Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

888 Teks di Kompasiana

21 Maret 2017   11:22 Diperbarui: 21 Maret 2017   11:47 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Karena Kompasianer, menerbitkan buku dan bisa memamerkan karya Kompasianer kepada Menteri Luar Negeri di Kompasianival 2016 (dok pri)

PERSIS ketika di Poli Tikuus, tulisan saya mencapai angka 888 di Kolam Kompasiana. Alhamdulillah. Mengingat tulisan saya, praktis ndak ada yang dobel dan ditendang admin, dari genre yang campur-aduk gado-gado. Itu sebab, sempat meringis ketika ada komen tidakmenarik, dari akun bernama seperti mengingatkan saya pada seorang: artis.

Jebul itu akun tuyul. Meski ia tetap mampir di tulisanku lainnya – dengan enak nyebut: tidakmenarik. Titik.  Apa mesti jengkel bin marah? Lha,  saya ndak pernah berhubungan dengan tuyul, je! Bukan pula takut, tapi karena dari spesies beda. Alamnya berbeda alias lain. Malah saya, seperti sudah kapalen untuk soal orang yang tak sependapat denganku. Sejak 80 awal, saya sebagai nyamuk pers – orang yang biasa menggigit kalau ada yang saya anggap “mereka” tak benar. Untuk dituliskan.

Apa makna dari 888 artikel; politik, wisata, pendidikan, cerpen-puisi dan tulisan tentang foto atau kartun bagi saya? Sebuah area eksplorasi diri. Itu sebab, saya menyebutnya sebagai Kolam Kebersamaan Kompasianer. Di mana jika saya menawarkan kepada teman-teman untuk menulis secara keroyokan – untuk kemudian dibukukan – mereka segera menyambut: Iiikut, bang, pak, pakde, om, mas dan sejenisnya. Inilah yang membahagiakan saya, termasuk terbaru membedah buku (In) Toleransi – yang dikatapengantari Prof. Dr. Mahfud, MD. Seorang ahli hukum (Ketua MK), mantan menteri, toleran dan sahabat Gus Dur yang mendobrak intoleransi pada era Orde Baru di Kantor Kompasiana, Sabtu (18/3).

Ngoplah bersama Kompasianer dari berbagai daerah (dok. pri)
Ngoplah bersama Kompasianer dari berbagai daerah (dok. pri)
Adalah Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana yang menyebut: Tak ada guru menulis, yang ada untuk berbagi dalam endorse di buku Rahasia Top Menulis-nya Much Khoiri (Elex Media Computindo, 2015) yang merupakan kumpulan tulisan di Kompasiana, sahabat saya yang kutawarkan ke penerbit itu. Rasanya itu benar. Sebab, kalaupun sudah “belajar” secara benar dari seorang guru besar menulis, jika tak mengejawantahkan dengan menulis, ya tak jadi penulis juga. Sekolahnya, dikembalikan kepada diri orang itu. Atau dalam kalimat guru saya menulis Arswendo Atmowiloto: tulis! Kapan? Sekarang. Itu akibat pertanyaan memberondong: ini-itu dan kegamangan pembaca bukunya: Mengarang itu Gampang yang tak kunjung menulis.

Jadi, menulis itu sebuah keajaiban bagi kita yang bukan siapa-siapa. Bukan anak Raja, bukan anak Presiden. Lha, wong presiden saja yang hemat saya hanya Gus Dur yang piawai menulis. Karena ia melahap semua karya sastra dunia sebagai modal. (Selain Bung Karno, tentu).

Di Kompasiana inilah, saya memberondongkan tulisan dengan berbagai genre. Meski pernah ada akun tuyul juga kayaknya, menyebut: duh TS (jurnalis senior, katanya) kok nulis di Kompasiana? Kan ndak dibayar.

Kebahagiaan lain saat berbagi dengan mereka yang ingin menulis di Kompasiana (dok.pri)
Kebahagiaan lain saat berbagi dengan mereka yang ingin menulis di Kompasiana (dok.pri)
Menjawab pertanyaan itu, tidak mudah. Mungkin seperti yang digambarkan Venusgazer. Sama ketika saya main ke rumah teman editor senior di penerbitan besar Jakarta. “Anda betah ya?” setengah memuji ketahanan saya menulis di media warga yang tak berbayar ini. Namun ia tahu, saya di Kompasiana bisa menerbitkan buku para Kompasianer. Selain, kadang ngomong dan dibayar.

500 an tulisan, kata Kang Pepih: Wah, saya sendiri belum separonya Pak TS. Itu sudah bisa jadi berapa buku. Jurnalis senior KOMPAS (waktu itu) menjadi teman diskusi intens. Bahkan ia sampai akan meminjami buku, bahwa dengan cara gratisan, sesungguhnya kita mendapatkan yang lebih. Ini pula yang coba saya yakinkan pada Kompasianer baru dari daerah yang sempat ragu untuk menulis di Kompasiana. Sebab, ia sempat bimbang mendengar seorang temannya gamang bila mesti nulis di Kompasiana. “Saya nggak boleh sok hebat. Saya kan baru mulai, ya Bang. Nyari fasn dolooo,” ujarnya kemudian.

Ketemu wanita cantik, ide nulis pun nongol, hehe (dok.pri)
Ketemu wanita cantik, ide nulis pun nongol, hehe (dok.pri)
Tulisan ini pun bukan menunjukkan, bahwa 888 semua bebas bea. Tak! Karena beberapakali menang – yang juga bukan tujuan – dan memperoleh lebih yang dimaksud Kang Pepih. Sebab, menulis bagi saya karena saya seorang penulis. Yang ingin mengoreskan jejak. Saya ingat, apa yang disebut Prof. Budi Darma, mantan rektor IKIP Surabaya (Unesa), sastrawan kuat: Penulis itu tak tergantikan. Bukan seperti bupati, walikota, atau gubernur. Itu kan jabatan. Begitu tak menjabat, bukan siapa-siapa. “Sedangkan penulis, jejaknya panjang dengan karyanya.”

Nah. 888 ...kan? Sebuah keberuntungan yang tak berhenti.

Kaligrafi goresan teman Kompasianer dari Pandeglang: TB Encep (dok. pri)
Kaligrafi goresan teman Kompasianer dari Pandeglang: TB Encep (dok. pri)
***

*Tulisan ini 890, kini

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun