Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Ibu-ibu Ganjen [Detektif Kilesa]

14 Agustus 2020   14:47 Diperbarui: 14 Agustus 2020   15:41 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.istockphoto.com

KASUS IBU -- IBU GANJEN

Sudah lama aku tidak datang ke Caf History ini. Sebenarnya kasus petir konyol kemarin belum selesai, dan diskusi serta penyelidikan masih berjalan dengan pelik. Kami menemui jalan buntu. Untuk mencari udara segar, Charles menyarankanku pergi ke tempat ini. Aku setuju. Dulu tempat ini langgananku, selain karena kopi Lattenya enak, pemandangan dari tingkat duanya juga bagus.

Dan tempat ini masih sama seperti dulu. Dari tingkat dua terlihat traffic kendaraan yang lalu -- lalang di bawah sana. Tapi tidak berbau asap, karena sekeliling caf terdapat rimbunan daun pepohonan. Pagi yang tertutup awan juga membuat suasana tidak panas -- panas amat. Kondisi yang sempurna untuk mendinginkan pikiran.

Perbedaannya adalah tempat ini sedikit lebih ramai. Memang ada musik latar belakang, tapi beberapa kaum milenial bercanda tanpa menghargai lingkungan sekitar. Sambil menunggu Mexican Latteku, aku menyibukkan diri dengan membaca koran hari ini. Orang lain pasti berpikir: siapa yang baca koran di jaman seperti ini? Namun aku memang menyukai beberapa kebiasaan kuno.

Kursiku berada tepat di samping anjungan pagar. Di depanku, sudah tersusun tiga buah meja berderet. Artinya sudah dibooking untuk sebuah perkumpulan. Dugaanku benar saja. Tiga orang ibu -- ibu muncul dari bawah sambil menenteng tas dan kipas. Dari gayanya, mereka adalah sosialita kelas menengah ke atas. Make-up yang menor, busana yang elegan, parfum yang menusuk hidung, meyakinkan opiniku. Aku bahkan bisa melihat merek Chanel dan Hermes di tas mereka.

Mereka mengambil tempat di depanku. Satu orang menghadapku dari seberang, sementara dua lagi memunggungiku. Kipas segera beraksi di samping kepala. Aku tertawa dalam hati. Kota ini terkenal dengan kesejukannya, dan bahkan pagi ini cukup dingin, tetapi mereka berlagak seperti di ibukota saja. Yah, lakukanlah apa pun, selama aku tidak merasa terganggu.

Kemudian datang satu ibu -- ibu lagi. Ia mengenakan kebaya hitam modern berenda panjang, mengambil duduk di sebelah kiri. Nampaknya ia adalah yang paling senior. Ketiga sahabatnya segera menyambutnya dengan senyuman, juga sebutan ibu. Atau mungkin aku yang salah tangkap.

"Selamat pagi, Bu Hakim, bagaimana kunjungannya dari San Fransisco? Saya juga loh, minggu depan bakal pergi ke Los Angeles. Mau lihat -- lihat museum kereta api, sama suami saya. Katanya bagus. Terus dari sana mau ke Niagara, dengan yacht Ferhavitz, tentunya." ujar ibu -- ibu yang menghadapku. Orang ini adalah orang yang berdandan paling menor, dengan bulu mata lentik layaknya bintang sinetron. Aku sebut saja Bu Menor.

"Saya yakin Bu Hakim tidak mengalami jet lag usai berpergian jauh. Lihat saja, wajahnya ayu bugar, kemayu seperti bulan purnama! Saya, selaku pemimpin kosmetik Indira, iri dengan kecantikan Bu Hakim."

Orang yang disebut Bu Hakim hanya menggeleng mendengar pujian sahabat -- sahabatnya. Ia menjawab, "Tidak perlu memuji berlebihan. Kalian juga cantik. Namun yang paling penting, apakah kalian bahagia dalam hidup ini. Itu yang seharusnya menjadi tujuan kalian."

Orang ketiga, yang belum berucap apa -- apa, akhirnya berkata. Dari nada ucapannya aku yakin ia adalah orang culas dan nyinyir. Namun orang seperti ini pasti ada dalam setiap perkumpulan. "Tidak usah menjadi sok -- sok motivator, Bu Hakim. Yang paling penting di dunia ini adalah uang. Iya, uang! Makanya bisa jalan -- jalan. Ngomong -- ngomong, mana si Widuri bersaudara itu? Si Charlotte konyol itu yang merekomendasikan tempat ini, dan panasnya bukan main! Seperti di oven pinggir jalan saja!"

"Ah, itu mereka. Lihat Alphardnya baru saja parkir."

Aku juga melihat ke bawah. Sebuah alphard putih parkir, dan tiga orang ibu -- ibu bertipe sama keluar dari mobil dan masuk ke caf. Seperti yang dikatakan oleh Bu Nyinyir, tiga orang ini adalah adik kakak. Wajahnya mirip, gerak jalannya juga mirip. Namun sepertinya perbedaan umur mereka cukup kentara.

Yang paling tua terlihat sudah berkerut, namun berdandan paling tebal untuk menutupi kerutan itu. Yang tengah terlihat seperti ibu -- ibu di usia tiga puluh dan empat puluh awal, sementara yang paling muda, juga yang paling cantik menurut penilaianku di antara perkumpulan ini, masih berusia belia. Namun mereka tetap mengenakan barang berkelas.

Orang bernama Charlotte duduk memunggungiku sementara kedua saudaranya menghadapku. Ia langsung mendapat cacian dari Bu Nyinyir. "Charlotte tolol! Kau tidak lihat seberapa panasnya tempat ini? Seperti neraka, asal kau tahu!"

Charlotte, yang merupakan saudara tertua, membalas, "Kau yang tolol, Utari. Kau tidak lihat di pojokan itu, ACnya tidak menyala? Mengapa tidak kau tanyakan pada waitress? Dasar bodoh."

Charlotte menunjukan raut wajah kesal, namun segera memanggil waitress dan meminta agar AC dinyalakan. Utari, atau kusebut dengan Bu Nyinyir, masih menunjukkan muka angkuh dan mengipasi dirinya dengan kipas Jepang. Sementara itu Indira, atau kusebut dengan Bu Kosmetik, bertanya pada Bu Menor.

"Eh, apa yang kausebut tadi itu benar? Kau mau pergi ke Amerika, ke Niagara?"

Kedua saudara Widuri segera menyambut dengan wajah antusias dan ucapan terkagum -- kagum. Mereka segera mengeluarkan rekomendasi tempat kuliner dan akomodasi terbaik. Di telingaku, mereka seperti kumpulan lebah yang berdengung. Aku sekarang hanya bisa setengah fokus kepada berita koran. Well, ketika lebah berdengung, manusia mana yang bisa fokus pada diri sendiri?

Sementara itu, Bu Menor menepuk meja berulang kali untuk mendiamkan kedua saudara Widuri. Ia berkata, "Tidak perlu terlihat gembira, Rachel, Shanty, yang akan pergi ke Amerika itu aku dan suamiku, bukan kalian. Hei, bukan kalian! Jadi sekarang, lebih baik kalian ucapkan oleh -- oleh apa yang ingin dibawa dari sana, dan semoga aku berbaik hati untuk mengingatnya."

Rachel, saudara tengah, terlihat kecewa, "Ah, padahal kita baru saja pulang dari Jerman bulan kemarin, tapi kami lupa bawa oleh -- oleh untukmu, Tika. Apa kita harus pergi ke Jerman lagi, Shanty? Sepertinya seorang Kartika Sukmawidagdo ingin oleh -- oleh dari Jerman."

Perkataan berbau sarkasme ditujukan pada Kartika atau Bu Menor, tapi sepertinya ia tidak terpengaruh. Sebaliknya ia kini berpangku tangan, dan menatap jemarinya. Aku paham ini. Ia menunggu seseorang untuk memerhatikannya. Bu Hakimlah yang pertama mengomentari.

"Cincin apa itu, Tika? Dari mana kau beli?"

Indira sudah melayangkan tangannya untuk menyentuh berlian di cincin itu, tapi Tika dengan cepat mengusir tangan itu. "Cincin ruby diamond tiga. Hanya ada tiga di dunia. Hadiah dari suamiku tercinta. Oh, suamiku itu. Memang suami terbaik di dunia!"

Sementara itu Utari tidak mau kalah. "Kalau cuma tiga, itu belum ada apa -- apanya. Aku diamond sepuluh, di atas emas 23. Pasti kau tidak percaya, Tika."

Shanty seperti terpecut, "Omong kosong, Utari. No pic hoax!"

Utari membentangkan telunjuk sebagai tanda peringatan, lalu mengeluarkan dari tasnya sebuah berlian yang sangat mengilap. Kuakui aku pun sedikit silau karena berlian itu. Mungkin karena jumlah berliannya ada sepuluh, sehingga memantulkan cahaya berbeda -- beda dari sudut yang berlainan.

