Mohon tunggu...
Theodorus Hutabarat
Theodorus Hutabarat Mohon Tunggu... Freelancer - Menulis, menuntun saya ke tempat ini

Mahasiswa aktif di salah satu perguruan tinggi negeri dengan program studi Administrasi Publik. Memiliki ketertarikan pada dunia politik, pemerintahan, kebijakan publik, dan pop culture.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Masih Relevankah Pemilihan Umum?

16 Desember 2018   19:05 Diperbarui: 16 Desember 2018   19:18 325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Memasuki 3 (tiga) bulan masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, ada baiknya kita sedikit merefleksikan diri terlebih dahulu terhadap hal-hal yang terjadi tiga bulan lalu. Masa kampanye Pilpres 2019 dibuka dengan deklarasi pemilu damai yang dilakukan di Lapangan Monumen Nasional (Monas) pada Minggu, 23 September 2018. Dibuka secara simbolis melalui pelepasan burung merpati putih yang dilakukan oleh setiap pasangan calon presiden serta para ketua umum partai politik nasional. Masa kampanye di mulai, drama pun sudah terjadi.

Deklarasi Pemilu damai telah dilakukan, maka kampanye pun resmi dimulai. Singkat cerita, kontroversi dari tiap Pasangan Calon (Paslon) Presiden-Wakil Presiden pun mulai terlihat. Dimulai dari pernyataan calon Wakil Presiden nomor urut 02, Sandiaga Uno, yang membuat pernyataan kontroversial "Tempe katanya sekarang sudah dikecilkan dan tipisnya hampir sama dengan kartu ATM." (dikutip dari tempo). 

Setelah itu pernyataan kontroversial juga keluar dari calon Wakil Presiden nomor urut 01, K. H. Ma'aruf Amin, yaitu penggunaan kata 'budek' dan 'buta'. Hasil dari kedua pernyataan kedua calon Wakil Presiden itu ialah, adu goreng-menggoreng untuk menyerang masing-masing kubu.

Tidak berhenti sampai di calon Wakil Presiden saja, kedua calon Presiden juga melakukan hal yang sama. Dimulai dari pernyataan calon Presiden nomor urut 02, Prabowo Subianto, menggunakan kata 'tampang Boyolali' yang dianggap telah merendahkan orang-orang Boyolali, sampai dengan pernyataan calon Presiden nomor urut 01, sekaligus Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, yang menyatakan "Hati-hati banyak politikus yang baik-baik, tapi banyak juga politikus yang sontoloyo!" (dikutip dari idntimes) . Lalu apa dampaknya? Lagi-lagi aksi goreng-menggoreng yang dilakukan oleh masing-masing tim kampanye pasangan calon.

MASYARAKAT JADI KORBAN

Aksi goreng-menggoreng yang dilakukan oleh masing-masing paslon Presiden-Wakil Presiden bertujuan untuk menyerang paslon lawannya, dan memperoleh suara dari masyarakat. Tindakan tersebut memang tidak dilarang dalam aturan Pemilihan Umum (Pemilu) secara khusus, karena tindakan tersebut hanya memanfaatkan kelemahan atau kelalaian yang dilakukan oleh lawan politiknya tersebut.

Masyarakat tidak jarang juga percaya terhadap narasi-narasi yang dilakukan oleh masing-masing tim kampanye paslon Presiden-Wakil Presiden tersebut. Pernyataan mengenai tempe setipis kartu atm, genderuwo, sontoloy, hingga budek-buta, memang sebuah kelalaian yang dilakukan masing-masing pasangan calon. Namun, terlalu banyak "bumbu" penyedap dalam narasi yang dibawa oleh masing-masing tim kampanye pasangan calon ketika mereka hadir di media. Narasi yang dibawa tidak jarang merupakan narasi kebencian, maupun narasi perpecahan. Lalu siapa yang mengonsumsi narasi tersebut? Masyarakat.

Fakta mengenai pendidikan masyarakat di Indonesia saat ini ialah, Indonesia memperoleh peringkat ke 60 dari 61 negara dalam hal baca-tulis yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016. Berdasarkan studi Conclusion of the Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) pada tahun 2015, mengenai kecerdasan matematika, nyatanya Indonesia hanya mampu memperoleh peringkat 69 dari 76 negara dalam hal kecerdasan matematika. 

Dampak dari rendahnya minat baca serta kecerdasan matematika tersebut ialah, mudahnya masyarakat Indonesia menerima informasi secara mentah, tanpa dicari terlebih dahulu kebenaran faktual dan logikanya. Oleh sebab itu, tidak jarang masyarakat sepeti 'tuli' dan 'buta' terhadap pernyataan dari pihak lawan, karena mereka hanya mempercayai pernyataan dari kelompok pendukungnya saja.

Tindakan yang dilakukan oleh masyarakat seperti itu sangatlah tidak sehat. Masyarakat Indonesia yang hidup di bawah kebudayaan yang ramah, saling menghormati, dan saling menghargai, nyatanya nilai-nilai kebudayaan tersebut hilang ketika Pemilihan Umum berlangsung. Nilai-nilai yang muncul di masyarakat justru nilai-nilai kebencian dan perpecahan. Hasilnya ialah, munculnya istilah 'cebong', 'kampret', 'bani serbet', dan 'sumbu pendek'. 

Masing-masing kata tersebut ialah istilah yang digunakan untuk menyerang pihak lawannya masing-masing. Kata-kata seperti itu sering kita lihat di dalam media sosial atau di dalam tautan-tautan berita mengenai Pilpres 2019. Tindakan tersebut tentu tidak dikehendaki oleh pihak manapun, dan tidak akan ada pihak yang mengaku mengenai asal muasal munculnya istilah tersebut, tapi faktanya hal tersebut ada, nyata, dan memecah belah masyarakat.

