Bayangkan jika setiap pagi kamu menulis satu kalimat syukur:
Hari ini bisa sarapan bareng keluarga.
Hari ini matahari cerah, cucian cepat kering.
Hari ini ada teman yang tiba-tiba mengirim pesan, sekadar bertanya kabar.
Kalimat-kalimat kecil seperti itu, bila ditulis terus-menerus, akan membentuk cara pandang baru.
Kita jadi lebih jeli melihat kebaikan. Kita lebih mudah menemukan makna, bahkan di tengah hari yang biasa-biasa saja. Dan yang paling penting, kita mulai menyadari: hidup ini tak seburuk itu.
Menulis rasa syukur juga menjadi jembatan antara masa lalu dan masa depan.
Untuk masa lalu, ini adalah bentuk penerimaan. Kita mengakui bahwa mungkin dulu kita pernah susah, pernah jatuh, pernah kehilangan arah.
Tapi hari ini kita masih berdiri. Menulis rasa syukur hari ini adalah seperti berkata pada masa lalu: “Terima kasih sudah bertahan sejauh ini.”
Dan untuk masa depan, rasa syukur menjadi fondasi. Ia mengajarkan kita untuk membangun jati diri yang jitu, bukan dari rasa takut atau kekurangan, tapi dari kelimpahan batin.
Orang yang terbiasa bersyukur akan punya hati yang lapang. Dia tidak mudah dikalahkan oleh satu-dua masalah karena dia tahu, masih banyak hal baik yang bisa dia andalkan.
Bersyukur juga bisa jadi bentuk meditasi harian. Dengan menulis, kita memaksa diri untuk berhenti sejenak, bernapas, dan melihat ke dalam. Ini adalah afirmasi yang nyata.
Kita tidak sekadar berkata “aku bersyukur,” tapi juga menyusunnya dalam kalimat, menyimpannya, dan mungkin suatu saat nanti, membacanya kembali ketika hari terasa berat.
Tidak perlu teknik jurnal rumit atau buku khusus. Sebuah catatan di ponsel, sticky note di meja kerja, atau tulisan tangan di buku kecil sudah cukup.