Seluruh anggota berdecak kagum. Widuri tertua kemudian bertanya, "Mengapa kau simpan di dalam tas? Tidak kau pakai, Utari?"

"Banyak maling di jalanan, Charlotte. Benda ini mahal sekali. Minimal sepuluh M, kata suamiku. Kau tahu sendiri, ia bekerja di properti, jadi, uang sepuluh M memang tidak banyak. Tapi kalau cincin ini hilang, pasti masuk berita. Aku tidak suka."

Sekarang Kartika yang nyinyir. Sepertinya sifatnya dengan Utari sama saja. "Dengan sifatmu yang suka perhatian dan menyinggung orang, saya terkejut, Utari. Sudah, akui saja. Kau pasti ingin masuk berita. Masuk TV. Kau memamerkan cincin itu, agar nanti kalau hilang, kami bisa berikan testimoni. Lalu klarifikasi. Bukankah begitu?"

Utari naik pitam, "Hey akui saja, ibu menor! Cincin rubymu kalah olehku sehingga kau iri setengah mati! Kau yang akui saja!"

Kartika dan Utari sudah berdiri di tempatnya masing -- masing sehingga Bu Hakim terpaksa menenangkan keduanya. Sementara itu Rachel tertawa. "Sungguh konyol, teman -- temanku ini. Bertengkar karena soal harta. Padahal sebagian besar uang mereka berasal dari harta warisan. Hahaha, sungguh konyol."

Indira menanggapi, "Betul, sama seperti harta kekayaan keluarga Widuri. Apakah Tuan Yulius masih dalam keadaan sehat walafiat? Aku mendoakan kesehatannya, terakhir kali kudengar ia sudah menggunakan kursi roda."

Berbeda dari dua orang yang mudah naik pitam, Rachel menjawab dengan dingin, "Tentu saja, Indira. Ayahku baik -- baik saja. Masih bisa berpikir secara inovatif. Malahan bulan depan kami akan meluncurkan teknologi 5G, khusus untuk semua pelanggan kami. Kalian tunggu saja."

Bu Hakim menengahi, "Sudah, sudah. Ngomong -- ngomong, kita melupakan sesuatu. Kita belum memesan. Lihat itu. Pelayan itu sudah berdiri sedari tadi, mendengarkan celotehan kita. Nah, kemari, pak. Kami mohon maaf sudah membuat Anda menunggu."

Di sebelah Bu Hakim, Kartika masih mendumel dan mengeluarkan umpatan, sementara itu aku mendengar bisik -- bisik dari Shanty bahwa ia tidak suka Bu Hakim minta maaf kepada waitress. Dia 'kan hanya pelayan, seperti itulah yang kudengar. Namun yang satu ini komplain dilakukan secara terang -- terangan.

"Banana rainbow milk? Medium grilled steak? Apa ini? Apakah ini caf pinggir jalan? Di tempatku biasanya menunya berkelas. Ada salmon, cheese, pasta, margarita, dan lain -- lain. Minumnya wine, bukan pewarna buatan. Aduh, ada -- ada saja."

Yang berkata adalah Utari, si Bu Nyinyir. Sudah kuduga. Ia memang selalu vokal. Namun setelahnya ada kata -- kata manis dari Indira.

"Saya minta gurame bakar crispy satu, ya, versi spesial. Untuk minumnya, bisa es kopyor."

Pelayan mengangguk dan tersenyum. Ada dua versi tipe memesan di perkumpulan itu. Bu Hakim, Indira, dan Rachel memesan dengan senyum ramah. Sebaliknya, Kartika, Utari, Shanty, dan Charlotte memesan dengan muka masam. Setelah pelayan pergi, tiba -- tiba Bu Hakim teringat sesuatu.

"Ya, ampun. Kita melupakan seseorang. Di mana Helena? Ya, ampun, aku baru ingat saat aku menatap kursi kosong di hadapan kita. Ya, ampun. Ya, ampun."

Rachel juga seperti merasa bersalah, "Oiya, kukira siapa yang kurang. Ternyata Helena. Aku juga lupa, duh. Sepertinya ia masih sibuk mengurusi pacarnya itu. Bolak -- balik ke polisi. Terakhir, yang aku tahu, ia pasti akan ke rehab. Maklum, artis. Hahaha."

Sedang asyik membicarakan orang yang belum hadir, tiba -- tiba seseorang berwajah cantik menghampiri meja dengan tergesa -- gesa. Saking terburu -- burunya, ia hampir menabrak meja di sebelah kiriku. Ya, sepertinya inilah Helena itu.

Wajahnya berkeringat saat meminta maaf. "Aduh, maaf, maaf, kawan -- kawan, aku terlambat. Aku baru saja menemani Johan Bansu ke polisi. Maaf, sekali lagi."

Rachel langsung tersenyum menandakan bahwa ucapannya benar. Orang bernama Helena adalah yang paling muda dari antara semuanya, menurut penilaianku, bahkan tampak lebih muda dari Shanty. Wajahnya cantik, dan auranya adalah periang. Sepertinya ia adalah seorang artis juga, karena aku pernah melihatnya sekali atau dua kali di layar tv. Ya, jika ingatanku tidak salah, tentunya.

Wangi semerbak langsung terpancar saat dirinya duduk di sisa kursi kosong, di dekat pagar. Ia setengah melirik padaku dan melamun, sebelum Indira menyadarkannya. "Anak manis, kami semua sudah memesan makanan. Lebih baik kau ikut memesan, jika tidak ingin ditinggal makan nanti."

"Oiya, sebentar."

Ia pun berdiri dan menghampiri pelayan. Sepertinya sifatnya juga baik, tidak seperti beberapa orang anggota perkumpulan itu. Aku mendesah. Sejak kapan aku jadi bermental judging seperti ini?

Mungkin aku sudah terpengaruh media sosial. Saatnya menyingkirkan aplikasi -- aplikasi terkutuk itu. Dan ngomong -- ngomong aplikasi, Shanty sudah mengeluarkan handphone yang bertaburkan berlian dan emas di casingnya. Ia sengaja mengangkat handphone sedekat mungkin ke mukanya agar kawan -- kawannya memerhatikan.

Bu Hakim berseloroh, "Aku menantikan teknologi 5G yang akan diluncurkan bulan depan oleh perusahaan Widuri Cell. Semoga bisa membantuku untuk melakukan transaksi investasi dengan lebih cepat."

Shanty tersenyum dan menggeleng, "Tidak perlu khawatir, Bu Hakim. Kami sedang membangun BTS di seluruh pulau ini. Jadi, jaringan internet dijamin aman dan cepat."

Bu Hakim dan Shanty serta Rachel masih berunding tentang aplikasi dan teknologi ketika makanan datang. Aku menemukan reaksi yang berbeda. Kartika terkesima dengan tampilan rainbow cheesecakenya, Indira mengecap es kopyornya dan terlihat puas. Bu Hakim segera menghentikan obrolannya dan menambahkan saus tomat pada nasi gorengnya.

Memang aroma sesedap itu tidak akan menahan orang untuk menunda -- nunda. Sementara itu Utari menutup hidung, sepertinya ia terlihat jijik dengan hidangan udang mentega di depannya. Rachel di hadapannya berkata.

"Jika kau jijik dengan aroma itu, aku minta maaf, Utari. Aku akan menambah kejijikanmu lagi. Orang -- orang bilang menghisap cerutu paling enak setelah makan. Tapi aku sebaliknya."

Rachel pun mengeluarkan sebuah cerutu dari tasnya dan membakarnya. Ia menghisap cerutu itu, menimbulkan asap tinggi -- tinggi. Aroma yang ditimbulkan memunculkan keresahan. Teman -- teman di sekelilingnya mulai mengibaskan tangan. Utari bahkan sudah berdiri menjauh dan mencari udara segar. Seorang waitress pun tergopoh -- gopoh menghampiri. Ia bilang merokok dilarang di caf ini. Awalnya Rachel bersikeras bahwa tidak merokok, melainkan membakar cerutu. Namun dengan saran dari Bu Hakim, Rachel mematikan cerutunya.

"Ah, seribu dollar dimatikan dengan sia -- sia." ujarnya.

Keributan sementara itu membuat orang -- orang tidak sadar bahwa sedari tadi Helena sibuk bersender di tiang pagar dan menelepon. Wajahnya terlihat cemas. Setelah bolak -- balik menyender dan mondar -- mandir, Helena menunjukkan wajah paling menyesalnya. Ia berkata bahwa ia harus segera pergi. Kata -- kata yang kutangkap ialah bahwa kekasihnya Johan membuat masalah lagi di kantor polisi sehingga ia harus menemaninya. Sesudah Helena pergi, Indira geleng -- geleng kepala.

"Sungguh kasihan sekali anak itu. Anak konglomerat perikanan, sekarang dimanfaatkan kekasihnya untuk menghabiskan harta serta perhatiannya. Sungguh kasihan sekali."

"Kau benar, Indira. Di pertemuan arisan berikutnya nanti akan kucoba untuk menyadarkannya." timpal Bu Hakim.

Sementara itu, masih memegang hidungnya, Utari perlahan -- lahan kembali menuju tempat duduknya. Kelakuannya yang seperti seorang putri membuat Kartika gemas. "Lihat itu seorang putri raja. Putri presiden. Bagaimana, nak, apakah kau berhasil mendapatkan pangeran tertampan di negeri ini? Atau justru koruptor bermuka dua?"

Utari mendelik tajam ke arah Kartika. Yang ditatap membalas. Namun Utari akhirnya menyantap makanannya. Ketika ia memandang ke kiri, kursi yang ditempati Indira kosong. "Ke mana Bu Indira?"

Bu Hakim menanggapi, "Ia sedang pergi ke toilet."

Di seberang meja Bu Hakim, aku mendapatkan Rachel sedang bersender dan menghirup sisa cerutunya. Unik sekali. Nampaknya ia tidak rela cerutunya terbuang sia -- sia. Waitress sudah memerhatikannya, namun karena Rachel mengarahkan asapnya menuju udara bebas, serta mereka tidak ingin berkonfrontasi lagi, waitress dan manager caf pun membiarkannya. Rachel menatap Shanty dan mengedip.

"Bukan, kak, bukan karena kecantikanmu, mereka membiarkanmu. Lebih tepatnya karena kau adalah wanita yang galak." Shanty memastikan.

Rachel membalas, "Ya, dan kau adalah seorang ibu -- ibu ganjen."

"Aku belum ibu -- ibu, kakakku tersayang. Lihat tanganku ini. Sudah ada cincin?"

"Belum," ujar Rachel, namun kemudian ia melepaskan cincin berlian di jari manisnya, lalu melemparnya ke bawah, ke arah jalan, "namun aku juga tidak punya cincin. Lihat. Kau mengerti apa artinya ini, bukan? Pernikahan adalah sebuah omong kosong. Laki -- laki sama saja."

Shanty hanya tertawa miris, lalu lanjut menyantap makanannya, "Seperti yang kuharapkan dari kakakku terkasih."

Charlotte kini mendongakkan kepalanya, "Laki -- laki sama saja, tapi kita kaum perempuan tidak bisa hidup tanpa mereka. Aku termasuk wanita yang beruntung. Laki -- lakiku mencintaiku dari lubuk hatinya yang terdalam, tidak karena harta dan kecantikanku. Ia mengasihi tanpa imbalan apa pun."

Shanty masih nyinyir, "Kata seorang wanita yang sudah menikah tiga kali."

Indira yang sudah kembali langsung menanggapi, "Lebih baik kalian mencontoh kehidupan pernikahan seorang Bu Hakim. Saking setia dan langgengnya, kita selalu menyebut wanita ini dengan Bu Hakim. Padahal yang hakim adalah suaminya."

Bu Hakim pun merona merah, "Tidak perlu berlebihan, Indira. Suamiku memang ahli di bidangnya. Semua staf peradilan pun mengaguminya. Tapi yang paling penting, aku mendukung pekerjaan dan karir suamiku. Ia juga berhati lembut."

"Sudah, Bu Hakim, tidak perlu memuji Brotoseno dengan berlebihan. Nanti Charlotte di sini akan merasa tersaingi."

Bu Hakim tersenyum kecil, "Ah, iya, aku minta maaf."

Sementara itu, sekonyong -- konyong Charlotte berdiri dan berjalan menuju pagar. Teman -- temannya tidak bisa melihatnya, namun aku memerhatikan ia mengusap setitik air mata di wajahnya. Bu Hakim memahami itu dan meminta maaf, tetapi hal itu tidak berlangsung lama. Charlotte adalah wanita tegar. Sebelum duduk kembali, aku memerhatikan bahwa ia sempat ingin mencoba cerutu dari Rachel, namun tidak jadi. Bu Hakim merasa amat bersalah, sehingga ia membuka mulut.

"Aku meminta maaf lagi, Charlotte. Aku akui, aku amat beruntung bisa bertemu dengan Brotoseno. Tapi menurutku, Ahmad pun tidak kalah. Ia adalah direktur utama di Widuri Cell, bukankah begitu?"

Shanty dengan cepat mengangguk setuju. Wajahnya ceria. "Ahmad, kakak iparku, adalah orang yang kukagumi. Ia adalah prince charmingku, hehehe."

Rachel langsung menghardik dengan kata hus, namun Charlotte tertawa lepas. Sebenarnya tindakan Shanty menaikkan kembali mood di meja itu. Namun mood itu kembali turun. Seseorang di tengah meja memuntahkan isi mulutnya ke atas piring.

"Wek! Udang goreng mentega apanya? Masih mentah di dalam. Wek! Aku menyerah. Aku tidak tahan lagi."

Utari menyingkirkan piringnya dan segera berdiri dan mencari udara segar. Para waitress di kejauhan terlihat cemas dengan kelakuan Utari, dan Bu Hakim memerhatikannya dengan cemas pula. Nampaknya ia sudah lelah dengan keributan yang terjadi berulang kali. Akhirnya ia tersenyum dan berkata pada teman -- temannya.

"Kawan -- kawan, aku sudah berjanji untuk mengajak kalian touring kebun rayaku. Well, aku rasa hari inilah saatnya! Bagaimana kalau kita pergi sekarang? Masih ada waktu, bukan, sebelum kita pergi menyaksikan theatre terbatas sore nanti? Aku lihat kita pun sudah selesai bersantap siang."

Indira langsung menyetujui, "Usul yang bagus, Bu Hakim! Sudah lama aku ingin melihat kebun cengkehmu yang berbukit -- bukit itu. Ayo, teman -- teman, lebih baik kita pergi sekarang, mumpung masih ada waktu."

Widuri bersaudara saling bertatapan dan akhirnya saling mengangguk dan menyetujui. Kartika pun setuju, bahkan ia terlihat sumringah. Yang terakhir, walau dipenuhi kekesalan dan penyesalan, Utari juga setuju. Akhirnya, setelah menyelesaikan bill, semuanya beranjak meninggalkan tempat duduknya.

Aku membuang napas panjang. Menyaksikan orang -- orang ini, sudah seperti menyaksikan drama orang kaya di televisi. Sebenarnya ini adalah sebuah pengalaman baru bagiku, dan menyenangkan. Ah tunggu, masih ada yang harus kulakukan.

Aku beranjak dan menghampiri seseorang yang masih tinggal di kursi. Bu Hakim masih grasa -- grusu dengan tas tentengnya ketika aku tiba. Ia mendongak dan menatapku, wajahnya keheranan.

"Ya, ada apa, pak? Ada yang bisa saya bantu?"

Aku menggeleng, "Ah, bukan apa -- apa, Bu Hakim. Saya hanya seorang asing yang memerhatikan dari meja seberang."

Bu Hakim segera memotong, "Oh, kalau maksud bapak, bapak merasa terganggu atas tindakan teman -- teman saya, saya minta maaf..."

"Bukan, bu, saya sama sekali tidak merasa terganggu. Hanya saja, ada yang perlu saya sampaikan. Saya memerhatikan dengan seksama tindakan dari kolega -- kolega ibu, dan ada seseorang yang bertindak di luar batas."

"Sekali lagi, saya mohon maaf, kalau bapak merasa terganggu. Saya atas nama Brotoseno meminta maaf."

"Bertindak di luar batas, maksud saya di sini adalah sebuah tindak kriminal, Bu Hakim."

Bu Hakim tercekat mendengar ucapanku, dan tatapan matanya berubah dari yang sebelumnya. Aku melanjutkan, "Salah seorang kolega ibu, yang berposisi di kursi ini, sudah melakukan kejahatan. Ia sudah mencuri..."

Kali ini Bu Hakim yang menghentikan ucapanku dengan memegang tanganku. Ia berdiri, lalu tersenyum. Ucapannya berikutnya membuatku terkejut.

"Aku sudah paham dengan apa yang terjadi, pak. Aku tahu dan melihat semuanya. Oleh karena itulah aku menggiring mereka ke rumahku. Suamiku akan mengurus orang ini dengan caranya sendiri. Tenang saja, kujamin masalah ini akan terselesaikan dengan baik. Suamiku sendiri adalah pihak yang berwenang."

Ah! Aku pun memasang senyum, "Oh, baiklah, kalau begitu. Masalah sudah selesai, saya harap?"

"Tentu saja, tuan...?"

"Namaku adalah Kilesa."

"Aku Amelia. Salam kenal, pak, dan selamat tinggal."

***

***

Kasus lain dapat disaksikan di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun