“Masih sanggup?” Pertanyaan ini terdengar sederhana, seolah hangat dan peduli.
Tapi di dunia kerja, khususnya dalam hubungan antara atasan dan bawahan, pertanyaan itu bisa jadi terasa seperti ujian. Apakah benar dimaksudkan untuk mengetahui kondisi karyawan, atau hanya sekadar formalitas untuk memenuhi etika komunikasi?
Tidak jarang, ketika pertanyaan itu muncul, kita sudah bisa menebak jawabannya: “Iya, Pak. Masih.” Bukan karena memang masih sanggup, tapi karena merasa tidak punya pilihan lain.
Ingin jujur rasanya takut dianggap tidak tahan tekanan. Ingin menolak tugas tambahan, tapi khawatir dianggap tidak loyal. Maka, mulut berkata "sanggup", meski tubuh dan pikiran sudah memberi sinyal sebaliknya.
Ini menunjukkan bahwa komunikasi dua arah belum tentu berarti komunikasi yang setara. Ada ketimpangan kuasa yang membuat bawahan sulit merasa aman untuk bersikap jujur. Apalagi jika budaya kantor cenderung menghargai mereka yang terlihat "tahan banting", bukan yang tahu kapan harus berhenti.
Ruang Aman untuk Berkata Tidak
Dalam iklim kerja yang sehat, komunikasi antara atasan dan bawahan seharusnya tidak hanya soal instruksi dan laporan. Tapi juga tentang ruang untuk berkata jujur tanpa takut sanksi. Ketika seorang karyawan berkata, “Saya belum sanggup ambil tugas tambahan minggu ini,” seharusnya itu tidak langsung dibaca sebagai kelemahan. Bisa jadi itu justru bentuk kedewasaan, karena ia tahu batas kemampuannya.
Budaya kerja kita sering kali mengagungkan semangat “apapun dikerjakan”, tanpa sadar bahwa semangat seperti itu tidak bisa bertahan lama. Setiap orang punya kapasitas. Bahkan mesin pun butuh pendinginan. Maka, penting bagi pemimpin untuk tidak hanya bertanya “masih sanggup?”, tapi juga menciptakan atmosfer yang memungkinkan jawaban jujur tanpa rasa bersalah.
Namun, untuk menciptakan ruang aman dalam komunikasi kerja, semua pihak harus turut serta. Tidak cukup jika hanya karyawan yang diharapkan jujur. Atasan juga perlu menunjukkan bahwa mereka benar-benar terbuka mendengar tanpa menghakimi.
Kadang, yang dibutuhkan hanyalah sedikit jeda sebelum menjawab, sedikit empati dalam mendengarkan, dan sedikit kejelasan dalam menyampaikan ekspektasi. Pertanyaan “masih sanggup?” sebaiknya tidak berhenti di permukaan, tapi dilanjutkan dengan diskusi: apa yang membuat Anda kewalahan? Apa yang bisa diprioritaskan ulang?