“Kalau pun kau ke Puncak. Aku ....Eh ....”
R ngikik.
“Jadi cowok yang berpendirian, atuh ...”
Bis meliuk-liuk seperti penari India bertubuh langsing. Di mana pusarnya tampak. Kepala bergerak ritmis. Bedanya, R tak memasang titik merah di keningnya. Atau asesoris wajahnya dengan apa pun. Ia membiarkan setitik tahi lalatnya di wilayah wajahnya. Yang sesekali tak tampak. Kalau ada bingkai hitam kacamata.
Sesekali ia memotret R. Terutama saat gadis itu memandang ke luar. Entah sedang menahan senyum, diam dan menopangkan tangannya ke dadu indahnya. Ah, dagu yang kerap disebutkan beberapa teman sebagai modal penting untuk wanita yang kemudian ia kerjar-kejar. Semua mengingatkannya pada Raisa. Ah, agaknya aku tersedot dan tersesat kemari menguntit R yang ....
“Kau seneng bener mencuri ....” R berpaling dan bersirobok dengannya. Beradu pandang secara cepat dan tak sengaja.
Tap!
R secepatnya memalingkan wajah. Membuangnya ke luar. Kenapa aku mesti membuangnya? R tak mengerti. Tapi ia tak sanggup untuk berlama-lama bersitatap dengan tegas begitu rupa. Mata lelaki yang dalam. Mata yang ....R senyum-senyum: indah bola ping pong. Oh, itu Iwan Fals untuk gadis. Sedangkan dia? Cowok masa kini. Yang selalu menenteng camera, dan suka mencuri-curi.
“Mencuri untuk kebaikan ....”
R mendengus.
“Mana ada mencuri untuk kebaikan?” pandangan R tetap ke luar jendela bis.