Mohon tunggu...
Theodorus Hutabarat
Theodorus Hutabarat Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, menuntun saya ke tempat ini

Mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi negeri dengan program studi Administrasi Publik. Memiliki ketertarikan pada dunia politik, pemerintahan, kebijakan publik, dan pop culture.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Masih Relevankah Pemilihan Umum?

16 Desember 2018   19:05 Diperbarui: 16 Desember 2018   19:18 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

MEMILIH PRESIDEN MELALUI MUSYAWARAH

Setiap Paslon Presiden-Wakil Presiden selalu menyatakan bahwa, majunya mereka di dalam Pilpres adalah kehendak rakyat atau dorongan dari masyarakat, atau pula atas keinginan rakyat, secara garis besar mereka menyatakan bahwa mereka maju atas rakyat. Entah rakyat sebelah mana yang mendukung majunya mereka di dalam Pemilihan Presiden, tapi jelas subjek utama yang mereka katakan mengenai alasannya maju adalah rakyat.

Rakyat merupakan subjek utama dalam Pemilihan Umum. Hal tersebut disebabkan karena rakyatlah pemegang suara resmi, dan diakui oleh undang-undang dalam Pemilhan Umum. Kondisi yang terjadi saat ini, rakyat justru diadu domba oleh masing-masing Paslon guna mendapatkan suara ke pihak mereka. Dampaknya, masyarakat justru terpecah akibat keegoisan masing-masing pasangan calon. Jadi, apakah benar majunya Paslon Presiden-Wakil Presiden tersebut atas kehendak rakyat?

Bangsa Indonesia sudah memiliki luka mendalam atas apa yang disebut dengan devide et impera, atau politik adu domba. Beberapa puluh tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, dan dalam kurun waktu tersebut pulalah bangsa Indonesia dipecah boleh penjajah tersebut.

Waktu pun berlalu, Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada waktu itu, kondisi rumah tangga negara Indonesia masih sangat berantakan. Ideologi belum ada, dasar negara belum ada, bahkan hukum pun harus mengadopsi dari peninggalan Belanda. Oleh sebab itu, para pendiri bangsa bertekad mulai membenahi hal tersebut.

Seluruh 'pekerjaan rumah tangga' bangsa Indonesia dapat diselesaikan satu demi satu. Presiden-Wakil Presiden mulai ditunjuk, ideologi disahkan, dasar negara pun ditetapkan (UUD 1945). Semua tugas tersebut dikerjakan melalui mekanisme kebudayaan bangsa Indonesia, Musyawarah. Ketegangan satu dengan yang lain pasti terjadi, dan itu merupakan suatu keniscayaan dalam suatu musyawarah. Namun, apabila kita menganalisa hasil dari musyawarah ialah tidak adanya kelompok yang 'kalah' dalam suatu musyawarah. Ketegangan di awal nyatanya dapat terselesaikan.

Dasar-dasar negara saja merupakan hasil dari musyawarah yang dilakukan para pendiri bangsa. Perpecahan sangat sedikit terjadi. Namun, hasil yang dikeluarkan dari musyawarah tersebut sangatlah efektif dan efisien. 

Mengapa kita meninggalkan kebudayaan bangsa tersebut dalam dunia politik (pemilihan presiden)? Bukan karena memilih Presiden-Wakil Presiden tidak bisa dilakukan dengan musyawarah, alasan sejatinya ialah EGOISNYA PARA ELITE POLITIK! Mereka hanya mau kemenangan dan kekuasaan, bukan kebutuhan rakyat. 

Sejatinya, rakyat lebih mengetahui kebutuhannya dan siapa yang harus memimpin. Namun, partai politik sebagai pemegang sistem demokrasi terkuat, merupakan kelompok-kelompok egois yang membutuhkan kemangan dan kekuasaan. Dampaknya, nilai kebudayaan bangsa serta masyarakatlah yang menerima dampaknya, yaitu PERPECAHAN!

Mekanisme pemungutan suara (voting) merupakan salah satu mekanisme yang meninggikan sifat egois dari sesosok manusia. Sifat asli manusia, salah satunya ialah egois, tapi apakah sifat tersebut perlu ditinggikan dan dibiarkan?

Sejatinya, Indonesia merupakan bangsa yang tidak menerima ditinggikannya sifat egois manusia. Menurut sejarah, Presiden Soekarno merupakan sosok yang sangat dimuliakan dan diagungkan dari sebelum dirinya menjadi Presiden. Namun, apakah dalam penyusunan ideologi bangsa, seluruh pendapat Soekarno diterima seutuhnya? Nyatanya tidak. Sosok sekelas Soekarno pun harus mengalah dalam forum musyawarah. Musyawarah merupakan alat yang paling efektif guna menekan sifat egois manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun