Mohon tunggu...
Teuku Parvinanda Handriawan
Teuku Parvinanda Handriawan Mohon Tunggu... Lebih baik berusaha dari pada hanya diam

Sekitar kita

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bunuh Diri Ibu dan Dua Anak di Bandung: Kegagalan Kita Melindungi Sesama

13 September 2025   14:23 Diperbarui: 15 September 2025   10:34 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kemiskinan di tengah pesatnya pembangunan.ANTARA FOTO/Prasetyo Utomo/pd/aa.

(*) Tulisan ini saya persembahkan bagi semua yang sedang berjuang. Tetap semangat menjalani hidup, berusaha dan berdoa. Cahaya terang menanti di ujung kegelapan.

Tragedi di Bandung, seorang ibu yang mengakhiri hidupnya bersama dua anaknya, adalah kabar yang mengguncang nurani kita. Ini bukan bukan sekadar kematian. Betapa dalam luka yang ditinggalkan, bukan hanya bagi keluarga, tetapi juga bagi kita sebagai bangsa. Surat wasiat yang ditinggalkan sang ibu jelas menggambarkan rasa lelah, beban utang, dan jalan buntu yang ia rasakan. Pertanyaan yang muncul: mengapa seorang ibu bisa sampai memilih jalan setragis itu?

Kisah pilu ini bak memutar balik ingatan saya. Saat ibu kami berjuang keras dan banyak berkorban bagi keempat anaknya. Sebagai orang tua tunggal akibat berpisah dari ayah, ibu kami kehabisan pilihan dan terpaksa bekerja di negara orang untuk menyambung hidup keluarga kami. Sebagai anak pertama, saya mengambil peran sebagai orang tua bagi ketiga adik saya. 12 tahun lamanya kami terpisah antara Indonesia-Amerika. Jangan berpikir ibu kami bekerja kantoran di sana. Kami pun anak-anaknya tak sanggup membayangkan pengorbanan ibu kami selama membanting tulang di negeri orang.

Kembali ke tragedi di Bandung. Fakta bahwa akar masalahnya terkait ekonomi, utang, dan judi online memperlihatkan betapa rapuhnya jaring pengaman sosial kita. Judi online sudah merenggut begitu banyak nyawa, namun entah mengapa terasa mustahil diberantas. Apakah benar tidak mampu? Atau jangan-jangan ada kepentingan yang membuatnya dibiarkan tumbuh subur? Kasus pegawai Kementerian Kominfo yang ditangkap karena melindungi jaringan judol, bahkan menyerempet dugaan keterlibatan menteri, seolah hanya menguap tanpa tindak lanjut serius. Ironisnya, pemerintah mampu membungkam media sosial atau mengerahkan aparat untuk mengawasi demo dengan cepat, tapi menghapus situs dan sindikat judol terasa selalu "sulit".

Sementara itu, program pemerintah yang mestinya jadi bantalan, sering salah sasaran. Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, diberikan merata di sekolah tanpa melihat kebutuhan riil. Padahal, anak yang berada di garis kemiskinan tentu jauh lebih membutuhkan dibanding mereka yang sudah berkecukupan. Anggaran pun menguap tanpa terukur, sementara program sosial yang bisa menyelamatkan keluarga rentan tidak diperkuat. Bukankah lebih bijak jika dana sebesar itu diprioritaskan untuk memperluas jaminan sosial, membantu keluarga miskin dengan akses gizi, kesehatan mental, dan pemberdayaan ekonomi?

Jika kita menengok ke negara lain, jaminan sosial bukan sekadar program pencitraan, tapi nyata dirasakan. Ada yang menanggung biaya kesehatan penuh, ada pula yang memberi subsidi langsung kepada keluarga dengan kebutuhan spesifik, dari pangan hingga perumahan. Di Indonesia, alokasi perlindungan sosial justru kalah jauh dibanding anggaran pertahanan. Seolah rakyat miskin tidak masuk daftar prioritas.

Namun, bersalah tidak hanya negara. Kita pun, masyarakat, ikut bersalah ketika membiarkan tetangga kita larut dalam kesulitan tanpa uluran tangan. Budaya gotong royong yang dulu jadi kebanggaan, kini sering berganti dengan sikap masa bodoh. Ketika ada yang terhimpit utang, depresi, atau tampak kesulitan, alih-alih dirangkul, justru sering dijauhi atau jadi bahan gosip. Dukungan sosial yang seharusnya jadi tiang penopang, kini rapuh dan nyaris hilang.

Lingkungan terdekat pun tak lepas dari tanggung jawab. Kepala keluarga yang kecanduan judol, sandaran keluarga yang kian longgar, dan stigma yang menutup mulut korban untuk meminta tolong, semua ikut mendorong tragedi ini. Maka benar, ini bukan sekadar kegagalan negara, tapi juga kegagalan kita bersama sebagai manusia untuk saling menjaga.

Tragedi ini harus menjadi alarm keras. Negara tak boleh menutup mata pada fakta bahwa bunuh diri karena faktor ekonomi sudah menjadi fenomena sosial. Kita pun, sebagai masyarakat, tidak boleh hanya menjadi penonton. Jangan biarkan tetangga kita larut dalam kesulitan tanpa uluran tangan. Jangan tunggu sampai duka datang baru merasa bersalah.

Bunuh diri bukanlah jalan keluar, tapi sering kali orang yang memilihnya merasa tidak punya pilihan lain. Di sinilah tanggung jawab kita diuji. Kita bisa memulai dari hal kecil: menyapa, mendengar, atau memberi bantuan sederhana. Tindakan kecil bisa mencegah keputusan besar yang merenggut nyawa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun