Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Cara Bijak Menghadapi Opini Orang yang Menyakiti Hati

7 Oktober 2025   10:10 Diperbarui: 8 Oktober 2025   16:52 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Self Love (Sumber: Unsplash)

Ada kalanya ucapan seseorang terasa lebih tajam daripada pisau. Ia menembus tanpa suara, meninggalkan bekas yang sulit dijelaskan.

Kadang datang dari orang yang kita kenal, kadang dari mereka yang bahkan tak tahu cerita hidup kita. Tapi entah bagaimana, kata-kata itu tetap menggores hati.

Pernah di situasi berada saat itu. Layaknya mendengar seseorang dengan enteng menilai, mengkritik, bahkan merendahkan tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi.

Rasanya ingin membalas, ingin menjelaskan, ingin membuktikan bahwa mereka salah. Tapi setiap kali mencoba, malah terasa sia-sia. Semakin keras menjelaskan, semakin mereka tidak mendengar.

Sampai suatu saat hati ini sadar: tidak semua komentar pantas mendapat tanggapan. Ada waktu di mana diam justru jadi bentuk perlindungan terbaik.

1. Menerima Bahwa Tidak Semua Orang Akan Memahami

Awalnya sulit menerima kenyataan bahwa tidak semua orang bisa memahami maksud baik kita. Rasanya tidak adil, tapi memang begitu adanya. Ada orang yang hanya melihat dari permukaan, lalu buru-buru menilai.

Mungkin mereka berbicara karena iri, mungkin karena tak percaya diri, atau sekadar ingin merasa lebih baik dengan menjatuhkan orang lain. Dan kita tidak bisa mengontrol itu.

Yang bisa dilakukan hanyalah menerima bahwa pemahaman orang lain tidak menentukan nilai diri kita. Ketika berhenti memaksa orang untuk mengerti, di situlah kita mulai tenang.

2. Diam, Tapi Tetap Sadar dan Kuat

Diam bukan berarti kalah. Diam adalah pilihan untuk tidak mengotori hati dengan perdebatan yang tak perlu. Saat kita membalas kata-kata buruk dengan emosi, kita justru menurunkan diri ke level yang sama.

Belajar diam artinya belajar menguasai diri. Kadang, membiarkan sesuatu berlalu tanpa reaksi adalah bentuk kendali yang luar biasa.

Kita tidak bisa menghentikan orang lain berbicara, tapi kita bisa memilih tidak membiarkan mereka tinggal di kepala kita terlalu lama.

3. Saring, Jangan Serap

Tidak semua yang terdengar harus dipercaya. Ada kritik yang membangun, tapi ada pula yang hanya ingin menjatuhkan. Maka, penting untuk belajar menyaring.

Kita bisa bertanya pada diri sendiri: "Apakah ini fakta, atau sekadar opini kosong?" Jika tidak ada manfaatnya, biarkan masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

Itu bukan sikap masa bodoh, tapi tanda kedewasaan. Tahu mana yang patut didengar, mana yang harus dilepaskan.

4. Buktikan Lewat Aksi, Bukan Reaksi

Daripada membuang waktu membalas hinaan, lebih baik buktikan dengan tindakan. Tumbuh diam-diam. Kerja keras tanpa banyak bicara. Satu-satunya hal yang paling membungkam komentar negatif adalah hasil nyata.

Tidak perlu pembenaran panjang. Orang yang benar-benar memperhatikan akan melihat perbedaan antara yang hanya berbicara dan yang bekerja dengan konsisten.

Kadang, balasan paling tenang justru adalah keberhasilan yang kita bangun dalam senyap.

5. Lindungi Energimu, Pilih Fokus Pencapaian yang Tepat

Setiap emosi negatif yang kita serap dari orang lain adalah energi yang terbuang. Bayangkan jika semua energi itu dialihkan untuk hal produktif, seperti belajar hal baru, meningkatkan kemampuan, memperbaiki diri.

Kita bisa memilih untuk menjadi cermin, bukan spons. Cermin memantulkan apapun yang datang tanpa menyerapnya.

Begitu pula dengan ucapan menyakitkan. Biarkan suara mereka terpental sampai ke langit, jangan ditahan di dalam hati. Dengan begitu, kita tetap bisa melangkah maju tanpa membawa beban yang bukan milik kita. 

Kita tidak diciptakan untuk membuktikan sesuatu kepada setiap orang, tapi untuk terus berkembang hingga menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Sampai akhirnya, kita belajar bahwa kekuatan bukanlah tentang siapa yang paling lantang berbicara, tapi siapa yang mampu tetap tenang di tengah suara-suara yang merendahkan. 

Di titik itu, kita menemukan kebijaksanaan bahwa tidak semua yang menyakitkan harus dibalas. Kadang, cukup kita jadikan bahan untuk tumbuh lebih tinggi lagi.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun