Mohon tunggu...
Teti Taryani
Teti Taryani Mohon Tunggu... Guru - Guru

Guru yang suka menulis. Author novel: Rembulan Merindu, Gerai Kasih, Dalam Bingkai Pusaran Cinta. Kumcer: Amplop buat Ibu, Meramu Cinta, Ilalang di Padang Tandus. Penelitian: Praktik Kerja Industri dalam Pendidikan Sistem Ganda. Kumpulan fikmin Sunda: Batok Bulu Eusi Madu, Kicimpring Bengras.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Benarkah Asal Ceplos?

23 Oktober 2022   21:45 Diperbarui: 23 Oktober 2022   21:50 266
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Karya: Teti Taryani  Guru SMKN 1 Tasikmalaya

Mungkin banyak orang yang berpikir kalau anak-anak itu identik dengan sesuatu yang masih berbau kencur (eh mungkin sekarang berbau kayu putih atau parfum anak, ya), masih mentah, masih harus banyak dikasih tahu, masih banyak salahnya. Meskipun tidak seratus persen benar, sepertinya orang-orang dewasa mulai membuka diri untuk menerima anak-anak sebagai pribadi yang unik dan perlu mendapat perhatian.

Dalam beberapa hal, anak-anak menyampaikan pikiran apa adanya. Bahkan perkataannya sering asal ceplos. Padahal di balik ceplas-ceplosnya terkandung 'sesuatu' jika kita bijak menerimanya. Tidak jarang kepolosan dan cara berpikirnya bisa membuat orang terhenyak. Yang mereka katakan memang apa adanya tanpa rekayasa.

Seperti sore itu, saat tengah berada di toko kosmetik, seorang anak kecil rupanya ikut mamanya yang tengah memilih lipstik. Anak perempuan dengan baju kasual terlihat manis dan matanya menyiratkan keberanian. Entah mengapa perhatianku agak khusus tertuju padanya.

"Mami, udah belum milih lipstiknya?" tanya gadis cilik itu pada ibunya.

"Bentar atuh ih, yang sabar ya, nanti mami beliin es krim," jawab ibunya sambil menutup buka beberapa batang lipstik yang dipegangnya.


"Mami pilih warna apa?"

"Emang kenapa?"

"Jangan yang warna gitu, kayak monster!" bisiknya sambil menunjuk seorang ibu yang baru masuk. Bibirnya berbalut warna merah membara berhias bulu mata plus eye shadow tebal.

Tentu saja sang ibu jadi blingsatan karenanya. Dengan santun, dia meminta maaf pada wanita itu.

Lain waktu, kujumpai seorang anak laki-laki sekira umur lima tahun di warung bersama neneknya.

"Kok di warung ini enggak ada mainan?" gumam anak kecil itu dengan nada kecewa.

"Iya, Dek, di sini mah jual keperluan dapur. Buat masak,"

Mas Warung menanggapi dengan ramah.

"Lha, ini ada sabun, ada sandal jepit. Memang itu buat dimasak?"

Kami tertawa mendengarnya.

Sepertinya hal itu terlihat sepele. Hanya kelucuan seorang anak. Padahal bisa jadi anak itu memiliki kemampuan berpikir kritis. Dia ingin membuktikan kalau perkataan Mas Warung tidak faktual dan tidak sinkron dengan bukti yang dia dapatkan.

Bukankah kita mendidik agar anak berkata jujur dan berbicara sesuai fakta? Karena itulah, saat anak menemukan ketidaksesuaian, pikiran kritisnya langsung berkontraksi. Bibit-bibit berkata jujur sesuai fakta sudah tertanam di dalam dirinya.

Lain hari, Kakang cucuku, pulang dari masjid sehabis salat isya. Kedatangannya kusambut dengan handuk karena gerimis membasahi tubuhnya.

"Nin, apa perempuan salatnya boleh nanti-nanti? Kalau habis azan, enggak usah langsung salat? Bisa nantiiii... salatnya malem-malem?"

"Ya enggak dong. Perempuan laki-laki sama saja, salatnya harus di awal waktu. Habis denger azan, langsung salat," jawabku.

"Kok Enin belum salat? Tadi Kakang ke masjid, Enin depan laptop. Sekarang Kakang pulang, Enin masih di laptop."

Mak jedud! Enin serasa dihantam pukulan. Pukulan yang begitu nikmat. Pukulan yang membangkitkan kesadaran, istigfar berulang, hingga lanjut tersungkur dalam rasa syukur. Diingatkan dengan segala kepolosan sesungguhnya tengah beroleh kritik yang pedas dan tajam. Kami percaya, teguran ini sesungguhnya datang dari-Nya, melalui mulut seorang anak kecil. Kami terima sebagai anugerah tak terhingga karena selanjutnya teguran itu  membuat kami menjaga kesegeraan diri menjalankan perintah-Nya.

Terima kasih atas pelajaran yang sangat berharga ini, Ya Allah.

Masihkan kita menganggap anak kecil hanya berkata asal ceplos?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun