hani, yang pada saat itu sedang membantu ibunya mengupas singkong tiba-tiba di tanya oleh sang pemandu acara terkait dengan penyakitnya. Hani mengidap penyakit kaki gajah di kedua kakinya yang mengharuskannya untuk selalu menutupi penyakit tersebut dari pandangan orang lain.

Kaum difabel, marjinal, dan orang sakit kerap menjadi objek eksploitasi soal kemiskinan | magdalene.co
Kaum difabel, marjinal, dan orang sakit kerap menjadi objek eksploitasi soal kemiskinan | magdalene.co

Tidak hanya sampai di situ, sang pemandu acara juga mengarahkan kamera untuk menyorot kedua kaki Hani yang terserang kaki gajah, dan tindakan ini sampai membuat Hani menangis karena dirinya tidak mampu untuk memulihkan penyakitnya akibat ketiadaan biaya untuk berobat. Dari beberapa potongan kecil ini, kita bisa melihat bahwa kemiskinan yang di miliki oleh keluarga Indra dieksploitasi sedemikian rupa untuk dapat mengundang atensi dari para penonton.

Isak tangis, penyakit, keadaan sosial ekonomi yang serba berkekurangan menjadi bumbu yang pas dalam menggambarkan Indra dan keluarganya sebagai “hewan atraksi” layaknya dalam suatu pertunjukan sirkus. Indra dan keluarganya diposisikan selayaknya objek laboratorium ilmiah, yang berusaha menjawab rasa keingintahuan dari para penonton terkait dengan kondisi kemiskinan yang mereka alami beserta dengan kesukaran hidup yang mereka miliki.

Alih-alih bisa tampil dimuka, mengalami perubahan dalam hidupnya serta dianggap ada oleh masyarakat, keluarga miskin selayaknya Indra tetap akan dipandang sebagai manusia yang “berbeda” atau dalam bahasa saintifik mereka di cap sebagai “spesies” yang berbeda dari orang kebanyakan yang tinggal di suatu lingkungan. Penggambaran orang miskin dalam acara ini sebagai hewan atraksi mengarahkan kita kepada suatu fenomena sosial di New York, Amerika Serikat.

Menurut Remotivi (2018), pada pertengahan abad ke-19 Amerika Serikat, terkhususnya New York sedang terkesima dengan kemajuan sains, sebagai akibat dari banyaknya penemuan besar. Saat itu, kemajuan sains berjalan beriringan dengan hadirnya Dime Museum, sebuah wahana “belajar” untuk menjawab rasa ingin tahu masyarakat akan sains. Alih-alih bersifat edukatif dan saintifik, museum ini justru menghadirkan sesuatu yang berbau eksploitatif dan sensasional.

Salah satu bentuk pameran dari Dime Museum yang populer adalah “pertunjukan orang aneh”. Orang-orang yang ditampilkan dalam museum ini dikemas dalam bentuk pseudo-saintifik yang cenderung mendiskreditkan dan merendahkan mereka yang berkekurangan. Sebagai contoh, orang-orang disabilitas, bertubuh sangat gemuk, bertubuh sangat tinggi, manusia kerdil dan lainnya adalah mereka yang dicap sebagai objek sains yang dapat mengundang rasa penasaran.

Dalam tayangan seperti Bedah Rumah, keluarga miskin layaknya Indra di komodifikasi oleh media untuk menjadi jawaban atas rasa penasaran dari para penonton terhadap fenomena kemiskinan dan ketimpangan ekonomi yang terjadi di dalam masyarakat. Pencitraan dari keluarga miskin yang ditampilkan, layaknya kesulitan ekonomi, masalah kesehatan, masalah pendidikan, cacat fisik atau mental dan lainnya menjadi bahan jualan paling diharapkan oleh media.

Atas berbagai bentuk pendefinisian dan komodifikasi terhadap realitas kehidupan keluarga miskin yang ditayangankan oleh Bedah Rumah, hal ini pun lantas menciptakan sebuah cara pandang dan berpikir yang terstruktur (strukturasi). Alih-alih bertujuan untuk menarik suatu keluarga keluar dari jurang kemiskinan, acara seperti ini justru semakin mematenkan cara pandang kita terhadap mereka yang miskin untuk selalu dikasihani dan diberikan uluran tangan yang lebih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun