Bukan Sinetron
Mimi seorang gadis remaja yang sangat biasa. Kehidupan bersama keluarganya tak ada yang istimewa. Rumahnya biasa saja, terbuat dari batu bata dengan cat biru yang telah bertahun-tahun tak diganti warnanya.
Makanan yang ia makan juga biasa, nasi, sayur, dan sepotong tempe atau tahu. Lauk yang menurutnya memiliki nilai paling tinggi adalah telor dadar. Â Kata ibunya gak perlu makan ayam. Kalau ayamnya dimakan bagaimana nanti, gak ada telurnya lagi. Mimi diam saja dengan kata-kata ibunya yang seperti tidak masuk akal.
Mimi tak banyak memiliki pakaian. Jarang sekali ia punya baju baru. Bersyukur ia masih punya bawahan hitam, jadi bisa dipadukan dengan atasan merah, kuning, hijau.
Suatu saat Mimi bosan dengan hal biasa yang dimilikinya. Ia ingin mengganti hal biasa itu dengan yang istimewa. Dia ingin punya rumah bagus. Halamannya luas, ada taman, dan juga ada kolam renang. Agar bisa berenang setiap ia mau. Sehingga badannya tetap terjaga, tidak melar.
Mimi ingin punya kamar yang bagus. Ada tempat tidur yang empuk dengan sprei yang halus. Di sampingnya ada lemari pakaian. Di dalam lemari banyak baju bagus, baik model lama maupun model terbaru. Warnanya pun beraneka macam, kalau bisa sih 100 warna seperti pada iklan cat tembok.
Mimi juga ingin menu makanannya berganti setiap hari. Ia ingin makan rendang yang pedas itu. Atau  ikan bakar, ayam panggang, dan dendeng batokok. Mimi juga ingin menikmati aneka jus buah. Alpukat, apel, melon. Selama ini ia hanya mengenal namany saja, tanpa tahu rasanya.
"Wah...sedapnya," kata Mimi dalam hati. Ia menelan air liur membayangkan lezatnya makanan dan minuman yang belum pernah mampir di lidahnya.
"Tok...tok...," Mimi terkejut mendengar pintu kamarnya diketuk. Ia diam sejenak menenangkan hati. Serial "Ikatan Cinta" baru akan selesai beberapa menit lagi. Tetapi bukannya ketenangan yang ia dapatkan, melainkan omelan panjang.
"Mi, keluar. Tuh piringnya belum dicuci! Jangan nonton terus. Nanti kecanduan, sampai lupa waktu, lupa kerjaan!"
"Duh...Bu," batinnya.