Ada sosok putih menggantung, samar oleh cahaya lampu taman yang redup. Rambutnya panjang terurai menutupi wajah, kain putih lusuh berkibar tertiup angin malam. Jantungku berdetak kencang, kakiku terasa terpaku di tanah. Aku mengucek mata, berharap hanya ilusi karena lelah. Tapi sosok itu tetap ada. Bahkan perlahan, kepalanya menunduk, seakan menatapku dari balik rambutnya yang panjang.
Suara lirih terdengar, seperti desis angin, namun jelas menyusup ke telinga:
"...sini..."
Aku mundur setapak, tapi kakiku justru menabrak selang kompresor yang tergeletak. Suara logamnya berderak keras memecah kesunyian. Seketika sosok itu bergerak cepat---terjun dari dahan.
Aku menahan napas. Tapi saat aku berkedip, sosok itu lenyap. Hanya sisa wangi melati yang makin pekat menusuk hidung. Panik, aku lari sekencang-kencangnya menuju area pompa. Napasku memburu, keringat dingin membasahi pelipis. Satpam yang tadi duduk menatapku heran.
"Kenapa, Mas? Mukanya pucat banget," tanyanya.
Aku ragu sejenak, lalu bertanya dengan suara bergetar, "Pak... di taman belakang itu... ada yang jaga juga, ya?"
Satpam itu terdiam beberapa detik, lalu tersenyum kaku. "Lha, kan sudah malam. Mana ada orang jaga di sana. Memang kenapa?"
Aku menghela napas berat. "Saya lihat... ada yang berdiri di pohon. Pake putih. Bau melati..."
Senyum satpam itu langsung hilang. Ia menoleh cepat ke arah taman, lalu mendekatiku, berbisik, "Sudah, Mas. Jangan banyak diomongin. Biasa, tamu malam. Makanya kalau ke toilet situ, jangan lama-lama."
Deg. Kata-katanya membuat dadaku semakin sesak. Satpam itu bukan kaget, melainkan sudah terbiasa. Ia tahu apa yang kulihat.