Dentang lonceng di Basilika Santo Petrus tanggal 21 April yang lalu, meninggalkan rasa sedih yang dalam. Berita duka itu tersebar ke seluruh dunia. Paus Fransiskus, pemimpin tertinggi Gereja Katolik sedunia, sosok sederhana dan penuh kasih itu telah tiada.
Perhatian dunia sedang tertuju pada sosok yang dicintai oleh umatnya ini. Kesederhanaan dan keterbukaan terhadap isu sosial, pesan perdamaian yang digaungkan, dialog antaragama yang dibuka, menjadi kenangan indah yang ditinggalkannya.
Begitu banyak perhatian serta tulisan tentang beliau yang membuat Saya tiba pada suatu kesimpulan, Paus Fransiskus adalah sosok rendah hati yang sangat luar biasa, kaya akan pesan moral dan penuh cinta!
Tidak hanya fokus pada urusan rohani, namun lebih dari itu, beliau memiliki kepedulian terhadap banyak hal.
Peperangan yang melanda, pengungsi, kemiskinan, kaum marginal, tindakan pelecehan dan kekerasan, lingkungan dan perubahan iklim, hak-hak perempuan, juga tentang keluarga, menjadi bagian yang selalu ditekankan oleh beliau dalam kotbah atau renungan yang dibuatnya.
Salah satu hal menarik yang menjadi perhatian Paus Fransiskus sejak awal pelayanannya sebagai Paus pada tahun 2013, adalah tentang hal yang paling mendasar, yaitu keluarga.
Banyak pesan atau hal yang diajarkan Paus Fransiskus tentang keluarga, dan tidak dapat dipungkiri, apa yang disampaikan oleh beliau, tetap relevan hingga hari ini.
Keluarga adalah tempat di mana cinta belajar bernapas
Paus Fransiskus melihat keluarga sebagai sel dasar, yang memberi peran penting untuk membentuk karakter seseorang; tempat nilai-nilai dasar seperti mengasihi dan dikasihi, menghormati orang lain, disiplin, tanggungjawab serta empati diajarkan.
Selayaknya sesorang bayi kecil yang sedang belajar bernapas -pelan, namun terus bertumbuh-demikianlah keluarga, akan terus bertumbuh meskipun berjalan perlahan.
“Cinta dalam keluarga dijalani dalam tindakan kecil sehari-hari, lebih dari sekadar kata-kata besar.” — Amoris Laetitia
Paus Fransiskus dalam homilinya mengingatkan, bahwa tindakan kecil itu datangnya dari hal sederhana yang lahir dari kebiasaan sehari-hari.
Duduk bersama di meja makan misalnya, adalah hal sederhana dimana anggota keluarga bisa saling berbagi cerita, menanyakan kabar satu sama lain, atau memberi pelukan hangat, bukan sekedar asyik dengan dunia segi empat di genggamannya.
Hal yang sangat sulit dilakukan saat ini, ketika arus informasi benar-benar membayangi seluruh aspek kehidupan dan akhirnya berdampak pada relasi anggota keluarga dan lainnya.
Tidak ada keluarga yang sempurna
Keluarga bukanlah tempat yang sempurna. Dalam pertumbuhannya selalu ada luka, sekaligus harapan dan kasih yang tumbuh bersama. Mungkin kita tidak selalu tersenyum di dalamnya, tapi yang pasti, kita tetap tinggal.
Ada satu hal yang diingatkan oleh Paus Fransiskus, bahwa tidak ada keluarga yang sempurna! Tetapi Allah hadir dalam keluarga yang rapuh, sederhana, dan terbuka satu sama lain.
Pada perayaan Hari Raya Keluarga Kudus tahun 2015 lalu, beliau berkata:
"Di dalam keluarga, kita belajar untuk saling berbagi, untuk saling meminta maaf, dan untuk berani memulai kembali."
Paus Fransiskus menegaskan bahwa tidak ada hal yang datangnya secara instan atau terlalu sempurna dalam keluarga; itu akan datang melalui proses yang tidak selalu mudah.
Dalam proses itulah kita belajar mencintai, mengampuni, dan hadir satu sama lain untuk memberi dukungan atau untuk mendengarkan.
Sebagai orangtua, saudara atau anak, mungkin kita pernah merasa gagal, tidak cukup sabar dalam banyak hal, terlalu keras kepala, atau menyesal atas kata yang terlontar, namun tak pernah diucapkan.
Paus Fransiskus meminta untuk memberi ruang bagi pengampunan, bila ada kasih. Salah satu pesan yang paling terkenal dari dokumen Amoris Laetitia, tentang kasih dalam keluarga berbunyi demikian.
Tiga kata ajaib yang harus sering kita ucapkan dalam keluarga adalah: ‘Tolong’, ‘Terima kasih’, dan ‘Maaf’.
Tentang konflik, perpisahan, dan ketegangan dalam keluarga, Paus tidak menghakimi, tetapi merangkul. Menurut beliau, keluarga yang terluka bukanlah keluarga yang gagal, justru tindakan tidak saling memaafkan membuatnya menjadi gagal.
Paus Fransiskus memberikan harapan bahwa dimana ada kasih, tentu ada pengampunan, meskipun terluka dan tidak selalu mulus dalam perjalanannya.
Anak tidak butuh orangtua yang sempurna, mereka butuh orangtua hadir
Dalam dunia yang serba cepat dan sibuk, Paus Fransiskus mengajak kita untuk memperlambat langkah, terutama saat berada di tengah keluarga. Beliau menginginkan kita untuk benar-benar hadir sepenuhnya, dengan hati.
Yang terpenting bukanlah memberikan barang, tetapi memberikan diri. Anak-anak tidak butuh orang tua yang sempurna. Mereka butuh orang tua yang hadir (Amoris Laetitia).
Kesibukan kita di dunia ini menyebabkan kita terlalu sering menukar waktu bersama keluarga dengan hal-hal yang tampak lebih "mendesak". Tapi di mata Paus Fransiskus, waktu adalah hadiah terbesar yang bisa kita berikan, dan keluarga adalah tempat utama untuk menghadirkannya.
Keluarga bahagia (Foto: AlisaDyson/Pixabay)

Paus Fransiskus juga mengingatkan bahwa kasih dalam keluarga tidak berhenti di dalam tembok rumah, tetapi juga kepada tetangga, orang miskin, orang asing, dan siapa pun yang terlupakan.
Paus Fransiskus tidak menawarkan teori, tetapi menawarkan pengalaman yang dijalani setiap hari oleh keluarga biasa, termasuk Saya dan juga Anda, berangkat dari tindakan kecil yang dilakukan dengan setia, hari demi hari hingga menjadi hal yang paling indah.
Karena demikianlah, bahwa di balik hal-hal yang tampak sederhana, tersembunyi kekuatan kasih yang mampu membentuk dunia.
Selamat beristirahat dalam kedamaian, Bapa Paus Fransiskus. Pesanmu tetap tinggal dalam hati kami.
Referensi : disini
Kupang, 25 April 2025
Ragu Theodolfi, untuk Kompasiana
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI