Seperti diberitakan kompas.com  - Ketua DPR Bambang Soesatyo sempat membacakan pantun yang menyinggung soal dua pertemuan politik beberapa waktu belakangan ini. Seperti biasa, Bambang berpantun saat mengawali dan mengakhiri pidatonya dalam Rapat Paripurna. Begitu juga dalam Rapat Paripurna di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (25/7/2019).
 Jika tuan hendak berwudhu.Â
Basuh tangan sebelum berkumur.Â
Ayo kita semua bersatu padu.Â
Membangun negeri adil dan makmur
Sejatinya berpantun pada acara resmi memiliki nuansa mencairkan suasana.  Pantun warisan budaya tentu dimaksudkan agar dalam bertutur kata disampaikan dengan cara santun.  Pantun enak didengar dan pesan yang diutarakan mengena. Adat berbalas pantun sudah ada sejak zaman dahulu dan sampai kini terus  dilestarikan Rakyat Indonesia terutama di rumpun Melayu. .
Dari zaman dahulu malahan ada satu komunitas orang yang berprofesi sebagai pembawa pantun. Para pemantun ini sering di minta bantuan ketika acara adat seperti lamar melamar.  Tetnu saja berpantun ada pula pasangan sehingga terjadilah berbalas pantun.  Proses adat seperti ini sudah menjadi tradisi dan selalu  ditunggu  tunggu bersebab isi pantun nan kocak, lucu dengan pilihan kata nan elok menghibur .
Satu hal pasti dalam pantun tidak ada ujaran marah, gusar, berang atawa murka.  Itulah kelebihan berpantun. Seorang pejabat pemerintahan yang acap berpantun dapat dipastikan memiliki hati nan lembut.  Pola komunikasi  seperti itu pastilah disukai khalayak bersebab  Beliau menyampaikan pesan pesan kebaikan untuk kemaslahatan bersama.
Pak Bamsoet telah memberikan contoh baik. Â Bagaimana Beliau memandang pergolakan atau pertemuan pertemuan tokoh politik nasional secara bijak. Â Cara berpantun seperti ini atau katakanlah pantun politik tentu menggelitik dan bisa diterima oleh semua pihak. Â Apalagi pada posisi Ketua DPR RI, pola komunikasi politik Bambang Soesatyo termasuk cerdas dan bijaksana.
Mari kita simak Pantun ke -2 Ketua DPR RIÂ
Walau antara Teuku Umar dan Gondangdia.Â
Tak sepanjang Anyer dan Jakarta.Â
Walau ada dua pertemuan berbeda.Â
Semoga tak memisahkan para pemimpin kita,
Paling tidak suhu politik yang semakin memanas paska pilpres dan masuk pada fase perebutan kursi menteri kabinet bisa sedikit agak didinginkan dengan berpantun. Tokoh Nasional ada baiknya menggunakan cara sederhana dalam berkomunikasi sehingga para pengikut di grass root bisa lebih tenang. Â Syukur syukur hoaks politik dapat diatasi atau dikurangi ketika silang sengketa pendapat disampaikan dlam bentuk berbalas pantun antar para pihak peseteru. .
Sesungguhnya pantun merupakan salah satu jenis puisi lama yang sangat luas dikenal dalam bahasa-bahasa Nusantara. Â Pantun berasal dari kata patuntun dalam bahasa Minangkabau yang berarti "penuntun".
Pantun memiliki nama lain dalam bahasa-bahasa daerah: dalam bahasa Jawa, pantun dikenal dengan paparikan; dalam bahasa Sunda, pantun disebut paparikan; dan dalam bahasa Batak, pantun dikenal dengan sebutan umpasa.
Lazimnya, pantun terdiri atas empat larik (atau empat baris bila dituliskan), tiap larik terdiri atas 4 suku kata
Bersajak akhir dengan pola a-b-a-b[1] ataupun a-a-a-a (tidak boleh a-a-b-b atau a-b-b-a).
Pantun pada mulanya merupakan sastra lisan, tapi sekarang dijumpai juga pantun yang tertulis. Â Ciri lain dari sebuah pantun adalah pantun tidak memberi nama penggubahnya. Hal ini dikarenakan penyebaran pantun dilakukan secara lisan.
Semua bentuk pantun terdiri atas dua bagian: sampiran dan isi. Sampiran adalah dua baris pertama, kerap kali berkaitan dengan alam atau kehidupan (sering mencirikan budaya agraris masyarakat penggubahnya),
Bagian satu  biasanya tak punya hubungan dengan bagian kedua yang menyampaikan maksud selain untuk mengantarkan rima/sajak.
Dua baris terakhir merupakan isi, yang merupakan tujuan dari pantun tersebut.
Pantun acap disampaikan pada  acara adat dan kini berkembang ketika para Pejabat Negara sering pula menambahkan pantun pada pidato resmi dengan tujuan untuk  mencairkan suasana.  (disarikan dari wikipedia)
Tentu saja kita berharap para petinggi politik di negeri ini membiasakan berpantun pada kesempatan bertatap muka dengan rakyat. Â Menyampaikan pidato resmi atau dalam suasana keakraban disertai pembukaan dan penut Pantun bisa diterima dengan senang hati. Â Pesan nan disampaikan tentu mudah dipahami dari pada berpidato terkesan tampak terlalu semangat cendrung marah atau berteriak teriak tidak karuan sampai membingungkan rakyat.
SalamsalamanÂ
TD
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI