Mohon tunggu...
Tesalonika Hsg
Tesalonika Hsg Mohon Tunggu... Kompasianer 2024

Menyelami komunikasi pada bidang multidisipliner.

Selanjutnya

Tutup

Artificial intelligence Pilihan

Mengapa Orangtua Perlu Belajar AI?

28 September 2025   18:20 Diperbarui: 28 September 2025   18:20 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun terakhir, percakapan tentang kecerdasan buatan (AI) tidak lagi terbatas di ruang kelas teknologi atau seminar kampus. Kini, AI sudah masuk ke ruang keluarga.

Anak-anak Gen Z dan Alpha bisa dengan lincah memanfaatkan ChatGPT untuk mengerjakan tugas, memakai aplikasi editing berbasis AI untuk konten media sosial, atau bahkan memanfaatkan AI untuk bermain gim dan hiburan.

Sementara itu, banyak orang tua masih bingung. Bagaimana cara kerja AI dan apa dampaknya bagi kehidupan sehari-hari?

Kesenjangan ini mulai terlihat jelas. Ketika anak sudah begitu ahli, orang tua berisiko tertinggal.

Padahal, memahami AI bukan sekadar ikut-ikutan tren digital, melainkan kebutuhan agar bisa tetap relevan, membimbing, dan melindungi anak dari potensi jebakan teknologi.

Kesenjangan Digital dalam Rumah Tangga

Fenomena anak lebih pintar teknologi daripada orang tua sebenarnya bukan hal baru.

Dulu, banyak orang tua kaget saat anaknya lebih cepat menguasai komputer atau media sosial. Namun, dengan AI, situasinya menjadi lebih kompleks.

AI tidak hanya soal "memakai aplikasi", melainkan juga bagaimana informasi diproses, bagaimana keputusan dibuat, dan bagaimana etika dipertaruhkan.

Ketika anak terbiasa bertanya kepada ChatGPT untuk mencari jawaban, ada risiko besar mereka menerima informasi mentah tanpa verifikasi.

Jika orang tua tidak memahami cara kerja AI, bagaimana mereka bisa memberi arahan yang tepat? Bukan tidak mungkin, anak justru menilai orang tua "gaptek" dan memilih jalan sendiri tanpa pendampingan.

Padahal, fungsi orang tua tidak hanya mendukung teknis, tapi juga memberikan nilai kritis. Misalnya, mengingatkan bahwa referensi yang diberikan AI belum tentu valid, atau bahwa tidak semua hasil edit foto dan video mencerminkan kenyataan.

Tanpa pemahaman dasar, orang tua bisa kehilangan peran penting dalam membimbing anak mengarungi dunia digital yang semakin canggih.

AI Sebagai Jembatan, Bukan Jurang

Mengapa orang tua perlu belajar AI? Bukan untuk bersaing dengan anak dalam kecepatan atau kecanggihan, melainkan untuk membangun pemahaman bersama. AI seharusnya menjadi jembatan antar generasi, bukan jurang pemisah.

Ketika orang tua paham AI, mereka bisa berdiskusi dengan anak tentang peluang dan risiko. Anak mungkin ahli secara teknis, tetapi orang tua bisa menambahkan perspektif etis dan praktis.

Misalnya, apakah penggunaan AI untuk mengerjakan tugas benar-benar mendukung proses belajar atau justru mengurangi kemampuan berpikir kritis? Apakah konten yang dibuat dengan AI hanya sekadar untuk viral, atau bisa membawa nilai positif bagi orang lain?

Belajar AI juga membuka peluang orang tua untuk lebih terhubung dengan dunia anak.

Percakapan tidak berhenti di hal-hal tradisional, tetapi bisa merambah pada topik-topik masa depan. Ini bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang membangun komunikasi yang setara, di mana anak merasa didengar dan orang tua tidak tertinggal.

Membekali Generasi Masa Depan

AI akan terus berkembang, dan dunia kerja anak-anak di masa depan hampir pasti akan dipenuhi dengan teknologi ini.

Jika orang tua tidak ikut belajar, mereka hanya akan menjadi penonton pasif. Sebaliknya, dengan literasi AI, orang tua bisa menjadi mitra yang relevan: mendukung, mengarahkan, sekaligus menjadi contoh bahwa belajar tidak mengenal usia.

Belajar AI bukan soal mengikuti tren digital, tetapi tentang membekali keluarga dengan daya kritis, etika, dan pemahaman yang lebih utuh.

Anak boleh saja lebih cepat dalam menguasai teknis, tetapi orang tua tetap memiliki peran penting dalam memberi kedalaman makna. Dengan begitu, keluarga tidak hanya sekadar "menggunakan" teknologi, tetapi juga mampu mengelola dampaknya dengan bijak.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Artificial intelligence Selengkapnya
Lihat Artificial intelligence Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun