Mohon tunggu...
Ferry_Darmin
Ferry_Darmin Mohon Tunggu... Fakultas Teologi, Program Studi Filsafat Keilahian, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Tidak Semua Hal Harus Dikatakan tetapi Harus Dimengerti

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Seonggok Belis dan Kisah Singkatnya

12 Mei 2025   08:35 Diperbarui: 12 Mei 2025   08:35 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto sebuah Meriam di puncak Golo Riung yang dijadikan belis (Sumber: foto pribadi)

         Setiap daerah memiliki sistem budaya yang berbeda-beda. Salah satunya ialah sistem
perkawinan. Di dalam perkwainan masyarakat Nusa Tenggara Timur ada yang disebut dengan
belis. Belis merupakan jantung, yang mana ia berdetak dalam nadi masyarakat Nusa Tenggara
Timur. Bentuk belis biasanya dalam bentuk hewan, kain tenun dan emas. Namun, belis tidak hanya
berbicara tentang berapa banyak hewan, berapa berat emas dan berapa tumpuk kain tenun. Tetapi,
lebi dari itu belis mau menunjukaan suatu nilai yang paling suci. Ibarat sastra, belis merupakan
suatu puisi yang diketik untuk memperindah kehidupan manusia. Belis tidak hanya diperuntukan
bagi pasangan yang hendak dilamar atau melamar, tetapi bagi kedua keluarga besar juga.
Keduanya dipertemukan dalam satu ikatan yang disebut adat.


       Betul, bahwa tidak semua belis memiliki kisah yang manis seperti kisah Romeo dan Juliet.
Dibalik belis juga ada getir yang bersembunyi dalam diamnya sesorang. Dibalik pesta adat yang
meriah ada duka, dimana ada keluarga yang harus menunda pernikahannya karena belis belum
cukup. Ada yang cintanya patah karena harga tidak terbelikan. Disaat inilah belis menjadi
perdebatan antara adat dan keadilan, simbol dan beban, kewajiban dan pemaksaan. Tergantung
dari sudut pandang mana kita melihat.

        Berbicara tentang belis, menariknya, di daerah bagian utara dari
Ngada yaitu Riung. Disana terdapat suatu kisah sejarah yang sangat
menarik, berkaitan dengan belis. Kisah sejarah ini sudah melampaui
berapa generasi, namun masih memberikan suatu nilai sejarah. Disana
terdapat sebuah meriam yang terbuat dari besi murni yang sangat berat.
Bagi masyarakat riung, meriam ini tidak dilihat hanya sebagai sebuah
benda atau barang yang sudah usang, tetapi meriam ini menjadi saksi bisu
pertemuan dua budaya lokal.


         Meriam yang sekarang berada di puncak bukit paling tinggi di Riung, merupakan suatu
warisan yang muncul dari sebuah peristiwa besar yang menghubungkan kota Ambon dengan
Riung. Seorang panglima perang, Kapitan Beru membawa meriam tersebut untuk meminang gadis
asli Riung yang bernama Ngguma. Meriam tersebut dibawa dari Ambon menggunakan kapal.
Mendarat di pulau pata. Kemudian dibawah ke perkampungan Riung lama (golo riung).
Meriam tersebut sangat berat, dibutuhkan sekitar dua puluh orang laki laki dewasa bahkan
lebih untuk memindahkannya. Siapa yang membawanya? Beberapa orang tua mencoba
menjawabnya, bahwa proses pemindahan meriam tersebut dilakukan dengan bantuan jin (ghoib).
Namun, terkait siapa yang membawanya ke lokasi perkampungan Riung lama, masih belum
terungkap sampai sekarang ini. Menurut kakek baka, salah satu orang tua di Riung, meriam
tersebut mulai dari kedatangannya sampai dengan saat ini tidak pernah dipakai. Dalam acara atau
situasi apapun. Orang tua terdahulu memaknai bahwa ketika Meriam sampai di Riung, ia tidak lagi
berfungsi untuk mengalirkan api peperangan. Meriam meletuskan kisah cinta yang terbungkus
dalam peluru adat.

kakek Baka sedang menceritakan kisah meriam (Sumber: foto pribadi)
kakek Baka sedang menceritakan kisah meriam (Sumber: foto pribadi)
            Sehingga, bagi orang tua terdahulu, kisah tentang meriam yang dijadikan belis ini adalah
sebuah kisah yang sakral. Kisah yang mau menunjukan kepada banyak orang tetang betapa
tingginya harkat seorang perempuan dimata adat dan budaya. Untuk mendapatkannya, seorang
pria harus terlebih dahulu belajar bagaimana menghormati dan berkorban. Tidak hanya
bermodalkan janji manis, tetapi jauh dari itu ialah bukti nyata.
Kisah Meriam ini juga mau menunjukan kepada anak cucu, orang muda asli Riung bahwa belis
suatu pemberian yang tidak bisa dianggap biasa. Tetapi, belis adalah representasi dari isi hati,
kehormatan dan harga diri dari seseorang yang berniat mengambil pesangannya.


           Kisah tentang meriam ini memang sangat pudar bahkan menghilang dari ingatan anak anak
muda sekarang. Hal ini didukung dari kurangnya sumber sumber tertulis dan lisan. Selain itu juga,
akses menuju tempat sejarah ini tidak ada. Lokasinya sangat jauh dari kota. Untuk sampai ke
tempat meriam, sesorang harus memasuki hutan dan membuat jalan. Melewati empat bukit yang
sangat tinggi dan terjal. Adanya beberapa faktor penghambat inilah yang membuat minat anak
anak muda untuk mencari dan mengunjungi tempat sejarah sangtlah kurang.

Foto bersama teman sekolah dan guru saat melakukan perjalanan untuk melihat meriam (Sumber: Foto pribadi)
Foto bersama teman sekolah dan guru saat melakukan perjalanan untuk melihat meriam (Sumber: Foto pribadi)
       Ada sebuah harapan bahwa meriam tua yang sekarang ini berada di puncak paling tinggi daerah Riung bukanlah rongsokan
besi yang tidak seharusnya dilupakan waktu. Ia seharusnya
tercatat dalam ingatan anak anak muda Riung saat ini. Meriam
tersebut memang tidak lagi berfungsi, tetapi dalam ketidakberfungsiannya itu tersimpan jejak langkah para leluhur yang
masih bergema. Perjuangan para leluhur yang bertaruh nyawa dan
harga diri demi cinta, kehormataan dan kemerdekaan. Dingin
besinya menyimpan bara cerita yang seharusnya hangat di dada
anak anak muda sebagai penjaga warisan. Meriam tersebut tidak
lagi meledakan peluru, tetapi seharusnya masih menggetarkan jiwa siapapun yang mendengarkan
kisahnya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun