Mohon tunggu...
Theo Gerald
Theo Gerald Mohon Tunggu... Duta Besar - Mahasiswa

Mahasiswa Hubungan Internasional Universitas Brawijaya

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Kampus Merdeka, Gerakan Revolusioner yang Penuh Pro dan Kontra

18 Februari 2020   09:05 Diperbarui: 18 Februari 2020   10:17 2769
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengutip Wakil Direktur Center for Strategic and International Studies Brian Harding, Nadiem Makarim membawa semangat anak muda dan kemampuannya di bidang kewirausahaan ke dalam kabinet Jokowi. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso

“Merdeka belajar adalah kemerdekaan berpikir. Dan terutama esensi kemerdekaan berpikir ini harus ada di guru dulu. Tanpa terjadi di guru, tidak mungkin bisa terjadi di murid” kata yang dikeluarkan oleh Nadiem Anwar Makariem dalam Diskusi Standard Nasional Pendidikan, di Hotel Century Park, Jakarta Pusat pada Jumat, 13 Desember 2019[1]. 

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia terus mengeluarkan terobosan - terobosan di dalam dunia pendidikan Indonesia. Menteri Pendidikan dan kebudayaan Indonesia, Nadiem Anwar Makarim mengeluarkan program 'merdeka belajar'. 

Dalam program tersebut, beberapa sistem pendidikan di tingkat SD dan SMP diubah. Program itu meliputi ujian sekolah berstandar nasional (USBN), ujian nasional (UN), rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP), dan peraturan penerimaan peserta didik baru (PPDB) zonasi[2].  Tak berhenti disitu, mantan bos Gojek tersebut kembali mengeluarkan program yang dinamakan “Kampus Merdeka”. 

Kampus Merdeka merupakan episode II dari kebijakan Merdeka Belajar yang diinisiasi oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia. Nadiem Makarim berusaha mengubah sistem – sistem pendidikan yang ada di Indonesia khususnya di tingkat universitas karena dianggap stagnan. Kebijakan baru yang akan diterapkan antara lain pertama, mempermudah pembuatan program studi baru. 

Nadiem Makarim melihat masalah yang terjadi di perguruan tinggi adalah rumitnya sistem birokrasi dalam pembuatan prodi baru sedangkan dunia terus berkembang secara pesat, yang memunculkan berbagai bidang baru. Indonesia akan kesulitan untuk mengikuti perkembangan tersebut karena untuk membuka jurusan di bidang yang baru saja membutuhkan waktu dan tahap yang amat rumit dan lama. 

Kedua, Akreditasi bersifat otomasi dan sukarela. Waktu yang dibutuhkan untuk menyetujui akreditasi memperlukan waktu yang lama, atau bahkan sampai bertahun – tahun. leh karena itu, Nadiem memutuskan, bagi yang sudah mendapat akreditasi A secara nasional, tidak perlu lagi di akreditasi, sedangkan untuk kampus yang berakreditasi B dan C, dapat mengajukan peningkatan secara suka rela kalau mereka sudah siap untuk itu. Sehingga kampus yang sudah berakreditasi A, dapat fokus untuk mendapatkan akreditasi yang lebih tinggi, yaitu akreditasi Internasional[3]. 

Ketiga, kemudahan menjadi PTN-BH. PTN-BH dianggap mandiri secara finansial dan pengelolaan kurikulum pendidikan di kampusnya. Kelebihan lain dari PTN-BH yaitu PTN-BH dianggap dapat mendorong universitas untuk menjadi lebih kreatif dan inovatif untuk menerapkan strategi dan kurikulum pembelajaran sehingga dapat mendorong mahasiswanya menjadi lebih baik lagi. Keempat, mahasiswa dapat megambil dua semester lintas prodi dan magang. 

Hal tersebut disampaikan oleh Pak Menteri bahwa mahasiswa akan diberi pilihan dan bukan bersifat wajib. Pilihan tersebut yaitu mahasiswa dapat menggunakan waktu dua semester tersebut atau senilai 40 SKS untuk dipakai magang atau mengambil semester lintas prodi. Hal tersebut bertujuan agar mahasiswa memiliki pengetahuan di berbagai bidang serta dapat mengaplikasikan pengetahuan yang mereka dapatkan selama masa perkuliahan kepada masyarakat, bukan sekedar teoritis saja.

Program Kampus Merdeka Tidak Seindah Yang Dibayangkan

Seperti peribahasa “Tak Ada Gading Yang Tak Retak”, program Kampus Merdeka ini pun mendapatkan respon yang berbeda dari masyarakat, baik respon negatif maupun positif. 

Banyak akademisi – akdemisi yang menyoroti pernyataan Pak Menteri yaitu kemudahan kampus – kampus menjadi PTN-BH karena dianggap lebih mandiri secara finansial dan kreatif serta inovatif dalam mengelola kurikulum pendidikannya. Tetapi pernyataan tersebut dinilai bahwa kebijakan Kampus Merdeka tersebut tidak peka dengan masyarakat golongan bawah. 

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) Ubaid Matraji mengatakan kebijakan Nadiem sangat berorientasi pasar bebas. Ubaid mengatakan PTN BH itu sendiri adalah bentuk komersialisasi pendidikan tinggi yang "mengeksklusi anak-anak dari kalangan tidak mampu." 

Mempermudah kampus berbadan hukum dianggap sama saja memperluas praktik komersialisasi pendidikan.[4] PTN-BH dianggap akan membuat pemerintah mencabut subsidi nya sehingga kampus – kampus harus mencari biaya operasional nya sendiri. Hal yang paling mudah untuk melakukan hal tersebut adalah dengan menaikan biaya kuliah. 

Pada akhirnya, biaya kuliah yang tinggi akan membuat masyarakat golongan bawah sulit untuk melanjutkan pendidikannya. Selanjutnya, pernyataan Pak Menteri yang menyatakan bahwa mahasiswa dapat megambil dua semester untuk  lintas prodi dan magang juga mendapatkan kekhawatiran dan kritik dari masyarakat. 

Dengan diperbolehkannya mahasiswa untuk mengambil waktu dua semesternya tersebut untuk magang akan membuka jalan bagi perusahaan – perusahaan yang ingin menyalahgunakan program tersebut dengan mengambil tenaga kerja yang murah. Akan terjadi eksploitasi tenaga kerja terhadap mahasiswa sehingga mengancam masa depan mereka serta masa depan Bangsa Indonesia karena mahasiswa adalah masa depan Indonesia. 

Program Kampus Merdeka juga dianggap terlalu memakai perspektif industri dan sangat kental dengan pasar yang menginginkan mahasiswa untuk mengimplementasikan ilmu yang mereka dapatkan semasa perkuliahan ke masyarakat dengan cepat. Hal tersebut bertentangan dengan fungsi pendidikan tinggi yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan. Untuk mahasiswa agar memiliki skill atau kemampuan industri memang penting tetapi Tri Dharma perguruan tinggi harus didahulukan. Jika terlalu bergantung pada perspektif industrial maka perguruan tinggi dapat menjadi agen kapitalisme.

Banyak pihak yang menilai Program Kampus Merdeka tidak dapat diterapkan ke seluruh kampus di Indonesia karena adanya ketimpangan antar kampus baik dibidang fasilitas, teknologi, ekonomi, maupun ilmu pengetahuan. Hal tersebut dinilai akan mempengaruhi program Kampus Merdeka menjadi tidak maksimal. Faktor – faktor yang ada tersebut disayangkan oleh masyarakat, kalangan akademisi dan mahasiswa khususnya karena tidak disingung oleh Nadiem Makarim. 

Program Kampus Merdeka harus ditinjau dengan hati – hati dan cermat karena apa yang menjadi visi dan misi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim adalah hal yang baik dan dapat menjadi gerakan revolusioner bagi pendidikan Indonesia jika dijalankan dengan baik dan penuh perhatian. Tetapi jika program tersebut dijalankan terburu – buru tanpa memperhitungkan aspek yang ada, maka program yang tadinya penuh dengan optimisme dan harapan akan menjadi mimpi buruk bagi negara Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun