Beberapa orang terlihat bugar, rajin olahraga, dan disiplin makan sehat. Tapi diam-diam, bisa saja cenderung melow dan menangis di kamar tidur saat malam tiba.Â
Di balik tubuh yang tampak ideal, ada kepala yang penuh beban, kecemasan yang tak diucapkan, dan lelah emosional yang tak terlihat. "Sehat" seharusnya tidak hanya soal angka timbangan atau jumlah kalori. Karena tubuh bisa kuat, tapi jiwa bisa runtuh dalam diam.
Selama ini, definisi hidup sehat terlalu berpusat pada fisik. Seolah-olah, selama tubuh terlihat fit, semuanya baik-baik saja.Â
Padahal, kesehatan sejati mencakup sisi emosional, mental, bahkan spiritual. Dan sayangnya, bagian itu sering diabaikan karena tak terlihat, tak bisa diukur, dan jarang dipuji.
Tubuh Sehat Tak Selalu Berarti Jiwa Bahagia, Tapi Bisa Menumbuhkan Jiwa Bahagia
Kita hidup di zaman yang memuja penampilan. Media sosial dibanjiri orang-orang yang terlihat "wellness enthusiast" mereka berbagi meal plan, workout rutin, dan skincare ritual.Â
Tak salah memang, tapi terkadang, ada sisi yang tidak ditampilkan seperti overthinking berlebihan, rasa cemas yang datang tanpa alasan, atau rasa hampa meskipun semua "target sehat" tercapai.
Ketika tubuh menjadi prioritas, sering kali mental hanya jadi penumpang.Â
Kita bisa saja minum infused water setiap hari, tapi tidak pernah curhat tentang perasaan sendiri. Kita mungkin disiplin olahraga tiap pagi, tapi merasa kesepian karena hubungan sosial mulai renggang. Kita bisa mengatur pola makan, tapi lupa mengatur emosi yang menumpuk di kepala.
Sehat mental bukan cuma soal tidak stres. Tapi juga tentang mampu merespons tantangan dengan tenang, bisa tidur nyenyak tanpa pikiran yang membebani, dan mampu merasa cukup meski dunia menuntut lebih. Itu semua butuh ruang.Â
Butuh kejujuran. Butuh keberanian untuk mengakui bahwa tubuh kita mungkin kuat, tapi hati kita belum tentu damai.