Ada satu pertanyaan sederhana yang akhir-akhir ini terlintas. Apa sebenarnya makna berbagi di bulan Ramadan?Â
Di tengah semarak ajakan donasi, sedekah, dan program sosial yang bermunculan di mana-mana, kadang kita merasa berbagi hanya sebatas soal uang atau barang. Semakin banyak yang kita beri, semakin baik.Â
Padahal, tidak semua orang punya kesempatan untuk berbagi dalam bentuk materi. Ada yang masih harus putar otak supaya uang belanja cukup sampai sahur nanti. Ada juga yang ingin ikut berbagi, tapi khawatir saldo rekening tinggal sebaris angka yang menyedihkan.
Namun, Ramadan bukan hanya tentang seberapa banyak harta yang mampu kita keluarkan. Ada satu hal yang sering terlupa, padahal nilainya sangat berarti: waktu. Waktu adalah sesuatu yang dimiliki oleh semua orang, tanpa terkecuali. Memberikan sebagian dari waktu kita kepada orang lain bisa jadi bentuk berbagi yang paling sederhana, sekaligus paling tulus.
Kehadiran yang Kadang Lebih Berarti
Beberapa hari lalu, seorang teman bercerita tentang kampung halamannya. Di sana, ada seorang remaja yang setiap sore duduk di teras rumah sambil menemani anak-anak kecil belajar mengaji.Â
Ia bukan seorang ustaz, hanya seorang kakak yang kebetulan punya waktu luang selepas asar. Awalnya hanya satu dua anak yang datang. Lama-lama, jumlah mereka bertambah. Tidak ada bayaran, tidak ada imbalan apa-apa, selain senyum puas setiap kali anak-anak itu makin lancar membaca huruf demi huruf.
Cerita itu membuat saya berpikir. Kadang kita terlalu fokus pada apa yang bisa diberikan dalam bentuk barang, lalu lupa bahwa kehadiran juga bisa menjadi hadiah.Â
Menemani anak tetangga yang orang tuanya sibuk bekerja, membantu jaga anak-anak kecil di masjid saat tarawih, atau sekadar menemani teman berbuka puasa yang jauh dari keluarga. Semua itu mungkin tampak sederhana, tetapi dampaknya besar.Â
Tidak semua orang membutuhkan uang. Ada yang lebih membutuhkan seseorang yang bersedia hadir, mendengarkan, atau sekadar membuat hari mereka terasa lebih ringan.