Cerita Minggu Pagi 66
Sambil mengucak mata, aku berjalan menuju restoran Sunda seberang  terminal bis. Tas yang menggemblok di punggung terasa berat. Berisi buku yang dipesan R. Yang dibarengi dengan setumpuk kata dilontarkan bertubi-tubi sejak sepekan kemarin.
"Buku itu mestinya kan sudah kuterima dua minggu lalu...."
Pesan di WA itu kudiamkan. Ingin kujawab, sebulan lalu. Karena aku ingat aku tak menciumi bau parfummu yang lembut dan mengingatkan. Serupa melati ditiup angin malam. Semripit segar. Persis di halaman rumahku yang terbenam tanaman setinggi satu meter lebih sedikit.
"Apalagi?" aku ingin meyakinkan diri tak ada yang lupa untuk R. Bahwa sebelum masuk ke restoran yang sudah menguarkan suara merdu berbareng petikan gitar dan sesekali ditimpa harmonika. Aku masih menunggu di seberang jalan untuk melewati keramaian dan kemacetan akhir pekan Kota Kembang.
"Abang kangen sama R, ya?" tepuk sebuah tangan di pundak.
Aku tak menjawab. Memejamkan mata sebentar, dan menoleh.
"Sini aku bawain pesananku...."
"Apa?"
"Ih, kok apa. Ya, bukulah. Lupa, ya!" berondongnya. Kali ini wajahnya berubah dengan kekurangsukaannya. Tersebab jawabanku tadi yang berupa pertanyaan pendek apa?
Aku gandeng ketika jalan sela, dan kami menyeberang. Dia sempat menyenderkan kepala ke lenganku.