Mohon tunggu...
Khoiril Basyar
Khoiril Basyar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Terus belajar untuk memberi manfaat kepada sesama

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Senja di Pelupuk Mata

14 Oktober 2015   07:06 Diperbarui: 14 Oktober 2015   10:35 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="senja di pelupuk mata"][/photo by Rijal Hamdani]

Setiap hari aku bangun, dan setiap hari pula aku rasakan perubahan. Memang benar kalau setiap hari usia kita akan bertambah. Namun tanpa aku sadari aku telah melewatkan banyak hal, kenangan, cerita, kisah dan masa masa yang tak akan terulang. Aku lahir dan besar di sebuah desa kecil, desa yang kalau aku sebut namanya banyak orang bingung tak tahu.

Namun aku tak pedulikan orang lain tahu tempat tinggalku atau tidak, yang jelas disinilah aku belajar hidup. Aku lihat bapak dan ibu sehat, dan bagiku kesehatan mereka adalah harta karun bagiku. Tiap hari aku dilayani ibu, disiapkan seragam, di cucikan, di siapkan sarapan, hingga hal hal lain yang tak kukerjakan sendiri.

Bapakku adalah pekerja keras, tiap hari beliau mengayuh sepedanya menuju tempat kerja. Rejeki memang sudah ada yang mengatur, namun kita juga ikut adil mengatur didalamnya. Kulalui hari tanpa banyak bersyukur, ini terbukti bahwa aku tak juga sadar kalau aku beranjak dewasa.

Memang sulit untuk di terima kalau waktu yang aku lalui ini begitu cepat terasa hingga kulihat raut wajah ayahku tak seperti dulu lagi. Ibuku yang tiap hari membantuku juga sekarang lebih terlihat kelelahan, apa ini salahku? Kupikir ulang siapa tahu aku ini anak yang kurang berbakti.

Kulihat di lemari, banyak sekali tumpukan seragam disini, seragam siapa ini? Kucoba sudah tak muat. Kutanya saja pada ibu, ternyata itu seragam SMP yang dulu kupakai. Tak kusangka sekarang aku sudah hampir lulus SMA, memang cepat sekali waktu ini berlalu.

Malam hari aku terbangun, dan rasanya aku ingin ke toilet. Kreeek. Suara pintu belakang yang memang sudah tua dan hanya terbuat dari kayu biasa. Kulihat pintu kamar orangtuaku terbuka, tanpa berpikir panjang aku masuk kedalam. Kupandangi bapak dan ibuku, kulihat dalam dalam dan aku sekarang sadar.

Kulihat uban menghiasi rambut bapak yang dulu hitam pekat, keriput juga tampak jelas di wajah ibu. Oh… tuhan, kenapa ini harus terjadi, aku belum siap. Aku memang anak manja yang kurang mandiri, hingga saat kupandangi orangtuaku aku tak kuasa menahan air mata. Ternyata mereka sudah memasuki usia senja, dimana aku harus mulai menjaga dan melayani mereka.

Keesokan harinya aku masih saja memikirkan hal semalam, kenyataan yang masih sulit untuk kuterima. Hari demi hari kulalui, dan pada suatu ketika aku di sapa oleh seseorang. Aku sendiri tak kenal, namun dia sepertinya hafal betul denganku. Ternyata dia teman SD-ku dulu, sekarang dia tinggal sendiri di Jogja, bapak dan ibunya sudah meninggal.

Pikirku sudah semakin kacau, pikiran yang aku rasakan ini sudah tak kurasa seperti biasanya. Mungkin karena aku selalu pikirkan orangtua temanku, bagaimana kalau aku ini tinggal sendiri seperti dia, apakah aku bisa? Pertanyaan yang sulit untuk kujawab.

Kuingat bapak dan ibuku, kupikirkan mereka sembari menyudut dan berbaur dengan ramahnya alam. Mungkin memang aku harus berubah, aku tak mau melihat bapak ibuku kesusahan. Tapi bagaimana aku bisa membahagiakan mereka? Menyusahkan sih iya. Lama aku berpikir tentang hal ini hingga tanpa aku sadari aku telah tertidur cukup lama disini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun