Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Singa Duduk

30 Juni 2020   10:13 Diperbarui: 30 Juni 2020   10:28 158
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KASUS SINGA DUDUK

Pukul 08.39.

"Tidak bisakah kau hentikan kunyahan kripikmu itu, Charles?"

"Kau sendiri tahu bahwa kau takkan bisa. Setinggi apa pun pangkatmu, walau sersan atau kapten tidak akan bisa membuatku berhenti mengunyah kripik ini. Bahkan kapten Jono sekalipun."

Aku mengeluarkan handphone dari dalam sakuku, dan layarnya sedang merekam pembicaraan. Charles menyerah. "Oke, oke, aku hanya bluffing saja. Bluffing. Mengerti, Kilesa? Tidak perlu merekam. Tekan tombol stop sekarang juga."

Aku tertawa cekikikan. "Baiklah." Kami lalu berbelok di pojokan dan terus melangkah dengan cepat. "Tolong briefing kasus ini, sekali lagi dengan cepat."

Charles sedikit tersedak, namun cepat menjawab. "Korban bernama Sapto Suryono. Ditemukan tewas di Apartemen Grand Cengkareng. Lantai 5, no 505. Waktu kematian diperkirakan antara pukul enam dan tujuh WIB."

"Tewas karena?"

"Sejauh ini update dari tim forensik adalah karena hantaman di kepalanya. Namun karena korban baru saja ditemukan satu jam yang lalu, mereka masih melakukan pemeriksaan. Oh, tunggu dulu. Mahmud dari forensik baru saja menambahkan keterangan. Ditembak. Ya, ditembak, Kilesa. Ini pembunuhan. Ditembak di kepala."

Aku sedikit bergetar mendengar kata pembunuhan dan ditembak. Memang aku sudah sering menangani kasus pembunuhan, namun sedikit sekali kasus berhubungan dengan pistol. Sebabnya, di negara ini benda bersenjata dilarang dan harus memiliki ijin untuk memilikinya. Kebanyakan kasus pembunuhan adalah akibat hantaman benda tumpul atau tajam.

"Siapa saja yang berada di apartemen?"

Charles meringis. "Oh, tolonglah, Kilesa. Baru sejam yang lalu. Tidak ada keterangan tentang itu. Lagipula, bukankah itu tujuan kita sebagai detektif? Mencari alibi para pelaku?"

Aku menggeleng, "Tujuan kita memecahkan kasus, sobat, menangkap pelaku. Bukan mencari alibi."

Charles menaikkan bahu. Tanpa sadar, kami telah tiba di depan pintu masuk Grand Cengkareng. Dengan menunjukkan tanda pengenal polisi, staff dan security tidak mengenakan prosedur pemeriksaan dan langsung membawa kami menuju lift. Di samping lift beberapa staff apartemen sudah berkumpul dan berbisik -- bisik. Ya, itulah yang terjadi di TKP manapun. Berikan waktu sejam lagi dan seluruh apartemen akan menjadi heboh. Semoga manajer hotel sudah memerintahkan anak buahnya untuk tidak melakukan penyebaran berita.

Kami keluar dari lift dan berbelok di pojokan sesuai dengan tuntunan security. Dari kejauhan pintu no 505 sudah dalam posisi terbuka. Ada ribut -- ribut dan bunyi klik kamera, menandakan tim forensik masih bekerja. Pada akhirnya kami berada di ambang pintu.

Pemandangan pertama yang kulihat adalah seorang bapak -- bapak berumur sekitar lima puluhan, botak, mulut menganga, terjerembab dengan posisi tengkurap di depan meja rias berkaca. Karpet krem di bawahnya basah oleh merah darah. Di kepalanya terdapat sebuah lubang sebagai sumber dari merah darah tersebut. Aku tidak mengerti mengapa tim forensik membutuhkan waktu untuk menentukan apa yang membuat orang ini kehilangan nyawa, sementara lubang kematian tercetak dengan sangat jelas.

Mahmud menghampiri kami. Tangan kirinya memegang catatan, dan tangan kanannya memegang kamera mungil.

"Korban bernama Sapto Suryono. Ditembak di kepala. Waktu kematian kira -- kira pukul 06. 00 -- 07.00. Ya, kau bisa melihatnya dari darah yang masih hangat. Masih segar, kawanku, detektif yang hebat."

Aku menggeleng, "Tidak semestinya seorang tim forensik memiliki opini pribadi. Mereka seharusnya bertindak objektif."

"Dan seorang idealis. Baiklah. Bahkan aku bisa menebak. Kau lihat kaca di meja rias itu. Retak akibat peluru tajam. Peluru itu menembus kepalanya dan menghantam kaca. Namun kau lihat itu dengan lebih seksama. Ada yang aneh?"

Charles langsung beranjak menuju kaca rias dan meneliti retakan. Ia mengeluarkan kamera, bahkan alat ukur untuk meneliti diameter retakan yang terjadi. Ia berkata.

"Peluru yang menghantam kaca ini sangat spesial. Tidak dibuat di negara ini. Bisa jadi buatan Rusia atau Amerika. Kau tentu sudah mengamankan peluru yang menembus kaca ini?"

Mahmud mengangguk. "Aku sudah menyimpannya, Charles."

"Bisakah aku melihatnya? Peluru ini bukan peluru biasa."

"Bisa saja, tapi... sebenarnya bukan itulah yang menjadi letak keanehan kasus ini." ujarnya sambil menatap diriku, mengharapkan sebuah penjelasan. Sementara itu aku sedang berjongkok dan memeriksa tubuh Sapto Suryono. Dalam keadaannya yang terjerembab, ia mengenakan setelan jas hitam, lengkap dengan dasi dan sepatu. Aku kemudian berdiri dan mendapatkan bahwa kedua kolegaku sedang menatapku.

"Apa?" ujarku masih tidak mengerti.

"Apa keanehan dalam kasus ini, Kilesa?" tanya Mahmud.

"Tidak ada yang aneh. Seorang pebisnis nampaknya menemui ajal saat sedang berpakaian di pagi hari. Nampaknya ia baru saja akan pergi."

Charles tidak sabaran. "Tentang peluru itu, Kilesa. Lihatlah. Mahmud menantangku. Katanya ada yang aneh dari retakan itu."

"Oh, itu. Ya, tentang itu..."

Aku melangkah mendekat meja rias. "Perhatikan ini, Charles. Kau terlalu sibuk dengan retakan. Lihat meja rias ini. Ada botol pelembab, botol eyeshadow, masker wajah, juga pensil alis dan sebangsanya. Kau lihat orang itu. Adakah yang aneh?"

Charles tersenyum dan tertawa layaknya orang bodoh. "Tentu saja. Bukan dirinyalah pemilik meja rias itu. Yang biasa berdandan adalah seorang wanita. Tidak ada yang aneh, Kilesa. Ia hidup bersama dengan istri atau kekasihnya."

Aku melihat ranjang double bed yang masih berantakan, dan sekali lagi Charles tersenyum saat aku menaikkan bahu. "Ya, ranjang itu berantakan hanya di satu sisi. Itu artinya bapak ini hidup sendirian. Atau bisa saja ia tidur di kursi itu semalam tadi, sementara istrinya tidur di ranjang. Atau bisa saja ia baru pulang pagi tadi. Ada banyak kemungkinan, kawanku. Lagipula, di mana istrinya sekarang?"

Aku menatap salah seorang staff apartemen yang sedang menjinjing dokumen. Nampaknya Mahmud yang memintanya untuk bersiap -- siap jika aku membutuhkan. Di dalam hati aku tertawa, ia sudah paham kebiasaanku.

"Kamar apartemen ini atas nama siapa?"

Staff itu dengan sigap membuka dokumen dan menjawab. "Atas nama Lilis Kurniawati."

Aku tersenyum, "Nampaknya nama seorang wanita."

Charles mendesah, "Lalu untuk apa orang bernama Sapto Suryono ini berada di ruangan ini? Ah, menyusahkan saja."

Aku masih bertanya kepada staff hotel, "Ada data diri dan no telp yang bisa dihubungi tentang pemilik kamar?"

"Ada, pak."

Aku lalu menatap Charles seakan memberitahunya akan tugasnya. Ia memberengut pada awalnya, namun akhirnya menyanggupi. Ia membawa keluar staff hotel dan dokumen pemilik ruangan tersebut. Sementara itu di dalam ruangan, aku masih meneliti kasus bersama Mahmud dan tim forensik lainnya.

"Dugaanku adalah Lilis dan Sapto merupakan rekan bisnis, dan Sapto menjemputnya pagi ini untuk menuju sebuah pertemuan bisnis. Sapto sedang berkaca saat Lilis kemudian mengeluarkan senjata, lalu menembaknya dari belakang. Ketidakberadaan Lilis sekarang menguatkan pendapatku."

"Ya, aku pun berpikir seperti itu, Kilesa. Semua ini mengarah pada Lilis. Kita tinggal mengejarnya." ujar Mahmud menguatkan.

Aku berjalan -- jalan mengelilingi ruangan, mencoba berpikir.

"Bagaimana Sapto ditemukan? Dan tentu kau mengetahui identitasnya dari dompet, bukan?"

Mahmud mengangguk, "Benar. Ini dompetnya. Dan ia ditemukan oleh orang lewat. Benar. Percayalah padaku. Kamar no 505 ini terbuka begitu saja. Untungnya yang lewat adalah seorang staff kebersihan. Ia langsung menutup pintu dan menghubungi sekuriti. Jika yang menemukan adalah penghuni apartemen, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Pasti ada keributan."

Pintu ruangan terbuka begitu saja? Hmm, hal ini aneh. Apakah pembunuhnya ingin perbuatannya diketahui? Apakah pembunuhan ini direncanakan?

"Mahmud, tolong beritahu aku dari jejak residu ini. Pelakunya menggunakan peredam di depan pistol, bukan?"

Mahmud mengangguk, "Kau benar. Hampir -- hampir tidak ada residu. Maka sang pelaku 99% menggunakan peredam di depan pistolnya."

Artinya pembunuhan ini direncanakan, karena pelakunya menyiapkan peredam suara. Agar tidak ada keributan yang terjadi. Lalu untuk apa ia sengaja membiarkan pintu terbuka? Hal ini beresiko, jika ada orang di depan hall ia akan langsung tertangkap.

Hanya ada satu kesimpulan dari keterangan ini. Mayat Sapto harus dengan cepat ditemukan oleh yang lain. Artinya semakin lama mayat ini berdekam di kamar ini, adalah sebuah kerugian baginya.

"Apakah apartemen memiliki rekaman siapa saja yang memasuki kamar ini pada sekitar pukul 07.00?"

Mahmud meminta seseorang di sampingnya membawakan dokumen data. Orang ini langsung berbicara. "Aku baru saja kembali dari ruangan cctv di lantai satu dan memeriksa rekaman pada pukul 07.00 ke atas. Tidak ada yang memasuki ruangan ini."

Aku mengangguk, "Bagaimana dengan pukul 07.00 ke bawah?"

"Ada tiga orang yang keluar masuk. Semuanya di antara pukul 06.00 dan pukul 07.00. Salah satunya adalah petugas kebersihan yang memberitahu kita tentang pembunuhan ini. Dua lainnya adalah seorang anak muda berpakaian kasual, dan seorang wanita tua berusia lebih dari lima puluh tahun. Jika melihat penampilan keduanya, tidak ada yang mencurigakan."

Mahmud tertawa, "Sudah berapa lama kau menjadi petugas polisi, Samsul?"

"Tiga tahun, kapten."

"Itu cukup untuk memberitahu bahwa seekor domba pun bisa menyimpan pistol dibalik bulu tebalnya. Hahaha." ujar Mahmud sambil menepuk punggung Samsul.

Namun aku merasa ada yang tidak beres. Di mana Lilis?

"Samsul, apakah kau mengecek di bawah pukul enam?"

"Tentu saja, officer. Sampai pukul lima pagi tidak ada yang keluar masuk."

Sebuah hentakan diterima Samsul di belakang kepalanya. Mahmud yang memukul. Aku segera bertanya apakah aku harus pergi ke bawah untuk memeriksa cctv. Untungnya Samsul menyimpan rekamannya di handphonenya. Data itu tersedia hingga 24 jam hari kemarin. Aku pun memeriksa rekaman itu.

Dan terjadilah. Pada pukul 04.33, kami semua menyaksikan seorang wanita setengah baya dan berambut panjang keluar dari ruangan tergesa -- gesa, hanya dengan mengenakan seutas pakaian daster.

***

"Benarkah Sapto benar -- benar meninggal pada pukul 07.00"

"Tidak bisa kupastikan, Kilesa. Dari data kasar forensik, waktu kematian hanya bisa bergeser satu jam dari pukul 07.00."

Semuanya ini semakin membingungkan. Mengapa Lilis berlari meninggalkan kamarnya dengan tergesa -- gesa, di jam empat pagi? Jika katakan tim forensik melakukan kesalahan dan Sapto sudah tewas pada waktu itu, lalu apa penjelasan yang memungkinkan bagi kedua orang yang keluar masuk pada rentang pukul enam dan pukul tujuh pagi?

Semuanya ini akan menjadi mudah jika kita tahu identitas kedua orang ini. Sementara itu aku perlu mengusut keterangan petugas kebersihan yang menemukan mayat. Samsul sedang mendapatkan orang ini, ketika Charles kembali masuk dengan wajah gembira.

"Aku berhasil menghubungi Lilis. Ia terkejut akan kematian Sapto. Katanya ia sedang berada di Bintaro, dan sedang berangkat ke tempat ini sekarang."

Aku dan Mahmud berpandang -- pandangan. Pembunuh macam apa yang dengan berani kembali menuju TKP kembali? Apakah ini sebuah permainan psikologis dari Lilis? Belum sempat kami berbincang, Samsul sudah kembali dan membawa petugas kebersihan. Orang ini bertubuh sangat kecil, bahkan hampir setara dengan anak sekolahan, dan malu -- malu ketika ditanya.

"Siapa namamu?"

"Roni, pak."

"Bagaimana keadaan Sapto ketika kau menemukan dirinya?"

"Tepat, tepat, pak, seperti yang bapak -- bapak lihat sekarang. Tidak ada, tidak ada yang berubah. Semuanya sama."

"Dan kau memasuki kamar ini tepat pada pukul 07.00 pagi?"

"Iya, pak. Aku memiliki jadwal untuk membersihkan, untuk mengepel kamar di lantai ini pada jam 7 pagi. Seharusnya aku mulai dari kamar 501, tapi melihat pintu kamar ini terbuka, aku memeriksa kamar ini terlebih dahulu. Dan ternyata..."

Aku memotong ucapannya karena ia sudah akan memelas, "Apakah kau mengenal orang ini?"

Roni menggeleng. "Tidak, pak."

"Apakah kau mengenal orang -- orang ini?" ujarku sambil menunjukkan rekaman cctv, yang disambut juga dengan gelengan kepala oleh Roni. Pada akhirnya ia pun dipersilakan pergi, namun Samsul mengancamnya untuk tidak berpergian jauh -- jauh, jika ia dibutuhkan kembali. Aku berpandang -- pandangan dengan Mahmud dan Charles.

"Nampaknya kita hanya bisa mengharapkan keterangan Lilis. Ia akan datang ke tempat ini bukan?"

"Betul." kata Charles.

Aku menaikkan bahu tanda pasrah. Sambil menunggu, aku berkeliling TKP. Ruangan apartemen itu sebenarnya seperti ruangan apartemen pada umumnya. Berbagai pajangan dan rak buku berada di setiap sisi ruangan. Di tengah -- tengah ada meja makan bundar, di belakang sofa yang mengarah pada tv. Di sisi timur terdapat jendela besar yang mengarah pada teras apartemen. Jendela ini sekarang tertutup sebagian oleh gorden. Sementara itu double bed berada di dalam kamar yang terpisah, namun kamar ini tepat berada di samping pintu masuk ruangan apartemen. Pada saat aku dan kolegaku masuk ke ruangan tadi, kami langsung masuk ke kamar tidur, dan mendapatkan Sapto sudah tidak bernyawa di depan meja rias.

Di salah satu sisi dinding terdapat sebuah lukisan naga yang menarik perhatianku. Naga itu sedang terbang, dikelilingi oleh pohon dan awan, juga aksara Cina. Di bawah lukisan ada patung keramik singa duduk. Seperti lambang negara Singapura. Aku lupa namanya. Merlion? Hanya saja jumlahnya dua macam, di kiri dan kanan lukisan.

Aku berjalan menuju lukisan itu. Di kiri dan kanan, anggota tim forensik masih melakukan tugas penyidikan, dengan kuas dan plastik sampel berada di genggaman. Tanpa disadari aku sudah berada di depan patung, dan tanganku bertumpu pada kepala singa. Lagi -- lagi, tanpa kuduga, aku berhasil menarik kepala singa tersebut. Semua terkejut. Ternyata kepala singa itu bisa terpisah. Di dalamnya, kami mendapatkan sejumput bubuk yang familiar bagi kepolisian. Aku memandang kedua rekanku sambil tersenyum.

"Akar semua kejahatan adalah heroine."

***

Wanita bernama Lilis Kurniawati datang ketika tim forensik berhasil mengamankan seluruh bubuk heroine yang berada di dalam patung singa duduk. Mirip seperti rekaman cctv, ia adalah seorang wanita paruh baya berambut panjang dan berwajah cantik. Hanya saja, ia tak lagi mengenakan dasternya. Sekarang ia mengenakan pakaian kasual.

Ia terlihat cemas ketika datang. Charles menghentikan gerakannya yang terlihat tergesa -- gesa ketika memasuki kamar dan menenangkannya. Pada akhirnya, kami semua duduk mengelilinginya di meja makan ruang tengah.

Aku sudah terbiasa melakukan interogasi. Aku sudah terbiasa melihat orang berbohong. Maka ketika Lilis terkejut saat kami mengatakan Sapto telah tewas di depan meja rias, aku untuk sementara menyimpulkan bahwa ia mengatakan kebenaran. Namun berikutnya justru kami yang terkejut, karena keterkejutan Lilis berdasar pada bahwa ada orang yang tewas di kamar pribadinya, bukan karena ia mengenal Sapto.

"Aku tidak mengenal orang ini. Siapa dia? Bagaimana ia bisa berada di kamarku?" ujarnya ketika mengecek mayat Sapto. Dan percayalah, sekali lagi aku bisa menerka kebohongan orang, dan Lilis tidak berbohong.

Lalu aku menunjukkan rekaman cctv di pukul 04.33 di mana Lilis keluar kamar dengan tergesa -- gesa. Ia menjawab, "Ayahku tiba -- tiba kolaps di kamar mandi di rumahnya, di Bintaro. Ia hidup berdua saja dengan ibuku. Maka aku langsung cepat -- cepat pergi ke sana."

Aku mendesah saat ia menunjukkan bukti telepon dari ibunya di pukul empat pagi. Jadi Lilis kemungkinan besar tidak ada sangkut pautnya dengan kasus ini. Hanya satu lagi yang mendesak.

"Sabu -- sabu? Di dalam patung singa?" Ia keheranan. Sejujurnya kami tahu bahwa itu adalah serbuk heroin. Aku mengubah perkataan menjadi sabu -- sabu, karena jika ia berbohong, akan tampak dari wajah dan sikapnya.

"Bagaimana mungkin? Patung singa ini memang bisa dilepas kepalanya. Tapi, sungguh, pak polisi, sungguh, aku tidak tahu apa -- apa." Mahmud menatap kepadaku, dan sekali lagi aku mendesah karena ia mengatakan kejujuran berdasarkan penilaianku.

Pada akhirnya aku meminta Charles untuk membawanya menuju kantor polisi untuk keterangan lebih lanjut dan pengisian berita acara. Keterangan Lilis sama sekali tidak membantu. Tiba -- tiba sebuah benang merah terpikirkan di kepalaku. Sebelum Lilis dan Charles meninggalkan ruangan, aku bertanya pada Lilis.

"Bu Lilis, bagaimana keadaan ayahmu?"

Lilis sedikit melamun sebelum menjawab, "Ya, pak polisi. Ayahku baik -- baik saja. Tidak perlu dibawa ke rumah sakit. Ia bahkan berpesan kepadaku hati -- hati ketika aku pamit karena dipanggil polisi. Tentu aku tidak mengatakan adanya orang tewas di kamarku kepadanya. Aku takut ia pingsan kembali."

Lilis pun meninggalkan ruangan. Mahmud berpandang -- pandangan denganku. Ia langsung paham.

"Apakah maksudmu..."

"Ya, tepat seperti dugaanmu, Mahmud. Kamar ini telah dipakai untuk transaksi obat -- obatan terlarang. Transaksi heroine. Sapto adalah bandarnya. Dua orang yang keluar masuk di cctv, seorang pemuda dan ibu tua, adalah kliennya."

Aku melanjutkan. "Kemungkinan besar Lilis sama sekali tidak ada sangkut pautnya. Ia tidak tahu apa -- apa. Mungkin ayah ibunya ada sangkut paut. Mereka yang menyingkirkan Lilis dari kamar ini. Mungkin juga akses Sapto ke kamar ini diperoleh dari ayah dan ibu Lilis."

"Jadi kita perlu memasukkan ayah dan ibunya ke daftar tersangka?"

"Bisa saja. Kita harus menyelidiki identitas mereka."

Aku melanjutkan, "Yang jelas, transaksi itu berlangsung salah, dan pengedarnya, Sapto harus menemui ajal. Melihat rekaman cctv, transaksi itu tidak menemui kata sepakat di orang kedua."

"Jadi kita harus menemukan ibu paruh baya ini?"

Aku mengangguk, "Benar. Cocokkan dengan data kepolisian. Akan makan waktu, namun tidak ada cara lain. Juga pemuda sebelum ibu ini perlu ditemukan. Keterangannya diperlukan, lagipula ia bertransaksi narkoba."

Kami berdua pun beranjak. Mahmud segera meninggalkan ruangan dan menuju kantor kepolisian, membuat hanya ada dua anggota forensik lagi di ruangan itu. Sebelum meninggalkan ruangan, aku berjalan menuju kamar terjadinya TKP. Mayat Sapto telah tiada, sebagai gantinya ada penanda di lantai.

Aku memerhatikan posisi mayatnya. Ia jatuh tertelungkup, artinya ia ditembak dari belakang ketika menghadap meja rias ini. Untuk apa? Untuk apa ia menghadap kaca rias ketika bertransaksi obat -- obatan terlarang? Lagipula jika ia menghadap cermin akan terlihat bahwa ada seseorang yang akan menembak di belakangnya...

Mataku membesar. Aku terhenyak. Tidak, transaksi itu tidak berlangsung salah pada transaksi kedua. Transaksi itu berlangsung salah pada...

Transaksi ketiga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun