"Jangan biarkan profesi ini kehilangan arah hanya karena kita tergoda menjadi pemburu konten"
Penulis: Nai
Di era digital saat ini, media sosial seperti Facebook, Instagram, dan TikTok telah menjadi ladang subur untuk mendulang popularitas dan bahkan penghasilan.Â
Fitur monetisasi yang ditawarkan platform-platform ini telah mendorong banyak orang untuk berlomba-lomba menciptakan konten termasuk mereka yang menyandang profesi sebagai jurnalis.
Namun, di sinilah persoalan muncul, ketika jurnalis tidak lagi menjadikan kebenaran dan akurasi sebagai prioritas utama, melainkan lebih tertarik menjadi selebritas dunia maya.
Fenomena ini semakin menguat, terutama di kalangan jurnalis online. Banyak yang lebih memilih membuat video sensasional, live streaming, atau potongan-potongan viral ketimbang melakukan liputan langsung secara mendalam.Â
Mereka tidak hadir di lokasi kejadian untuk menggali fakta atau melakukan wawancara secara menyeluruh. Sebaliknya, mereka sibuk mengambil cuplikan-cuplikan peristiwa yang bisa dijual sebagai konten personal. Bahkan tak jarang, konten yang diproduksi lebih bersifat opini pribadi daripada laporan faktual yang berimbang.
Profesi jurnalis seharusnya tidak dijadikan kendaraan untuk kepentingan pribadi dalam mengejar pendapatan dari konten digital.Â
Ketika jurnalis menjadi content creator yang mendahulukan popularitas ketimbang tanggung jawab sosial, maka batas antara informasi dan hiburan menjadi kabur.Â
Akibatnya, publik tidak lagi mendapatkan informasi yang mencerahkan, melainkan sekadar sensasi sesaat yang belum tentu benar.
Seorang jurnalis memiliki tanggung jawab moral untuk menulis dan menerbitkan berita ketika isu tersebut masih relevan dan segar. Waktu adalah elemen penting dalam jurnalisme.Â