MEMILIH PRESIDEN MELALUI MUSYAWARAH

Setiap Paslon Presiden-Wakil Presiden selalu menyatakan bahwa, majunya mereka di dalam Pilpres adalah kehendak rakyat atau dorongan dari masyarakat, atau pula atas keinginan rakyat, secara garis besar mereka menyatakan bahwa mereka maju atas rakyat. Entah rakyat sebelah mana yang mendukung majunya mereka di dalam Pemilihan Presiden, tapi jelas subjek utama yang mereka katakan mengenai alasannya maju adalah rakyat.

Rakyat merupakan subjek utama dalam Pemilihan Umum. Hal tersebut disebabkan karena rakyatlah pemegang suara resmi, dan diakui oleh undang-undang dalam Pemilhan Umum. Kondisi yang terjadi saat ini, rakyat justru diadu domba oleh masing-masing Paslon guna mendapatkan suara ke pihak mereka. Dampaknya, masyarakat justru terpecah akibat keegoisan masing-masing pasangan calon. Jadi, apakah benar majunya Paslon Presiden-Wakil Presiden tersebut atas kehendak rakyat?

Bangsa Indonesia sudah memiliki luka mendalam atas apa yang disebut dengan devide et impera, atau politik adu domba. Beberapa puluh tahun Indonesia dijajah oleh Belanda, dan dalam kurun waktu tersebut pulalah bangsa Indonesia dipecah boleh penjajah tersebut.

Waktu pun berlalu, Indonesia berhasil merebut kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Pada waktu itu, kondisi rumah tangga negara Indonesia masih sangat berantakan. Ideologi belum ada, dasar negara belum ada, bahkan hukum pun harus mengadopsi dari peninggalan Belanda. Oleh sebab itu, para pendiri bangsa bertekad mulai membenahi hal tersebut.

Seluruh 'pekerjaan rumah tangga' bangsa Indonesia dapat diselesaikan satu demi satu. Presiden-Wakil Presiden mulai ditunjuk, ideologi disahkan, dasar negara pun ditetapkan (UUD 1945). Semua tugas tersebut dikerjakan melalui mekanisme kebudayaan bangsa Indonesia, Musyawarah. Ketegangan satu dengan yang lain pasti terjadi, dan itu merupakan suatu keniscayaan dalam suatu musyawarah. Namun, apabila kita menganalisa hasil dari musyawarah ialah tidak adanya kelompok yang 'kalah' dalam suatu musyawarah. Ketegangan di awal nyatanya dapat terselesaikan.

Dasar-dasar negara saja merupakan hasil dari musyawarah yang dilakukan para pendiri bangsa. Perpecahan sangat sedikit terjadi. Namun, hasil yang dikeluarkan dari musyawarah tersebut sangatlah efektif dan efisien. 

Mengapa kita meninggalkan kebudayaan bangsa tersebut dalam dunia politik (pemilihan presiden)? Bukan karena memilih Presiden-Wakil Presiden tidak bisa dilakukan dengan musyawarah, alasan sejatinya ialah EGOISNYA PARA ELITE POLITIK! Mereka hanya mau kemenangan dan kekuasaan, bukan kebutuhan rakyat. 

Sejatinya, rakyat lebih mengetahui kebutuhannya dan siapa yang harus memimpin. Namun, partai politik sebagai pemegang sistem demokrasi terkuat, merupakan kelompok-kelompok egois yang membutuhkan kemangan dan kekuasaan. Dampaknya, nilai kebudayaan bangsa serta masyarakatlah yang menerima dampaknya, yaitu PERPECAHAN!

Mekanisme pemungutan suara (voting) merupakan salah satu mekanisme yang meninggikan sifat egois dari sesosok manusia. Sifat asli manusia, salah satunya ialah egois, tapi apakah sifat tersebut perlu ditinggikan dan dibiarkan?

Sejatinya, Indonesia merupakan bangsa yang tidak menerima ditinggikannya sifat egois manusia. Menurut sejarah, Presiden Soekarno merupakan sosok yang sangat dimuliakan dan diagungkan dari sebelum dirinya menjadi Presiden. Namun, apakah dalam penyusunan ideologi bangsa, seluruh pendapat Soekarno diterima seutuhnya? Nyatanya tidak. Sosok sekelas Soekarno pun harus mengalah dalam forum musyawarah. Musyawarah merupakan alat yang paling efektif guna menekan sifat egois manusia.

Kini sistem demokrasi Indonesia menelan apa yang dinamai dengan mekanisme pemungutan suara. Mekanisme politik Indonesia hampir tidak ada segi-segi musyawarah di dalamnya. 

Mekanisme dan sistem politik Indonesia dihiasi dan dilumuri oleh nilai-nilai keegoisan manusia yang diterima begitu saja, tanpa ada usaha untuk menekan hal tersebut demi kepentingan umum. Dampaknya, partai politik yang 'gila' berhak memecah masyarakat, guna mendapatkan suara, meskipun mereka mengaku partainya tersebut atas dibentuk atas keresahan masyarakat. 

Elite politik Indonesia 'menggila' tiap menjelang pemilihan presiden. Kini dampaknya masyarakat pun ikut 'menggila', lalu apakah mekanisme pemungutan suara sesuai dengan nilai kebudayaan serta kondisi masyarakat Indonesia? Faktanya mekanisme voting adalah produk asing. Jadi apabila ada capres mengaku anti asing tapi tetap menghendaki voting, itulah capres yang inkonsisten!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun